Painful Hope!

6 3 0
                                    

An painful story by 

Pada suatu titik, dulu lelaki itu selalu berharap akan lenyap dari dunia ini, bahkan tak pernah berhenti hingga saat ini. Seluruh dunia tampak begitu gelap dan ia menangis setiap malam, Apakah ia akan merasa lebih baik jika menghilang begitu saja? Dirinya begitu takut pada kegelapan, benci akan kesendirian. Seseorang entah siapa, selalu mengusiknya tanpa henti.

Selama hari-hari indah itu, lelaki berkulit pucat itu malah merasa kesakitan. Ia membenci dirinya sendiri karena tak bisa merasa kuat. Pria itu terus menerus melukai dirinya, mencoba mengalihkan emosinya dari rasa sakit di pergelangan tangannya yang terlihat pucat. Ibu dan ayahnya, mereka menatapnya khawatir, menangis menatapnya ibah. Dia menyayangi mereka, dan dia tak sanggup. Tak sanggup melihat air mata ibunya terus keluar dari manik indahnya.

'Aku anak tak berguna! Menyusahkan! Dan selalu membebani mereka yang menyayangi ku. Aku merasakan kasih sayang, cinta, dan juga belas kasih. Namun tetap saja, diri ini masih merasa sepi, masih berada di ruang gelap, dan masih terasa sunyi.'

Itu bukanlah hal yang mudah untuk dilewati pemuda itu, tapi dirinya berusaha terus melangkah lebih jauh dengan senyuman tipis yang terlihat baik-baik saja. Kata-kata dalam hati adalah obat yang benar-benar berlaku dalam hidupnya, dirinya harus bangkit, ia pasti bisa, dan ia ingin meraih...

Kebahagiaan.

Tapi, siapa sangka lelaki itu tidak mampu melakukannya. Semesta seakan enggan memberi kebahagiaan itu. Lelaki itu lemah, dan ia tak kuasa menahan semua kepahitan di dunia ini. Pria itu tak dapat menahan semua ini, dirinya menggores lengannya lagi dan lagi saat ia merasakan sesuatu, melawan rasa depresi itu sendiri.

Hingga kini, lelaki itu tergeletak dilantai yang dingin dengan bersimbah darah di pergelangan tangan kirinya. Seseorang dibalik pintu terus meneriaki namanya, namun lelaki itu enggan untuk berdiri bahkan menyahut. Ia lelah, ingin istirahat. Jika boleh, selamanya.

Samar-samar mata sipit itu perlahan tertutup, terakhir kali ia mendengar seorang wanita yang dia sayangi menjerit histeris melihat keadaannya yang begitu memilukan. Dan yoongi pun kehilangan kesadaran.

'maafkan aku, ibu.' gumam Yoongi sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

...

Pemuda tampan dengan mata sipit pun berkulit putih seputih susu bernama Min Yoongi, atau kerap di panggil Suga sebab senyumannya semanis gula. Namun, senyuman itu tak pernah lagi nampak, seakan tenggelam paksa oleh keadaan. Tidak ada lagi si Suga manis, baik, dan ramah. Kini terganti oleh si Min Yoongi yang dingin, pemarah, dan emosian. Sebab semenjak pertemuan itu, dirinya menderita. Entah dari mana iblis itu keluar dari celah kegelapan dan menghampiri hidupnya, membuat hidup si Min hancur.

Yoongi tak pernah berharap ini terjadi, ia tak menyangka bahwa ia akan mendapatkan kenyataan yang membuat hidupnya terusik dan tak bisa membuatnya tenang. Ia berharap lebih untuk bisa mengusir iblis yang selalu merajainya. Jikapun itu tidak mempan, biarkan ia pergi. Daripada harus terus melukai dirinya sendiri. Yoongi lelah.

Gangguan kesehatan seperti kepribadian Shizoid membuat hari-harinya hancur. Semua orang menjauhinya karna menganggap Yoongi gila. Tidak! Dirinya tidak gila. Ia hanya berusaha melawannya. Berteriak meminta tolong, namun tak ada yang menyahut. Mereka seakan tuli. Semuanya terdiam, merasa kasihan pada dirinya. Ia tak butuh itu, hanya pertolongan, itu saja.

Entah sudah berapa kali ia bertemu dengan orang yang dibayar keluarganya, bertanya-tanya mengapa ia melakukan hal itu? mengapa ia selalu melukai dirinya sendiri? Yoongi hanya menjawab singkat, ia ingin bunuh diri, dan pergi dari dunia keji ini. Orang-orang itu tidak ada yang mampu membuat Yoongi keluar dari ruang kegelapan itu, mereka hanya pura-pura peduli padanya.

Yoongi mengerjabkan matanya, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Lelaki itu tak merasa asing lagi dengan tempat dimana dirinya terbaring dengan infus di tangan kirinya pun perban yang membungkus pergelangan tangan yang sempat digoreskannya dengan benda tajam.

Yoongi menghela napas, merasa muak berada disini namun ia sadar jika dirinyalah yang membuatnya selalu masuk hospital ini. Yoongi terbangun dari baringnya, merasa sakit pada seluruh tubuhnya sebab munkin ia terlalu kehilangan banyak darah atau terlalu lama berbaring di kasur yang sedikit tidak nyaman.

'haruskah aku keluar dari sini?'

Dirinya beranjak dari kasur dengan pelan, takut membangunkan orang tuanya yang sangat terlihat lelah dalam tidurnya di sofa pojok ruangan dengan berselimutkan tipis.

Yoongi merasa kasihan, ia sangat menyayangi mereka, namun apakah ia terlalu egois meninggalkan orang yang sudah membesarkannya? Tapi ia juga tidak mau membebaninya lagi, bahkan dia sudah lelah dengan dirinya sendiri apalagi mereka. Orang tuanya tidak pernah mengeluh, bukan berarti ia tak lelah. Mereka tidak mau membuat anaknya merasa bersalah. Yoongi tahu itu.

Yoongi berjalan pelan menuju pintu keluar setelah melepas infus yang berada ditangannya, ia merasakan perih pun darah keluar dari tangannya namun dirinya hanya merasa bodo amat pada lukanya itu. Ia sudah kebal oleh rasa sakit itu.

