PROLOG

26.5K 3K 221
                                    

Pagi itu mendung. Awan kelabu bergelantung di langit gelap yang sesekali masih bergemuruh sisa hujan semalam, membuat udara menjadi lembab. Andai hari cerah, barangkali matahari sudah bertengger sombong di langit timur, bersiap memamerkan kilau cantiknya pada penduduk bumi yang kedinginan.

Namun, Padma bahkan tidak bisa menikmati hawa buruk ini, yang dulu paling disukainya saat masih remaja. Udara lembab di pagi hari bekas hujan atau petanda hujan akan turun, merupakan alasan terbaik meringkuk di balik selimut hangat dan bolos sekolah dengan dalih cuaca tidak mendukung.

Yah, berbeda dengan sekarang, dulu Padma adalah manusia merdeka yang cukup beruntung.

Alih-alih meringuk, kini ia justru harus keluar rumah dengan balutan baju usang, yang bahkan tidak cukup kuat untuk ditarik pelan lantaran kainnya yang sudah menipis, nyaris bisa memperlihatkan warna kulitnya yang kusam.

Merapatkan sweeter jelek yang ia temukan di bawah lemari, Padma eratkan genggaman pada uang receh, sisa terakhir yang ia punya sambil terus melangkahkan kaki yang mulai lelah menuju pasar. Dia butuh belanja. Stok di dapur sudah habis. Ada dua perut yang mesti ia isi pagi ini. Tiga dengan perutnya sendiri. Ah, tapi perutnya urusan terakhir. Yang pasti, setelah ini ia harus bekerja lebih keras lagi. Hidup di kota besar butuh modal yang juga besar, sama sekali tidak seindah yang mereka bayangkan. Tapi, kerja apa?

Satu tahun terakhir Padma sudah berusaha mencari. Dan, yah. Dapat. Dari penjaga toko sampai buruh pabrik. Tapi, kesemuanya berakhir lantaran ia yang sering datang terlambat. Oh, salahkan semesta yang tak memberinya pilihan.

profesi terakhir yang cukup ia nikmati adalah menjadi asisten rumah tangga. Yang juga berakhir lantaran nyonya rumahnya cemburu pada Padma yang dituduh merayu sang tuan.

Haha ... lucu. Padma bahkan tidak secantik si nyonya kaya itu. Dan mantan tuannya jelas sama sekali tidak tertarik melirik Padma yang berpenampilan tak menarik.

Waktu itu mereka hanya sedang berada di dapur. Padma beres-beres karena memang kewajibannya saat tuan kaya masuk untuk mengambil minum. Barangkali kelelahan sehabis olahraga pagi, gelas penuh yang digenggam si tuan setengah bergoyang hingga menumpahkan sebagian isinya. Tuan kaya menyuruh Padma langsung membereskan kekacauan itu, yang tentu langsung ia turuti.

Padma mengambil kain kering dan bersih di pojokan, lantas berjongkok di kaki sang majikan. Kepalanya sejajar dengan pinggul lebar tuannya. Lalu mengepel dengan gerakan maju mundur. Lalu nyonya pencemburu masuk dan ... semuanya menjadi berantakan. Mereka dituduh melakukan hal tak senonoh. Lebih tepatnya Padma yang dituduh. Tidakkah istri tuan melihat kain pel yang ia pegang? pikir Padma kesal. Dia sudah menjelaskan pokok permasalahan, tapi dasar istri si tuan kaya saja yang pencemburu, Padma langsung dipecat. Yah, memang bukan kali pertama ia dituding perayu oleh mantan majikannya itu.

Menarik napas sebagai bentuk menghibur diri dan upaya melupakan kejadian-kejadian tak menyenangkan, Padma menyerongkan posisi tubuhnya, lantas menikung untuk menyeberang jalanan basah yang sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di pagi yang sebenarnya hampir menjelang siang itu. Kira-kira sudah pukul delapan sekarang, Padma juga tidak tahu pasti karena ia tak memiliki jam tangan. Ah, ada ponsel butut di saku, tapi dia bahkan enggan menyempatkan diri menengok. Waktu memburunya tanpa ampun akhir-akhir ini.

Empat langkah dari trotoar, bunyi klakson melengking panjang dari arah selatan. Padma menoleh hanya untuk menemukan sedan hitam yang melaju cepat ke arahnya. Terkejut, Padma merasakan tubunya melumpuh sebelum terjatuh—

—karena syok.

Ia memejamkan mata kala bunyi decit tajam akibat gesekan roda mobil yang dipaksa berhenti dengan aspal beradu.

Padma pasrah. Barangkali saat itu hidupnya memang harus berakhir mengenaskan. Semengenaskan jalan takdirnya beberapa tahun terakhir.

Namun, lebih dari satu menit kemudian, tak terjadi apa pun. Dengan tubuh gemetar, jantung berdebar dan rasa takut mencekam, Padma memberanikan diri membuka mata hanya untuk terpana di detik berikutnya.

PadmaWhere stories live. Discover now