BAB 5

6.9K 1.9K 286
                                    

Dua hari ini Raja menolak makan. Dia juga menolak berbicara dengan Sultan. Katanya, Sultan jahat karena sudah memisahkan Raja dengan ... siapa nama wanita penipu itu? Ah, Yuma—Raja memanggilnya demikian.

Dan lihat, apa yang terjadi pada si keras kepala manja itu sekarang. Sakit. Dia yang memang sejak kecil—oh, sekarang pun masih bisa dibilang kecil sebenarnya—memiliki penyakit lambung, tentu tumbang. Mama menangis si samping ranjang Raja, merayunya untuk makan.

Wajah Raja pucat. Bibirnya kering. Selang infus tertancap di tangan kanannya. Pemandangan yang membuat Sultan marah.

Lebih dari itu, Mama ikut menyalahkannya. Padahal ia sudah berbuat baik dengan menjauhkan kesayangan mereka dari bencana. Tentu saja, segala hal yang berkaitan dengan si wanita pemeras adalah bencana. Bencana besar.

Dia seperti noda hitam di kemeja putih, yang makin dibersihkan justru kian melebar, bukannya menghilang. Sultan sudah memberi sejumlah uang dengan harapan mereka tak akan pernah bertemu lagi, tapi belum juga dua belas jam, wajahnya sudah berada tepat di depan hidung Sultan dan menggandeng adiknya. Sekarang, Raja hanya menginginkan wanita itu saja sebagai syarat bila menginginkan ia makan.

Sultan pening. Ia sudah kehilangan klien penting karena si Yuma-Yuma. Haruskah ia kehilangan cinta Raja juga? Mereka bahkan bertemu tidak sampai seharian. Sihir apa yang perempuan itu gunakan sebenarnya? Atau apakah sejak awal ia memang mengincar keluarga ini? Pertama dimulai dengan menjebak Sultan? Kemudian Raja. Dan nanti ... bisa saja ibunya!

Hal ini tentu tak dapat dibiarkan, bukan? Tapi, kenapa tak satu pun dari Mama dan Raja yang mau mengerti?

"Raja mau makan kalau Sultan panggil Yuma dan kasih kerjaan, Ma," rengek si bungsu dengan suara seraknya, yang tentu sukses besar membuat Ratu tak tega menolak. Tatapan tajam mata hitam yang menurun pada dua putranya itu langsung menoleh pada Sultan. Penuh arti. Oh, bukan. Yang benar adalah ... penuh ancaman.

Tidak ada yang bisa mengancam Sultan. Tidak ada. Kecuali ...

... Sultan tahu, dia tidak punya pilihan.

"Kita perlu bicara—lagi, Sultan. Sekarang!"

Ratu, ibunya, bangkit dari sisi ranjang Raja. Ia melangkah dengan punggung tegak ke arah pintu. Dengan bibir cemberut, Sultan menatap adiknya yang Langsung memalingkan muka. Sultan berdecih sebelum berbalik, mengikuti perintah ibunya yang ... sudah seperti ratu di rumah ini.

Ratu dan Raja bersatu. Apalah dayanya yang hanya seorang Sultan?

"Kali ini Mama nggak mau tahu alasan kamu. Yuma-Yuma itu harus dibawa ke rumah ini." Mama yang memang bertubuh tinggi—setelinganya, memang tidak bisa mengintimidasi Sultan, tapi kilau bening di mata wanita paruh baya itu yang bisa dilihatnya dengan jelas lantaran posisi mereka nyaris sejajar, membuatnya terganggu

"Dia bukan orang baik, Ma. Dia bahkan sempat memeras aku!"

"Mungkin karena waktu itu dia tidak punya uang, Sultan. Dia tidak punya pekerjaan, dan hanya seorang perempuan!"

Lihat, siapa yang Mama bela sekarang? Seorang penipu!

Sultan menarik napas dua kali, berusaha menenangkan diri. Kemeja kerjanya belum diganti, rambut acak-acakan lantaran seharian bekerja. Dia butuh mandi, makan dan istirahat. Bukan tuduhan dari Raja, dan amarah dari Ratu.

"Besok atau lusa Raja akan melupakannya. Mama nggak perlu khawatir. Sultan tidak mau ada penjahat di rumah ini."

"Besok atau lusa adik kamu mungkin harus diopname." Mama berujar pelan dengan bibir gemetar. Wanita paruh baya yang bahkan masih cantik di usianya yang kini menginjak angka 55 itu, melangkah gontai ke sofa di ujung ruangan. Menatap keluar jendela dengan tatapan jauh menembus kaca.

PadmaWhere stories live. Discover now