Lorong rumah sakit terlihat sepi, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Yoongi tidak merasa takut, walaupun pandangannya gelap ia tetap berjalan menyusuri lorong rumah sakit tersebut.

Berjalan tanpa arah sambil berusaha untuk tidak tertangkap oleh dokter yang bertugas malam, namun sialnya saat ingin memencet tombol life seseorang keluar dari sana. Yoongi berjalan mundur, berharap seseorang itu tidak menegurnya.

"Kau pasien disini? Kenapa malam-malam begini keluar?" Seseorang tersebut mendekati Yoongi dengan pelan.

Gadis cantik itu sedikit kaget saat ia ingin keluar dari life, tiba-tiba saja ada seseorang di hadapannya, dia kira itu hantu sebab wajahnya terlihat begitu pucat seperti hantu. Ternyata bukan, karna lelaki itu masih menginjak lantai dingin itu. Namun gadis itu bingung, kenapa lelaki itu keluar tengah malam begini.

"Bukan urusanmu, minggir!" Ketus Yoongi mendorong gadis itu agar tak mendekati dirinya.

"Ya! Wajahmu pucat. Harusnya kau berada didalam bukan disini. Apa jangan-jangan kau mencoba untuk kabur, ya?!" Tanya gadis itu menghalangi pemuda itu.

"Ck! Jangan ikut campur!" Tegas pemuda pucat itu menatap tajam gadis dihadapannya itu.

"Kau harus kembali keruangan! Jika tidak kau pasti akan lebih lama disini. Cobalah menyayangi tubuhmu itu, jangan membuatnya semakin parah." Lirih gadis itu menatap sayu pemuda tampan berkulit pucat.

"Tidak mau! Minggir!"

'ck! Keras kepala.'

Gadis itu menghela napas, sedetik kemudian ia mengambil napas pelan dan...

"Tolong! Tolong! Ada pasien yang ingin kabur!!" Teriak gadis itu menoleh kanan kiri agar suaranya terdengar oleh penjaga rumah sakit.

Tak lama kemudian dua orang suster menghampiri mereka.

"Ada apa ini?"tanya salah satu suster tersebut.

"Ini suster, dia kayaknya mau kabur," Jawab gadis itu menunjuk arah pemuda itu yang kini memasang wajah mematikan kepadanya. Namun, gadis itu merasa tidak takut sama sekali.

"Astaga, Yoongi-shii kau membuka infusmu?! Ayo kembali ke kamar." Titah sang suster membantu Yoongi untuk berjalan keruangannya.

"Sialan kau!" Gumam Yoongi berbalik menatap gadis itu. Gadis itu malah mengangguk, melambaikan tangannya dan tersenyum seolah perkataannya adalah ucapan terimakasih. Bibirnya mengatakan tanpa suara 'semogah cepat sembuh' dan Yoongi mengerti akan hal itu walau tak terdengar di telinganya.

...

Matahari kini menyapa bumi, angin kencang berhembus begitu halus. Suara hirup-pikuk terdengar di telinga pemuda Min itu. Kini dirinya sedang berada di atap rumah sakit, memandang kota di ketinggian, membuatnya merasa sedikit tenang.

Yoongi mendekati ujung gedung yang dibatasi tembok setinggi pinggang. Setelah kepergian kedua orangtuanya untuk membeli beberapa makanan untuk mereka, Yoongi memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia bosan di dalam ruangan yang pengap itu, hingga ia kini menikmati pemandangan indah diatas gedung rumah sakit.

"boleh bergabung?"tanya seseorang yang kini sudah berada di sampingnya.

"Kau?!"

"Hai!" Gadis yang semalam itu melambaikan tangannya kearah pemuda itu dengan senyum manisnya.

Yoongi terkejut, namun sebisa mungkin ia terlihat biasa saja. Yoongi menaikkan satu alisnya, kesal dan merasa tak nyaman gadis itu berada didekatnya. Sok kenal sekali orang ini, gumamnya dalam hati.

"Apa aku harus mengulanginya lagi?"

Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa canggung sebab pria yang semalam hanya mendiaminya. Ah, ia rasa pria itu tak nyaman jika berada disini. Haruskah ia pergi dari sini? Tapi ia sedang muak berada di dalam gedung itu. Telinganya serasa mau pecah mendengar ocehan seseorang didalam sana.

"Eum, apa aku menggangumu?" Tanya gadis itu pelan.

"Sangat."

Gadis itu terdiam, matanya menatap arah langit sebelum hembusan napas keluar bilah bibirnya.

"Maafkan aku, kukira tidak akan ada orang yang akan kesini. Ternyata perkiraan ku salah. Apa kau selalu kesini jika jenuh?" Tanya gadis itu ingin menghilangkan kecangungannya.

"Ya."

Singkat, padat dan jelas membuat gadis itu kesal setengah mati. Apakah pria itu hanya bisa menjawab singkat? Yang benar saja. Dia hanya ingin mengusir kecangungannya saja, tapi kenapa pria itu seolah tak mengerti. Apa munkin dia tidak peka?

"Apa kau baik-baik saja?"

Yoongi menoleh kepada gadis itu, menatapnya datar.

Gadis itu terlihat gelagapan ditatap seperti itu oleh pemuda pucat membuatnya salah tingkah. Jujur, dia mudah tersipu walau hal sekecil apapun. Memang wajah pemuda itu terlihat pucat, namun tidak menutupi ketampanannya.

"Tidak juga." Katanya setelah menoleh kearah depan kembali.

Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang sedang dirasakan pemuda itu.

"Sudah berapa lama kau berada disini?"

Yoongi tak menjawab. Ia sedang malas mengeluarkan suaranya.

Gadis itu tentu merasa kesal, bibirnya mengerucut lucu. Daripada terus bertanya dan tak di respon oleh pemuda itu, dirinya lebih baik mendengar musik lewat earphone dan menumpuhkan tangannya di tembok pembatas dan menidurkan kepalanya dengan posisi menyamping kearah pemuda itu.

Sinar matahari mengenai sedikit wajah cantiknya, mata indah itu terus saja menatap pria disampingnya yang sedang menatap ke depan tanpa berkedip.

" Apa kau lelah hidup?"

Pertanyaan spontan itu membuat yoongi kaget, kenapa gadis itu bisa tahu? apakah gadis itu merasakan apa yang dirasakannya? Yoongi mengacuhkan pertanyaan itu lagi, namun perkataan gadis itu membuat seluruh atensi Min Yoongi mengarah padanya.

