BAB 11

6.4K 1.9K 186
                                    

Sial!

Sultan mengumpat, entah untuk yang ke berapa kalinya sejak satu jam terakhir. Jangan tanya umpatan itu untuk siapa, karena tentu saja ditujukan pada pengasuh adiknya yang tidak tahu diri. Siapa yang majikan dan siapa yang ditinggal pergi? Atau memang babu zaman sekarang suka berulah begitu? Ah, tapi tidak. Sepanjang usia, Sultan belum pernah menemukan manusia menyusahkan seperti Padma—kecuali Ratu dan Raja, tentu saja mereka pengecualian.

Lelah dan tak ingin lagi peduli—bukan berarti sebelumnya ia peduli, hanya takut kena damprat ibunya bila pulang tanpa pengasuh sialan itu, dan dimusuhi Raja lagi—Sultan memutuskan untuk pulang, urusan dengan adik dan mamanya bisa ditangani belakangan. Yang penting sekarang, Sultan butuh tidur. Toh Padma akan kembali juga ke rumahnya nanti. Ada adik dan anak wanita itu di kediaman Sultan—hal yang bodohnya ia lupakan sedari tadi.

Dengan rahang mengeras, marah dan lelah, ia keluar dari lift, melangkah memasuki basement yang sudah mulai sepi. Oh, tentu saja, ini sudah jam sepuluh lebih.

Kira-kira tiga meter dari posisi mobilnya berada, rahang Sultan mengencang, pun tangannya yang kontan terkepal begitu mendapati ... Sultan menarik napas panjang, berharap dengan itu stok sabarnya akan bertambah dua, oh tidak, sepuluh kali lipat. Karena untuk menghadapi Padma memang dibutuhkan kesabaran sebanyak itu. Bahkan lebih banyak lagi kalau memang diperlukan.

Iya, wanita yang sejak hampir satu jam terakhir Sultan umpati sialan berada di sana, duduk bersandar seperti gembel pada pilar besar tepat di samping belakang mobil Sultan. Ah, dia memang gembel, batinnya kesal.

Meneruskan langkah dengan tekanan penuh di setiap pijak pada bumi, Sultan melepas kepalan tangan dan memasukkannya pada saku celana. Raut wajahnya masih sama. Datar, kendati kedut di rahangnya tak bisa ditutupi. Dia marah. Sangat. Sejak kapan majikan harus keliling mal demi mencari babunya?

Sejauh yang Sultan tahu, tidak ada. Hanya dirinya!

“Jadi begini kelakuan kamu?” Ia bertanya dengan nada mendesis, yang berhasil menarik perhatian Padma. Wanita itu mendongakkan sambil menggigit bibir. Matanya merah seperti sehabis menangis, dan sepertinya memang begitu.

Melihat ekspresi nelangsa perempuan itu, Sultan menelan ludah. Sial, batinnya, berusaha mencari keping-keping kemarahan yang semula menggumpal utuh di dada.

Sudahkah Sultan mengatakan ia muak melihat air mata perempuan yang sering disalahgunakan? Ia tidak suka melihat kaum hawa menangis, memamerkan kelemahan pada dunia untuk mendapat simpati.

Namun, Padma tidak melakukannya. Sejak awal bertemu Addie, yang katanya mantan majikan wanita itu, ia berusaha menahan agar bukti kelemahannya sebagai wanita tidak tampak. Dan sekarang, hanya bekasnya yang tersisa. Lalu di sinilah ketidakberuntungan Sultan, karena harus mendapati Padma di dua momen ini, yang ... bisakah ia mengumpat sekali lagi?

Demi apa pun, Sultan tidak ingin bersimpati pada Padma si ... parasit. Sama sekali tidak. Dan seharusnya memang begitu. Hanya saja, sial!

Bibir Sultan menipis saat ia mengalihkan pandangan dari raut nelangsa Padma yang berusaha wanita itu tutupi dengan ringisan rasa bersalah. Oh, dia memang sudah seharusnya merasa bersalah karena sudah membuat sang majikan keliling mal bagai orang sinting—walau tidak tepat seperti itu.

“Maaf, Pak,” cicitnya dengan suara serak, kemudian berdeham sebelum melanjutkan, “tadi saya agak syok aja ketemu Addie—maksud saya, Pak Addie.”

Sultan mendengus. “Syok,” ulangnya setengah mencemooh, “sampai kamu membanting semua barang-barang belanjaan di depan hidung saya?” Mengingat itu, kemarahan yang sempat menguap itu kembali menggumpal. Sultan menarik napas lega, mencoba membangun lagi egonya yang sempat digoyahkan oleh ketegaran yang coba ditutupi Padma.

PadmaWhere stories live. Discover now