BAB 8

6.5K 1.8K 241
                                    

Apa yang laki-laki angkuh itu mengerti? Dumel Padma dalam hati sepanjang perjalanan dari rumah menuju kediaman Sultan. Bahwa Padma adalah parasit? Oh, Demi Tuhan. Orangtuanya memberi nama Padma bukan untuk arti yang itu. Tapi, teratai. Bunga teratai yang cantik. Padma tahu karena ia pernah sekali bertanya waktu kecil dulu.

Ah, sebenarnya dia tidak tahu arti yang lebih detail. Tidak, sampai beberapa saat lalu, sampai ia meminta Hira mengecek kebenaran di mesin pencari ponselnya. Dan, ya. Sultan bukan manusia bodoh yang terlahir beruntung.

Menarik napas panjang, Padma berusaha mengenyahkan Sultan dari pikirannya. Ia membelai tubuh Arsa yang tertidur di atas pangkuan, lantas menoleh pada Hira. Mereka sempat bertengkar sebelum berangkat, lantaran Hira yang menolak ikut tinggal di rumah majikan Padma. Katanya, Hira sudah besar, sudah bisa mengurus diri sendiri, Padma tidak perlu khawatir. Namun kenyataannya, Padma lebih mengkhawatirkan Hira tinggal sendiri, karena perangai adiknya.

Sampai akhirnya, Hira mengalah saat dua pengawal Sultan yang bicara. Tentu saja Hira mengalah bukan dengan sukarela.

“Ra,” Padma berusaha memulai percakapan, tapi adiknya justru memalingkan pandangan ke luar jendela. Menolak menanggapinya.

Padma mendesah letih. Sungguh, ia merindukan Hira kecil yang dulu selalu mengekorinya ke mana pun. Yang polos dan manja. Tetapi dunia memang sekejam itu pada mereka, merenggut segalanya mulai dari ayah.

Entah sudah berapa lama dalam perjalanan, mobil besar itu akhirnya melambat di depan pagar tinggi mewah, lantas berhenti sejenak hanya untuk membunyikan klakson.

Pintu gerbang yang semula ditutup pun, dibuka dari dalam. Padma dan Hira serempak memperhatikan. Sesaat semua terjadi seperti adegan slowmotion, dua gerbang besar di bagian depan yang berukir indah itu memisah dan melebar, menampilkan halaman luas sebuah ... istana.

Mata Hira melebar, rahang Padma nyaris jatuh membentur lantai mobil.

“Ini,” suara adiknya tercekat. Secepat kepalanya bisa berputar, ia menghadap Padma yang juga merasakan ketakjuban yang sama, “rumah majikan baru Yuma?”

“Iya. Ini rumah Bos Sultan Wajendra.”

Bukan, bukan Padma yang menjawab, melainkan salah satu pengawal yang membawa mereka ke rumah ini. Karena jangankan menjawab, mengalihkan pandangan dari rumah besar yang makin mendekat itu saja sulit. Sampai akhirnya Padma hanya bisa menggeleng.

Benar-benar besar, desahnya. Lantai tiga. Dan sangat luas. Bahkan air mancur di bagian depan halaman pun mengintimidasinya.

Pantas Sultan mau menggaji dua puluh juta hanya untuk seorang pengasuh.

Saat mobil benar-benar berhenti, pintu depan terbuka. Raja keluar dari sana, terlihat seperti manusia normal dari kejauhan. Dan saat melihat Padma keluar dari mobil, remaja tampan itu langsung melesat mendekat dengan tubuh terhuyung-huyung. Menarik tangan-tangan Padma hingga nyaris menjatuhkan Arsa dalam gendongannya. “Yuma, suapi Raja,” adalah sambutan pertama bocah itu.

Di belakang Raja, seorang wanita dewasa yang barangkali hanya beberapa tahun lebih tua dari Sultan mendekat dengan tangan dilipat di depan dada. Ia mengangkat dagu, sama sombong dengan Sultan, mengamati Padma lekat-lekat, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat Padma bergerak tak nyaman. Hira yang tak mudah terintimidasi, ikut melipat tangan di depan dada di bawah pengawasan wanita itu. Wanita luar biasa cantik dan berpenampilan modis, mirip model yang seliweran di teve.

“Jadi, kamu yang bernama Yuma?” tanyanya.

“Padma,” koreksinya, “nama Saya Padma.”

“Lalu mereka?” Dia menunjuk Arsa dan Hira dengan dagu. Satu alisnya yang terpangkas rapi, naik ke atas.

PadmaWhere stories live. Discover now