"aku tahu, dan itu jelas terbaca diwajahmu. Kau tahu? Kematian itu bukan ada pada diri kita, tapi yang menciptakan kita. Kau boleh saja mengeluh, tapi tidak untuk menyerah, Yoongi-shii," ujar gadis itu mengangkat kepalanya membalas tatapan pemuda itu dengan senyuman manisnya.

"Darimana kau tahu, namaku?" Tanya pemuda itu.

Gadis itu semakin melebarkan senyumnya." Semalam, apa kau lupa?"

Ah ya, semalam suster itu memanggil namanya. Munkin gadis itu tahu karna mendengarnya.

Yoongi menghela napas, kembali menatap kearah depan. Yah, dia lelah hidup. Namun juga takut akan kematian.

"Semua merasakan apa yang kau rasakan, hanya saja beberapa hal itu berbeda. Aku juga berada di posisi mu, aku pernah ingin mengakhiri hidup, ingin meninggalkan dunia. Tapi seseorang mencegahku, satu-satunya seseorang yang begitu berarti dalam hidupku. Aku tidak bisa melawannya, rasa takut, khawatir dan gelisah selalu menjalar di hatiku."

Mata gadis itu berkaca-kaca, siap luntur dari manik indah itu. Yoongi hanya menatapnya, tak ingin mengangu gadis itu yang sedang bercerita.

"Ah astaga, kenapa aku bisa bercerita seperti itu, Hahaha! Maafkan aku, aku tidak bermaksud un--"

"Tidak apa-apa, aku tidak terganggu. Berbicaralah."

Gadis itu terdiam, menatap pemuda itu.

"Ah, tidak-tidak. Aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Apakah kita bisa berkenalan?"

"Bukankah kau sudah tahu?" Tanya balik Yoongi.

"Eum, ya. Tapi kurasa kau belum tahu namaku, kan? Kenalkan, aku Jihyeon, Jung Jihyeon." Gadis itu mengulurkan tangannya di hadapan Yoongi.

Walaupun Yoongi enggan namun ia menerima jabatan gadis itu sebab tak ingin membuat gadis itu kesal lagi. ia tahu, ia merasakannya.

"Yoongi, Min Yoongi," balasnya.

"Wah nama yang bagus, tapi apa aku boleh memberimu nama panggilan? Dengan sebutan sugar, ah maksudku Suga? Kurasa itu lebih bagus, kau tampak manis seperti gula."

"Yah, dan itu memang panggilan dari keluargaku."

"Oh, benarkah? Kebetulan sekali." Jihyeon tertawa kecil.

Diam-diam Yoongi tersenyum, nyaris tak terlihat. Ia baru saja mengagumi kecantikan gadis disampingnya, senyumannya yang bersinar bak matahari. Yoongi baru kali ini terpesona dengan seseorang.

"Apa kau tidak merasakan sakit?"

Yoongi menatap Jihyeon, dan beralih menatap sesuatu yang sedang ditatap gadis itu. Ah lengannya, ia lupa menutupinya.

"Tidak."

"Suga, sayang." Seorang paru baya menghampiri keduanya. Memegang bahu sang putra sembari mengelusnya lembut.

"Ibu cariin dari tadi ternyata disini." Lanjut Ny. Min, Terlihat raut wajah khawatir di wajahnya.

"Maaf, Bu. Tadi aku sangat bosan, jadi aku kesini saja."

"Yasudah, kita masuk ya. Papah sudah membelikan makanan kesukaanmu. Eh, kau siapa?" Tanya Ny. Min saat antensinya menangkap sosok gadis cantik di samping sang putra.

"Annyeong Haseyo, Ahjumma. Kenalkan, aku Jung Jihyeon, teman Yoongi." Ujar Jihyeon setelah membungkuk pada yang lebih tua.

Yoongi menatap Jihyeon, apa ia salah dengar? Gadis itu menyebutkan dirinya sebagai temannya? Yoongi kira tidak akan ada lagi yang namanya teman dalam kehidupannya.

"A-ah, ya. Senang bertemu denganmu, Jihyeon. Terimakasih sudah menemani Yoongi disini."

"Iya, Ahjumma. Sama-sama."

"Kalau begitu kami duluan ya." Pamit Ny. Min.

Jihyeon menganguk tersenyum."Iya, Ahjumma. Suga yang semangat ya! Semoga cepat sembuh dan harap kita bisa bertemu kembali!" Teriak gadis itu.

Yoongi tersenyum tipis, menoleh kebelakang sebentar. Ia juga berharap bisa bertemu dengan gadis itu, Yoongi merasakan nyaman berada di dekat gadis itu. Yoongi tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya.

...

Malamnya, masih dirumah sakit yang sama pukul sebelas malam lewat, Yoongi berjalan dilorong sepi. Alasan ia keluar bukan karna ia ingin kabur, namun merasa bosan pun mata tak bisa diajak kompromi untuk terpejam dan menjelajahi dunia mimpi. Yoongi Ingin berjalan-jalan, munkin saja itu akan membuatnya lelah dan berujung tidur dengan nyenyak.

Bruk!

Saat pembelokan, yoongi menabrak seseorang yang munkin ingin berbelok juga. Yoongi terjatuh dan merasakan perih dipunggung tangannya, matanya melebar kala infus itu terlepas dari punggung tangannya hingga mengakibatkan pendarahan.

"Astaga! Maafkan saya! Maafkan saya." Orang itu membungkuk berkali-kali dan membantu Yoongi untuk terbangun.

Yoongi terdiam, ia mengangkat wajahnya saat suara tak asing itu terdengar di telinganya. Wajahnya tak terlalu terlihat karna minimnya cahaya di lorong itu. Saat tubuhnya sudah tegap berdiri, gadis itu melepaskan tangan yoongi yang berada di bahunya.

"Apa anda tidak apa-apa? Oh! Astaga, Suga?! Kau ingin kabur lagi?!!" Pekik gadis itu.

Benar, yoongi tidak salah. Gadis itu, kembali ke hadapannya. Namun suara cepreng gadis itu membuat telinganya berdengung, sangat bising. Bisa bahaya jika dokter atau suster menemuinya. Yoongi masih ingin berada di luar, sungguh.

