BAB 12

6.5K 1.9K 216
                                    

“Raja bisa berhitung?”

“Bisa, dong!”

“Coba hitung satu sampai lima puluh. Yuma mau dengar.”

Raja, yang terlihat jelas sangat menyukai pengasuh barunya terlonjak di karpet bulat yang tergelar berantakan di pojok ruang keluarga, lantas menuruti permintaan Padma. Mula-mula ia merentangkan jari-jari tangan kanannya yang lantas dihitung dengan telunjuk kiri sebagai penanda.  Terus begitu hingga jari-jari kaki yang diangkat saat memasuki angka belasan.

Sultan, yang sedang membaca berita pagi di ponsel pintarnya cemberut. Kacamata baca berbentuk bulat yang ia kenakan sedikit merosot, hingga saat melihat adiknya dan Padma di pojok sana, matanya terlihat jelas mengerling sinis tanpa penghalang.

Raja itu nakal. Selama ini para pengasuh tidak pernah betah mengurusnya lebih dari enam bulan—kecuali saat dia masih menjadi bayi yang menggemaskan. Beranjak tujuh tahun, tingkah jailnya kian menjadi. Pengasuh terakhir mengundurkan diri bulan lalu lantaran nyaris tewas didorong Raja dari tangga. Tangga kecil di teras depan. Hampir tewas memang pemilihan kata yang berlebihan, tapi pengasuh malang yang nyaris berusia empat puluh tahun itu mendapat patah tulang. Yang membuatnya kapok, karena hal tersebut terjadi bukan untuk kali pertama.

Namun, Sultan makin cemberut seraya berusaha mengembalikan perhatiannya pada portal berita yang sedang dibaca, kenapa Raja bersikap begitu manis pada pengasuh yang sekarang? Seperti anjing peliharaan yang terlalu jinak di depan majikan kesayangannya. Sultan tidak suka itu.

Awalnya, Sultan kira, Raja bersikap manis karena Padma masih baru, dan adiknya sedang tergila-gila. Tapi ini bahkan sudah hampir satu bulan Padma di rumah ini, dan Raja sama sekali tidak berubah sikap. Padahal, Sultan sering menghabiskan waktu di dekat mereka hanya untuk melihat kesengsaraan Padma. Disirami kuah mi tepat di atas kepala pengasuh menyebalkan itu misalnya? Atau terkena jepitan tikus? Dipukul dengan raket listrik? Atau apa pun, apa pun yang biasa Raja lakukan pada para pengasuhnya terdahulu.

Bukan ... bukan ini!

Lihat itu! Sultan menggeram. Selesai berhitung, adiknya menatap Padma yang menceritakan tentang kisah kancil nakal dengan mata berbinar-binar. Oh, Sultan bahkan seakan bisa melihat bintang-bintang di mata adiknya.

Kalau begini, Padma bisa betah bekerja pada mereka! Dan Sultan mulai menyesal menawari gaji dua puluh juta. Sultan kira, perempuan itu hanya akan bertahan paling lama dua minggu, dan itu seharusnya cukup menghapus obsesi adiknya.

Tetapi entah kenapa, menyangkut Padma, semua perkiraannya salah!

“Akhir-akhir ini Raja kelihatan agak jinak, ya.” Ratu, yang entah sejak kapan duduk di sampingnya berkata. Sultan melirik wanita yang ia panggil mama sejak bisa bicara itu dengan setengah dongkol.

Kenyataannya bukan hanya Raja, ibunya juga terlihat mulai menyukai Padma. “Biarpun begitu, kita tetap tidak boleh lengah, Ma.”

“Kamu kenapa sih, sama Padma? Jelas-jelas penilaian kamu sama dia salah. Padma kelihatan baik dan tulus sama Raja. Mama juga sudah pernah ketemu Arsa, anaknya. Sama Hira—”

“Si murahan itu!” dengus Sultan kesal. Ia juga pernah bertemu adik Padma beberapa hari lalu. Saat itu ia baru pulang dari kantor saat mendapati seseorang berusaha memanjat keluar pagar. Sultan yang mengiranya maling, tentu tak tinggal diam. Dan keributan jelas tidak terelakkan sampai satpam rumah datang dan mengatakan bahwa benar gadis itu bukan maling, melainkan adik dari pengasuh Raja yang mendapat izin tinggal di paviliun bersama kakak dan keponakannya.

“Kamu kenapa, sih?” tanya ibunya tak suka. “Nggak pernah berhenti cari celah menjelek-jelekkan Padma.”

“Karena aku masih yakin dia punya niat terselubung di rumah ini.”

PadmaWhere stories live. Discover now