BAB 4

7.2K 2.1K 170
                                    

“Permennya enak!” seru Raja dengan mata berbinar-binar sambil mengemut permen dalam mulutnya. Satu tangan remaja itu menggenggam erat permen yang lain. Permen pemberian Padma, yang ia dapat dari kembalian sisa belanjaan di pasar.

Siapa sangka, anak orang kaya—dilihat dari merek dan bahan pakaiannya, serta sepatunya yang berkualitas bagus—ternyata menyukai permen murahan yang sebungkus bisa didapat dengan harga ribuan rupiah saja. Yang kalau pun Padma dikasih gratis, tidak akan sesenang remaja ini. Ah, bahagia memang sederhana bagi anak-anak, kan?

Ya, anak-anak. Satu jam berbincang dengan remaja ini, Padma yakin dugaannya benar. Raja memiliki masalah mental. Tubuhnya boleh saja sudah berusia belasan, tapi pikirannya masih tertinggal pada usia empat, atau mungkin lima.

Bagi orang lain, mungkin Raja tidak terlahir beruntung, tapi berbeda menurut Padma. Raja adalah manusia pilihan yang ditakdirkan untuk kesenangan. Dia hanya harus menangis saat sedih dan tertawa kala gembira. Hanya itu. Dia tidak perlu merasa terbebani oleh kehidupan yang kejam ini.

Ya, Tuhan ... Padma mohon ampun dalam hati. Ia mengeluh lagi.

Menggelengkan kepala untuk mengusir segala hal yang membuat ia sering merasa pening, Padma tersenyum, sesekali melirik kanan kiri, berusaha memastikan apakah keluarga Raja yang suka berpikir buruk tentang orang lain sudah datang.

Demi apa pun, Padma menahan segala umpatan dan rasa jengkel sepanjang percakapan mereka via telepon. Dia mengira Padma penculik! Menawarkan uang pula. Apa si Sultan itu pikir uang bisa membeli segalanya termasuk nurani? Padma memang miskin, tapi ia tidak akan memanfaatkan ketidakberdayaan Raja hanya demi rupiah. Meski sangat butuh uang, Padma tidak sepicik itu.

Ah, kalau boleh jujur, sebenarnya ia sempat tergoda. Tapi melihat wajah polos Raja, Padma akan merasa sangat berdosa bila menerima tawaran tersebut. Yang sayang sekali dilewatkan.

“Raja suka?”

Si bocah yang terperangkap dalam tubuh tinggi besar itu mengangguk penuh antusiasme. “Raja juga suka sama Yu Ma!”

Kali ini Padma tersenyum tulus, bukan untuk menghibur Raja yang baru benar-benar berhenti menangis setelah ia tawari permen, melainkan karena sanjungan yang terdengar begitu jujur dan polos, sedikit berhasil mengusir rasa jengkelnya terhadap sang lawn bicara di telepon beberapa saat lalu. Kalau dia benar ayah Raja, tidak heran kenapa bocah ini memilih kabur. “Yu Ma juga suka sama Raja.”

“Kalau gitu ikut Raja pulang, ya?” Raja meraih tangan Padma dalam genggaman erat hingga sulit ditarik lepas. Punggung Raja agak bungkuk karena kebiasaan duduknya yang buruk. Mata besar itu menatap polos penuh harap, yang berhasil membuat Padma merasa tersentuh melihatnya.

“Yu Ma nggak bisa,” tolak Padma halus sembari menepuk bahu besar Raja pelan, dan berusaha melepaskan tangan, dan berhasil. Padma tidak terbiasa disentuh lawan jenis, rasanya aneh. Terlebih, Raja masih asing. Kendati tingkah Raja seperti bocah, fisiknya sempurna.

“Kenapa?” Dia mulai mencebik lagi. Padma buru-buru memutar otak untuk mencari alasan. Ia sudah cukup lelah mendiamkan Raja nyaris setengah jam.

“Yu Ma harus segera pergi setelah ini. Yu ma harus cari kerja, biar bisa makan.”

“Abang Raja bisa kasih Yu Ma kerja!” Raja mengangguk keras-keras, seolah berusaha meyakinkan Padma bahwa sekalipun ia meminta abangnya mengambilkan bulan bagi Padma, pasti akan dilakukan.

Padma, tentu saja tertarik. Pekerjaan baru! Jadi tukang sapu jalanan saja ia bersedia, apalagi bekerja pada keluarga Raja yang sudah pasti kaya.

“Bener, abangnya Raja bisa kasih Yu Ma kerja?” tanya Padma pelan, berusaha memastikan meski setengah tidak yakin omongan si bocah bisa dipercaya.

PadmaWhere stories live. Discover now