"Astaga, diam bodoh! Aku tak berniat akan hal itu. Hanya bosan saja, jadi aku ingin berjalan-jalan sedikit," balas yoongi.

"Oh. Apa kau tidak apa-apa?" Tanya gadis itu lagi.

"Hanya tanganku, tapi tidak apa-apa," ujarnya menatap tangannya yang semakin banyak mengerluarkan darah.

"Coba kulih..."

Ucapan Jihyeon terhenti, matanya membola. Kakinya melangkah mundur, menjauh dari pemuda itu hingga punggungnya menabrak tembok. Keringat mengucur pada wajahnya, gadis itu merasakan sesak di dadanya, kepalanya menggeleng pelan.

"Ti-dak, tidak-tidak! itu bukan salahku. Kumohon jangan menuduhku! Jangan memaki ku! Itu bukan aku yang melakukannya! Kumohon maafkan aku!" Jihyeon menggeleng cepat, menutup kedua telinganya saat sahutan-sahutan mengerikan terdengar.

Yoongi panik, ia tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu. Yoongi mendekati Jihyeon, berusaha menenangkan gadis itu. Lelaki itu tak bisa melihat seseorang menangis di hadapannya, ia tak tahu harus menenangkan bagaimana. Sungguh ia membuat seseorang tersakiti lagi setelah kedua orangtuanya.

"Te-tenanglah, kumohon. Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa, sungguh. Tenanglah."

'kau pembunuh! Pembawa sial! Kau melukai orang lain lagi, Jihyeon!!'

Suara itu menggema di kepala Jihyeon.

"Hentikan!" Teriak Jihyeon tertahan, tercekat oleh air matanya sendiri yang entah kapan keluar dari manik matanya.

Yoongi langsung tersadar saat melihat Jihyeon begitu rapuh, memeluk dirinya yang bergetar hebat dan menggumamkan kata 'hentikan' berulang kali. Yoongi tanpa berpikir panjang langsung memeluk gadis itu. Memberikan ketenangan dari pelukannya yang hangat.

"Tidak apa-apa, jangan takut. Aku disini."

Jihyeon perlahan mulai tenang, dan tersadar jika dirinya baru saja terserang traumatic stress disorder dan itu tepat di hadapan Min Yoongi.

'aku tidak pernah ingin dilihat sisi lemahku, namun sekarang seseorang melihatnya dan aku sangat benci ini.'

"maafkan aku, maafkan aku." Gumam Jihyeon berulangkali.

"Iya, tidak apa-apa. Aku maafkan, tenanglah."

Yoongi mengusap pelan bahu Jihyeon agar gadis itu berhenti terisak. Yoongi merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu, namun ia tak munkin menanyakan hal itu saat situasinya tak mendukung. Ia harus menenangkan gadis itu terlebih dahulu.

.....

Disini mereka sekarang, tempat dimana kedua kalinya mereka bertemu. Ya, atap gedung rumah sakit. Saling diam, memandang langit yang semakin gelap. Angin berhembus tenang, membuat kulit mereka kedinginan namun tak pernah berfikir untuk beranjak dari tempat mereka duduki.

Gadis itu masih terdiam sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Yoongi sebenarnya ingin mengantar gadis itu diruangannya, namun ditolak lantaran tak ingin mendengarkan ocehan sang kakak.

Yoongi hanya mengangguk mengerti, pemuda itu merasa penasaran dengan kakak Jihyeon seperti apa. Apakah kakaknya suka mengoceh? hingga sang adik takut untuk bersitatap dengannya? Bukan ke takut sih, gadis itu hanya bosan mendengar cibiran kakaknya tersebut. Jihyeon memiliki kakak laki-laki, namun terasa seperti perempuan saja.

"Sudah tidak perlu bersedih, lihat tanganku sudah tidak apa-apa." Yoongi mengangkat tangannya setelah ia obati sendiri tadi setelah mengambil kotak P3k di ruangannya untuk membersihkan lukanya dan mengobatinya kembali.

Jihyeon tak bisa membantu, gadis itu takut akan darah. Sejak kejadian beberapa tahun lalu, saat ditinggal oleh orangtuanya secara mengenaskan membuat dirinya merasa bersalah. Ia tak tahu mengapa orang-orang menyalahkan dirinya, ia saja tak tahu mengapa kedua orangtuanya kecelakaan seperti itu.

"maafkan aku, Suga." Gadis itu menunduk merasa semakin bersalah pada pria disampingnya.

"Tidak apa-apa, jangan meminta maaf lagi, oke?" Diusapnya kepala gadis itu lembut diikuti senyum tipis di bibirnya.

Gadis itu mendongak, menatap pria itu. Gerakan tangan yoongi terhenti saat tatapan mereka bertemu, Kenapa tiba-tiba ia melakukan hal seperti itu. Sungguh yoongi merasa aneh sekarang.

"Ah, kurasa udara dingin mulai tak baik buat kita. Ayo, kembali kedalam lagi," ajak Suga melihat langit malam yang mulai banyak menampakkan cahaya bintang.

Jihyeon menggeleng,"kau saja. Aku masih ingin disini."

Yoongi menghela napas, ternyata membujuk seorang wanita lebih sulit daripada yang ia kira. Mau tidak mau yoongi harus menemani gadis itu sampai gadis itu yang lelah dan memutuskan untuk masuk keruangannya. Tidak munkin yoongi biarkan gadis itu sendirian disini, jika ada setan dan memakannya, bagaimana?

Yoongi bodoh! Mana ada setang makan manusia.

Oke, lupakan!

"kau sudah tidak apa-apa, kan?"

"Iya, maafkan aku tadi."

"Astaga, sudah kubilang jangan minta maaf!"

Jihyeon tertawa," baiklah-baiklah, maafk--"

"Jihyeon!"

Jihyeon semakin tertawa, sungguh ia tidak ingin mengatakan hal itu, tapi mulutnya refleks berkata seperti itu. Yoongi merasa bersyukur, melihat gadis itu tak sedih lagi.

"Oh astaga! Lihat! Bintang jatuh!"

Buru-buru Jihyeon menutup mata, dan berdoa agar bintang itu mendengar dan mengabulkan keinginannya. Yoongi hanya melihat tingkah gadis itu, tak ingin mengikuti apa yang sedang dilakukannya. Yoongi tidak percaya, bahwa bintang akan mengabulkan permintaannya.

