BAB 7

6.5K 1.9K 216
                                    

Sultan Wajendra dan kata kuasa mungkin memang diciptakan dalam satu paket, karena aura tersebut terasa kental menguar dalam dirinya setiap kali Padma memandang si tampan bertampang sinis itu. Seperti saat ini. Padma selalu merasa kerdil bila berada dekat dengan Sultan dan menghirup udara yang sama. Pun lebih kerdil bila mengingat pertemuan pertama mereka  yang tidak menyenangkan—oke, mari kita lupakan itu!

Menarik oksigen banyak-banyak demi menyelamatkan paru-parunya yang terasa menyempit sejak memasuki kantor raksasa ini, Padma meremas ujung bajunya, masih tak berani mendongak, seolah Sultan--yang duduk di balik meja kaca yang mengilap lantaran terkena cahaya siang dari jendela besar di salah satu dinding ruang kerja yang bahkan lebih luas dari keseluruhan rumah kos Padma--akan berubah menjadi monster bila ia berani mengangkat kepala walau hanya sedikit.

Ah, bukan cuma Sultan yang berhasil mengintimidasi. Nyaris keseluruhan yang berada di ruangan ini juga sukses membuat nyalinya ciut, termasuk pot bunga yang berdiri angkuh di sudut sana.

“Jadi,” lelaki itu memulai, suaranya yang berat dan rendah membuat bulu roman Padma meremang, “ternyata tidak sesulit itu menemukan kamu,” adalah komentar pertama setelah hening yang cukup lama meraja di antara mereka. Para preman yang mengawalnya ke mari, berdiri berjajar di belakangnya, menyaksikan dalam diam hingga Padma merasa hanya dirinya dan Sultan di sana, sebab bahkan desah napas mereka pun tak terdengar.

“Saya,” Padma menelan ludah, lehernya yang linu sudah mulai memprotes agar direnggangkan sejenak, yang masih belum berani ia lakukan, “saya tidak tahu kesalahan apa lagi yang saya lakukan sampai Anda memanggil saya kemari,” lanjutnya setengah terbata-bata. Sejak memasuki gedung pencakar langit ini, pikiran buruk tentang Sultan mulai terkikis, Padma justru berharap Sultan akan melakukan permintaan adiknya untuk memberi ia pekerjaan. Apa pun. Dan kantor ini besar. Padma bahkan tidak keberatan menjadi tukang ambil sampah setiap ruangan. Atau kacung. Atau bahkan tukang bersih-bersih WC. WC di kantor Sultan pasti tidak akan seburuk WC di tempat kosnya yang jorok.

“Banyak,” jawab Sultan dengan nada ditarik-tarik. Ia menatap Padma dengan tampang bosan dan kelopak mata yang diturunkan. “Kesalahan kamu sangat bayak!” lanjutnya, berhasil memusnahkan harapan terakhir Padma.

Jadi, Sultan memang tidak berniat memberinya pekerjaan. Bahu kecil Padma terkulai. “Saya tidak merasa telah melakukan kesalahan lain pada Bapak.”

“Bukan kamu yang menentukan di sini, tapi saya.”

Oh. Padma cemberut. Orang besar selalu memiliki kendali penuh atas orang kecil. Mereka bisa berbuat semaunya. Semaunya. Sedang manusia macam Padma selalu berada dalam posisi tidak menguntungkan. Dan uang memang bisa melakukan hal-hal macam itu. Bukti dari ketidakadilan dunia terhadap kaumnya.

Meremas ujung blus abu-abunya lebih keras, Padma mengumpulkan segenap keberanian untuk mencoba melawan. Hanya mencoba, toh Padma sudah bisa membayangkan yang terburuk dari ini. Mendongak, ia menatap lurus ke depan, pada Sultan yang kini bersedekap dan mengangkat satu alisnya yang setebal ulat bulu. “Kalau memang benar begitu, tolong Bapak sebutkan kesalahan saya hingga membuat saya pantas diseret ke sini.”

“Kamu diperlakukan dengan sangat baik, tidak ada yang menyeret kamu.”

Benar, Padma meringis. Kata diseret memang terdengar agak kasar, karena bahkan anak buah Sultan sama sekali tak menyentuhnya. Mereka juga bertanya dengan sopan, walau tetap saja hal itu menimbulkan kehebohan di lingkungan tempat tinggalnya. “Tapi, Bapak bisa menelepon saya untuk datang kalau memang diperlukan, tidak usah menyuruh preman untuk menjemput.”

“Kamu tidak berpikir saya sudi menyimpan nomor ponsel kamu, kan?”

Tentu saja tidak. Mana mungkin seorang Sultan bersedia menyimpan kontak orang seperti Padma. Padma juga tidak berharap setinggi itu. “Bapak tidak perlu menyimpan nomor ponsel saya, cukup mencari di histori panggilan.”

PadmaWhere stories live. Discover now