"Apa kau percaya, bintang akan mengabulkan keinginanmu?" Tanya Yoongi setelah melihat gadis itu membuka matanya.

"Tidak juga, tapi aku tidak akan pernah berhenti meminta. Siapa tahu terkabulkan, kan?"

Yoongi hanya mengangguk saja."Apa yang kau minta?"

"Sesuatu, dilarang kepo!"

Yoongi tertawa pelan. Jihyeon tertegun melihat bibir laki-laki itu melengkung indah disudut bibirnya, sangat manis.

"Kau tampak sangat tampan jika tersenyum, kuharap kau selalu seperti ini, selalu tersenyum," ujar Jihyeon tiba-tiba, Dan itu membuat tawa yoongi memudar.

Yoongi menganguk dengan senyum tipisnya.

'Tapi hanya untukmu.'

Jihyeon membalasnya, mereka semakin akrab dan saling bertukar cerita.

"Suga, tidak apa-apa merasakan sakit yang kau terima, biarkan takdir mempermainkanmu. Aku yakin, suatu saat nanti kau akan bersinar, bagai bintang bersinar di atas langit sana. Karna itu, jangan pernah untuk menyerah melawan kejamnya dunia. Aku percaya, kau pasti bisa dan menemukan jati dirimu yang kini menghilang."

"Yah, aku akan berusaha. Kita akan berjuang melawan takdir bersama, kita tidak boleh tunduk pada nasib ini." Gumam Yoongi pelan menatap langit malam dengan hiasan sinar sang surya.

Jihyeon menganguk menyetujui.

"Ingin membuat janji?" Jihyeon menatap yoongi.

"Janji? Janji apa?"

"Eung! Berjanji padaku kau tidak akan pernah melukai dirimu sendiri lagi, berjanji untuk selalu ingin hidup, dan selalu bahagia. Kuharap kau masih menyayangi hidupmu, Jangan pernah menyia-nyiakannya, mengerti?"

"Eum, baiklah. Tapi kau juga harus berjanji untuk selalu menjaga dirimu baik-baik, jangan pernah merasa sendiri. Aku yakin, ada banyak orang yang masih menyayangimu. Mari melawan rasa sakit dari kejamnya dunia, kita harus tetap hidup bersama, selamanya."

Jihyeon menganguk tersenyum.

"Eung! Mari kita mencari pintu kebebasan itu, Suga!"

Yoongi tersenyum mengangguk. Lelaki itu merasa, ia masih punya alasan untuk tetap hidup. Ia akan berusaha bertahan, demi orangtuanya dan juga teman barunya, Jung Jihyeon. Yang munkin baru saja ia ketahui punya nasib mengerikan seperti dirinya, dan dia ingin seperti Jihyeon yang masih bisa bertahan hingga saat ini.

...

Waktu berjalan begitu cepat, keduanya berpisah lantaran Yoongi sudah boleh pulang karna keadaannya sudah membaik. Begitupun juga dengan Jihyeon, yang menemani kakaknya.

Sudah satu bulan ini, Yoongi tidak bertemu dengannya. Yoongi sedikit merindukan gadis itu, ingat hanya sedikit! Yoongi merasa nyaman di dekat Jihyeon, ingin rasanya lelaki itu bertemu kembali dengan gadis itu. Tapi, apakah gadis itu mau?

Yoongi meraba sesuatu disampingnya, meraih benda pipih itu. Haruskah ia memberinya kabar, Yoongi teringat salah satu ucapan gadis itu setelah pertemuan terakhir di rumah sakit.

'kau harus memberiku kabar setelah kita tak dapat salig bertemu. Aku harap kau baik-baik saja disana, aku akan merindukanmu.'

Yoongi tersenyum, entah kenapa ia menjadi salah tingkah bila gadis itu akan merindukannya. Apakah ia benar-benar sudah gila hanya karna satu gadis. Yoongi tidak ingin menganggap perasaan ini sebuah rasa cinta, takutnya itu hanyalah sekelabat sebatas teman.

Hari demi hari hidup Yoongi mulai merasa baik. Tak ada lagi kerasnya kepala yoongi, tak ada lagi yoongi yang pemarah, dan tak ada lagi luka dilengannya. Gadis itu membuatnya sedikit demi sedikit berubah hanya karna perjanjian itu.

Tapi terkadang, kebahagiaan yang diinginkan Yoongi tak pernah menghampiri. Ia khawatir, apa munkin ia tak bisa merasakan apa itu kebahagiaan. Yoongi sudah mencari kebahagiaan itu, keluarganya, lingkungan pun teman, oh tidak, yoongi sekarang tidak punya teman kecuali dia, gadis berparas manis itu.

Yoongi ingin sekali merekam kenangan indah, dan dipenuhi kebahagiaan. Sungguh, impian Yoongi selama ini hanya itu. Yoongi ingin merasakan kebebasan, tanpa adanya kekangan, gangguan pun selalu tak ingin diusik.

Tring!

Yoongi menatap layar ponselnya, matanya membola kala membaca isi pesan yang baru saja masuk di aplikasi chatnya.

'hai, yoongi! Ini aku, Jihyeon.'

Yoongi mulai membuka isi pesan itu, mengetik dengan tangan bergetar. Ada apa dengannya? Padahal sebelumnya ia tak pernah merasa tak baik jika saling bertukar pesan pada seorang gadis, tapi kenapa sekarang malah sebaliknya.

'ah, ya. Hai!' balas Yoongi akhirnya.

'tak merindukanku?' gadis itu membalas lagi.

Yoongi merasakan detak jantungnya sedang tak baik baik saja, terlalu cepat memompa. Ada apa ini?

'menurutmu?' balasnya.

'aku yakin seratus persen, kau merindukanku sangat!'

'pede sekali.'

'haha! Baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi.'

'Ya, aku merindukanmu.'

'Ahhh! Benarkah?! Seorang Min Yoongi yang cuek dan dingin bisa merindukan seseorang?!!'

'ck! Diamlah!'

'Aku tidak berteriak di kupingmu ya Min Suga!'

'ck! Siapa juga yang mengatakan jika kau berteriak? Bodoh!'

'yaa!! Aku tidak bodoh ya Min Suga!!!!'

Yoongi tertawa kecil hanya karna pesan yang terkirim untuknya.

'sudahlah. Aku mau tidur!'
'Kau juga sana tidur!'

'tidak ada niatan untuk bertemu besok? 👉👈 Ini sebagai tanda lepas rindumu padaku😹😹'

Yoongi tertawa lagi, dirinya yakin Jihyeonlah yang merindukan dirinya dan memintanya agar bisa bertemu.

'bilang saja jika kau yang merindukanku, gadis kecil😏'

'ihhh! Tidak ya!'

'oh, begitu? Tapi aku tidak mau bertemu denganmu. Bagaimana dong?'

'yah, harus lah. Yahyahyaaaa, plieeesss. Oh, apa keadaanmu belum baik-baik saja, ya? Yaudah tidak apa-apa. Munkin lain waktu saja.'

'tidak, aku baik baik saja. Mau bertemu dimana?'

'kau mau?'

'Y'

'Ck! Kau menyebalkan Min!'

'Katakan cepat, sebelum aku berubah pikiran!'

'ah, baiklah-baiklah kucing gemuk... bagaimana jika ditaman? Apa kau punya rekomendasi taman yang nyaman?'

'aku bukan kucing! Dan satu lagi aku tidak gemuk, mengerti! Kurasa tempat ternyaman itu kasur.'

'cih! Itu bukan taman Min Yoongi-shii.'

'siapa yang mengatakan itu taman, aku hanya menyatakan tempat ternyaman, bukan?'

'terserahmulah, Yoon. Ternyata berbicara lewat chat denganmu membuat tensiku naik.'

'benarkah? Berarti kau sudah tua sebab cepat sekali naik darah. HAHA!'

'Ya! Liat saja aku akan menghajarmu jika bertemu nanti.'

'oh begitu, ya? Yasudah, aku tidak jadi bertemu denganmu.'

' ya ya ya, jangan dong. Yaudah aku tarik kata2ku tadi diganti dengan mentraktir mu, yah?'

'aneh'

'apanya?!'

'kau sangat antusias sekali Ingin bertemu denganku. Jangan-jangan...'

'apa_-'

'tidak, tidak jadi.'
'Aku akan serlock tempat terbaik, tidurlah. Tunggu aku di dekat lampu merah yang pemberhentian bis, mengerti?'

'Arresseo, jaljayo Yoongi-ahh.'

Yoongi tak membalasnya, hanya bisa tersenyum. Jujur saja, sedari tadi jantungnya berdegup kencang. Tak munkin kan ia jatuh cinta pada gadis itu? Yah, itu tidak munkin.

...

Yoongi berjalan di keramaian, dengan pakaian tertutup namun terlihat elegan ditubuhnya. Bukan seperti mata-mata, namun terlihat seperti idol papan atas. Dengan baju kaos putih ditutupi jaket kulit hitam pun celana agak kebesaran dilengkapi kacamata hitamnya, masker juga topi berwarna senada dengan jaketnya

Hari ini musim gugur, orang-orang lebih menyukai berjalan kaki menuju halte Bis. Yoongi melihat gadis itu yang sedang melamun dengan earphone ditelinga kirinya. Yoongi merasa ada yang aneh dengan tatapan kosong itu, tapi entah apa itu. Diraihnya benda pintar itu, dan menelpon gadis itu. Lampu masih berwarna hijau, jadi ia harus menunggu lampu itu agar berubah warna merah.

"Aku ada dihadapanmu!" Yoongi melambaikan tangannya tinggi-tinggi saat Jihyeon mendongak mencari dimana keberadaannya. Gadis itu mengukir senyumannya yang begitu indah. Yoongi mematikan teleponnya, matanya tak pernah beralih pada gadis itu yang kini sedang menunggunya di seberang sana dengan senyum tipisnya.

Yoongi bergegas melangkah maju saat lampu jalan itu berubah warna, ia tak ingin membuat gadis itu menunggu lebih lama lagi. Namun keadaan terlihat begitu cepat, belum kaki itu melangkah jauh, tubuhnya sudah terhempas begitu jauh dari tempatnya berdiri. Semua orang berteriak histeris melihat kejadian tersebut.

Jihyeon, tubuh gadis itu menjadi kaku. Pikirannya menerawang jauh dari apa yang sedang terjadi di hadapannya, berharap ini hanyalah halusinasi. Namun teriakan pekaki jalanan semakin memekik di gendang telinganya, kendaraan berlalu lalang terhenti untuk melihat kejadian tersebut dan ada beberapa orang membantu untuk menelpon ambulance.

Jihyeon menggeleng pelan, air matanya perlahan mengalir. 'Tidak, jangan lagi. Kumohon!' Batinnya berteriak.

Hospital Seoul.

Sudah dua jam lamanya kedua paru baya itu menunggu, tak lupa berdoa untuk keselamatan sang anak. Tuan dan Nyonya Min benar-benar terpukul dengan keadaan anaknya yang begitu mengenaskan. Bahkan Nyonya Min pingsan selama satu jam, ia berharap ini hanyalah sebuah mimpi jika dirinya terbangun dari pingsan. Tapi nyatanya itu tidak benar, anak satu-satunya menghadapi tantangan yang lebih parah lagi dari yang sebelum-sebelumnya.

"Dengan keluarga pasien?" Seorang pria berpakaian jas rumah sakit keluar dari ruangan menghampiri kedua orang tua tersebut.

"Ya, kami orang tuanya dok. Bagaimana keadaannya?" Tanya Ny. Min.

Dokter itu terdiam sejenak, lalu menghembuskan nafasnya sedikit pasrah. "Begini, kondisi pasien benar-benar sangat kritis, kami bisa saja menyelamatkan, tapi..." Perkataan dokter itu terjeda, seakan sangat sulit untuk dikeluarkan dari kedua belah bibirnya.

"Ta-tapi? Tapi kenapa dok?! Katakan!" Nyonya Min memegang lengan sang dokter agar berbicara dengan jelas.

"Harus ada pendonor jantung."

Deg!

"Kecelakaan yang dialami pasien membuat pembuluh darahnya pecah dan mengenai jantungnya, hingga mengakibatkan kerusakan," ungkap dokter itu.

Nyonya Min limbung, matanya berkunang-kunang juga membuat kakinya lemas saat mendengar penjelasan sang dokter. Wanita itu merasakan sesak di dadanya atas kenyataan yang menimpa anak semata wayangnya. Tuan Min mengangkat tubuh sang istri, mendudukkanya di kursi. Melihat wajah sang istri membuatnya semakin terpukul. Apa yang harus dilakukannya? Dimana ia harus mencari jantung untuk anaknya itu?

"Yeo--bo, apa yang harus kita lakukan?" Tanya Nyonya Min pelan.

"Tenanglah, aku akan mencarikannya," ucap Tuan Min menenangkan sang istri.

"Aku tidak mau kehilangannya, hiks." Nyonya Min menangis di dada sang suami.

...

"Oppa! Aku mohon!"

Lelaki tampan berpawakan tinggi dengan bibir berbentuk love itu mengusap wajahnya kasar, menghadapi adiknya yang keras kepala membuatnya pusing.

Terlebih lagi permintaan adiknya yang begitu konyol. Siapa coba yang rela bila adiknya ingin membantu seseorang yang baru saja dikenalnya untuk memberikan nyawanya dan dia akan pergi dari kehidupannya.

Dia tidak mau! Tidak mau adiknya pergi menemui kedua orangtuanya. Lelaki itu sangat menyayangi adiknya!

"Jangan bodoh, Jihyen-ah. Apa kau lupa kalau aku masih ada disini? Kenapa kau tidak bantu cari saja, bukan malah organmu yang ingin kau berikan."

Ya, gadis itu Jihyeon. Tengah merengek di balik punggung sang Kaka yang tengah kesal dan menahan amarah. Kemarin, Jihyeon diam-diam mendengar percakapan antara dokter dan kedua orang tua Min Yoongi.

Jihyeon menangis dalam diam, merasa sangat bersalah terhadap pemuda pucat itu. Jika saja Jihyeon tidak memaksa lelaki itu untuk bertemu, ini tidak akan terjadi. Bahkan gadis itu tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, tidak pernah! Sekalipun dalam mimpi buruknya. Tapi hal ini bahkan lebih mengerikan daripada mimpi buruk itu sendiri. Sebegitu rahasianyakah hidup seseorang?

Dan malam ini, Jihyeon meminta ijin agar kakaknya mau merelakan ia yang akan mendonorkan jantungnya pada pemuda pucat itu. Walaupun mereka baru saja berteman beberapa minggu, Jihyeon sudah menganggap pemuda itu istimewa di hidupnya.

Hoseok berbalik menatap adiknya."Jihyeon, dengar! Dengarkan Oppa sekali ini saja, Oppa tidak mau kau pergi dari kehidupan Oppa! Oppa menyayangi mu, sangat-sangat menyayangimu. Aku mohon, tetap berada di samping Oppa!"

"Oppa menyayangiku, kan? Maka ijinkan aku pergi. Aku tidak bisa menahan semua rasa sakiti itu, Oppa. Sampai kapanpun aku hidup, aku juga akan mati. Oppa suka, lihat aku kesakitan?" Tanya Jihyeon pelan diakhir kalimat.

Pemuda Jung itu menggeleng pelan, air matanya perlahan mengalir tanpa di sadarinya. Apa dia begitu egois menahan adiknya selama ini? Apa dia egois melihat adiknya kesakitan setiap waktu tanpa ia bantu? Apa dia kakak yang egois selalu membuat adiknya terus bertahan dan membuatnya semakin terpuruk?

"Apakah jalan itu benar? Jihyeon-ah," Tanya Hoseok menatap adiknya sendu.

Jihyeon menganguk dengan kedua sudut bibirnya terangkat, menghampiri sang Kaka dan memeluknya erat."Eung! Aku ingin pergi dalam keadaan bahagia, Oppa. Bahagia karna bisa menyelamatkan kehidupan seseorang, walaupun harus menukar hidupku."

Hoseok memeluk erat tubuh kecil Jihyeon, menangis tanpa suara. Lelaki itu belum rela melepaskan adik kecilnya yang manja ini. Namun, jika itu keputusannya dan membuatnya bahagia hoseok harus menerimanya. Menerima adiknya untuk bertemu kedua orangtuanya di pintu surga tanpa harus berbalik lagi padanya.

"Kuharap, Oppa bisa berteman baik dengannya." Gumam Jihyeon mengeratkan pelukannya pada sang Kaka.

'haruskah? Apa itu akan sulit nantinya?'

'maafkan aku, yoongi. Aku mengingkarinya.'

"Aku mencintainya, Oppa," Gumam Jihyeon lagi bertepatan itu air matanya mengalir perlahan dari mata indahnya.

...

'Hai Yoongi-ah, oh maksudku Suga tapi kurasa sama saja, ya? Haha! Bagaimana? Apa sudah lebih baik? Kuharap begitu. Jangan sedih karna aku tidak bisa menjengukmu, aku akan terus berdoa agar kau bisa menjalani hidupmu lebih baik lagi. Tetaplah baik kepada diri sendiri, meski kamu gagal. Sekecil apapun kebahagiaanmu, terimalah. Itu adalah waktu terbaikmu.

Yoongi, apakah salah mencintai dalam diam hanya karna sebatas teman? Tapi kenapa hatiku mengharap lebih? Aku ingin mengungkapkan perasaanku waktu itu, tapi aku takut. Takut kau tersakiti, begitupun juga denganku. semesta kejam Yoongi, dia tidak ingin membuat kita saling memiliki. Tapi aku sadar, terkadang apa yang kita inginkan tak harus memiliki. Melihatnya bahagia itupun sudah cukup bagiku. Yoongi, aku mencintaimu. Selamanya akan tetap seperti itu. Maafkan aku, aku pergi terlebih dahulu darimu.

Jangan bersedih lagi, ya. aku tidak mau melihat hal itu. Dan jangan merasa bersalah aku pergi karnamu. Tidak, yoongi. Aku hanya ingin membuatmu hidup lebih lama lagi, karna aku tidak bisa lagi melakukan hal itu. Aku mengidap kanker, dan itu sudah cukup lama. Daripada aku merasakan sakit terus menerus, lebih baik aku pergi saja. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan saat terapi. Maka dari itu, aku memberikannya untukmu sebagai permintaan maaf ku, sebab akulah yang membuatmu seperti ini. Semoga kamu menjaganya baik-baik, karna aku juga akan merasa seperti hidup kembali. Hidup dalam dirimu, Suga.

Dan satu lagi, jangan pernah merasa sendiri, aku selalu ada untukmu, dimanapun dan kapanpun itu. Karna aku hidup dalam tubuhmu, hatimu, dan disisimu. Selamanya!'

Yoongi meremat kertas itu dengan tangan bergetar, matanya menajam menatap batu nisan dihadapannya dengan deru napas yang tak beraturan. Yoongi berteriak histeris ditengah-tengah makam, memukul batu nisan bertuliskan 'Jung Jihyeon' juga tanggal lahir saat gadis itu hidup, pun mati.

Air matanya mengalir sedari tadi sebelum seseorang memberikan secarik kertas kepadanya. Lelaki itu mengenalkan dirinya pada pemuda pucat itu. Bahwa ia adalah Kaka Jihyeon, Jung Hoseok. Setelah itu, pemuda itu meninggalkan Yoongi sendiri disana.

Setelah genap dua bulan dinyatakan koma, Yoongi terbangun setelah operasi transplantasi jantung itu berhasil dilakukan dokter dua bulan lalu. Keluarganya merasa bahagia, dan terus mengucapkan terimakasih kepada Jihyeon juga Jung Hoseok sebab rela memberikan organ berharga itu tanpa adanya imbalan apapun. Sempat, kedua orangtua Yoongi menolak dan akan mencari sendiri, tapi Jihyeon memaksa. Jihyeon rela, dan ikhlas.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!!!" Teriak Yoongi pada makam Jihyeon.

"Kenapa?! Kenapa kau lakukan ini, bodoh?!"

"Jika saja waktu itu kau mendengarkanku! Kau masih bisa hidup hingga sekarang! Biarkan aku yang pergi, aku lelah, Jihyeon-ah! Kenapa bukan aku saja yang pergi!"

Waktu itu, Yoongi berada diluar raganya. Melihat betapa bodohnya gadis itu merelakan hidupnya hanya untuk dirinya. Yoongi berkali-kali mengatakan pada Jihyeon bahwasa tidak apa-apa dirinya pergi, ia ingin merasakan kebebasan. Tapi gadis itu tak mendengarnya, dan tetap bersikap keras untuk memberikan jantungnya.

Yoongi tersenyum miris, entah gadis itu terlalu baik atau bodoh merelakan hidupnya pada orang yang baru saja dikenalnya. Yoongi tidak apa-apa pergi, meninggalkan keluarganya. Lelaki itu juga sudah lelah, ia ingin bebas. Bebas dari kehidupan kejamnya itu.

"Kau mengingkari janjimu, Jihyeon-ah! Bukankah kita sudah berjanji untuk melewati hidup yang kejam ini bersama? Tapi kenapa kau mengingkarinya! Aku kecewa terhadapmu, aku sangat kecewa! Aku membencimu, Jihyeon-ah!!"

Yoongi tersungkur, tangisannya semakin keras.

"Kau bilang padaku untuk selalu tersenyum, kan?! Tapi sekarang alasan aku tersenyum, pergi meninggalkanku! Kau membuatku terus menangis seperti orang gila, Jihyeon!"

"Jika saja aku bisa mengubah takdir, aku ingin kau masih tetap hidup, aku juga masih tetap hidup. Kita bersama-sama melawan takdir buruk itu. Aku ingin selalu bersamamu, disini, didunia ini!!" Yoongi meraung, seluruh tubuhnya bahkan hatinya sakit.

"Kenapa Tuhan memberiku takdir seperti ini? hiks, kenapa saat pertama kali aku merasakan cinta malah membuatnya pergi tanpa berbalik padaku?! Jikapun nanti kamu terlahir kembali, aku akan menunggumu, Jihyeon-ah. Sungguh!!"

"Kau belum memberi tahuku harapan apa yang kau minta pada bintang waktu malam itu. Kenapa rasanya harapan itu seperti menyakitkan, menyakitiku dan dirimu. Aku tidak mau berfikir jika kau berharap agar hidupku akan lebih baik dan menukar hidupmu hanya untukku! Tapi, kenapa aku terus berfikir bahwa itu benar! Apa jangan-jangan kau meminta hal seperti itu?! Iya, kan?!!"

"Kumohon, kembali padaku, jihyeon-ah. Kembalilah!!"

Seseorang mendekat padanya, menepuk pundak pria pucat itu. Yoongi mendongak, menatap wajah yang tak asing lagi baginya. Senyuman itu, persis seperti yang dimiliki gadis yang dicintainya. Ya, Yoongi jatuh cinta. Jatuh cinta pada gadis yang kini berbeda alam dengannya.

"Butuh sandaran?"

Yoongi menggeleng pelan, menatap kosong kearah makam Jihyeon. pemuda Jung itu tersenyum tipis, tahu apa yang dirasakan pemuda dihadapannya itu.

"Dia mencintaimu, sejak pertemuan pertama kalian. Dia ingin kau bahagia lebih lama lagi disini, tanpa dirinya disampingmu." lanjut Hoseok, matanya tak lepas menatap makam sang adik disamping kedua orangtuanya.

Yoongi terdiam. Hatinya semakin menjerit, berteriak pada semesta akan kenyataan ini. Kenapa begitu sulit, Tuhan? Kenapa kau pisahkan kami saat kami mulai merasakan sesuatu yang tidak mudah kita rasakan. Yoongi membenci takdirnya, kenapa tidak membuatnya mati bersama saja?! Kenapa?!

"Kau harus tahu, adikku rela pergi hanya untuk bisa melihatmu masih bernapas didunia ini. Dia rela karna dia mau membuatmu terus hidup, jadi jangan sia-siakan apa yang telah diberikan kepadamu darinya."

Yoongi berdiri dan memeluk pemuda lebih tinggi darinya, menumpahkan tangisannya disana. Hoseok menerimanya, tangannya mengusap punggung teman adiknya itu, memberikan sedikit ketenangan.

'Aku tahu itu, tapi bagaimana aku bisa hidup jika alasanku untuk hidup sudah tidak ada lagi!'

The End.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 21, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ONESHOOT ASRAMA WATTPADWhere stories live. Discover now