05. Dewa penolong

630 80 22
                                    


***

MENARI dengan pemandangan hujan kecil dari balik dinding kaca merupakan salah satu momen yang disukai Nala. Meskipun tubuhnya tetap berkeringat, namun pemandangan luar seolah memberikan sugesti jika ia tengah berat di tempat yang sejuk nan bebas. Tidak ada peraturan, tak ada penilaian, ia bebas.

Terasa seperti tetes hujan yang jatuh.

Di hari yang redup ini harapan Nala hanya satu. Semoga ia diterima untuk mengajar di tempat kursus yang baru. Kebetulan, ia akan mengikuti tesnya beberapa jam lagi.

"Ada Kevin, Nal" bisik Acha, pada salah satu sisi telinga Nala.

Nala mengalihkan pandangannya, menemukan lelaki itu yang bersandar di depan pintu, dengan kedua tangannya yang dilipat. Lelaki itu tersenyum ketika Nala menatapnya dengan bingung.

Mengapa Kevin kemari?
Apakah perkataannya tempo hari kurang jelas? Ia tidak ingin bertemu lagi.

"Samperin gih"

"Nggak mau"

"Nala, nggak boleh gitu cantik…"
Pada akhirnya Nala mengalah. Dengan rautnya yang sedikit ditekuk, ia menghampiri Kevin.

"Ada perlu apa?"

"Mau nemuin temen gue, itu. Gue lagi nungguin dia" balas Kevin, santai. Cowok itu kemudian terkekeh pelan ketika melihat air muka Nala yang berubah drastis.

"Oh- yaudah"
Ya Tuhan. Nala sangat malu sekarang. Bisa-bisanya ia mempercayai ucapan Acha dengan mudah. Sekarang ia pasti terlihat sangat konyol di mata lelaki itu.

"Lo kira gue cari lo ya?"

Karena terlanjur malu, Nala tidak menghiraukannya, ia ke luar ruangan untuk tujuan yang ia sendiri tidak tahu.

"Tapi gue memang liatin lo dari tadi, tarian lo bagus"

***


Dewa yang baru saja tiba di meja makan, disambut dengan pemandangan yang sontak membuat kedua sudut bibirnya melengkung. Alana sedang mengoles roti dengan selai kacang. Bukan lembar pertama, sudah ada roti yang siap makan di atas piring yang lain.

"Satu untuk Papa" ucap Alana. Seraya menunjuk roti yang sudah disiapkan untuk Dewa.

Apakah berlebih jika Dewa sampai ingin menangis? Ia cukup terharu dengan perhatian Alana pagi ini.

Alana membuat sarapan untuknya.
Apakah ini suatu pertanda, jika Alana sudah mulai  membuka hati untuknya?

"Terima kasih sayang. Biar papa buatkan susu"

"Tidak mau, air putih saja"
Jika Alana menolak, Dewa tidak bisa memaksa. Ia mengalah dan mulai menuangkan air putih ke gelas putrinya.

"Rumah dengan pemandangan yang bagus, tidak ada orang yang tinggal di sana?" tanya Dewa. Selain sarapan, di atas meja juga terdapat perlengkapan gambar milik Alana.

Putrinya itu sepertinya baru saja menggambar rumah dengan halaman yang dipenuhi rumput dan bunga-bunga. Tak lupa dengan matahari yang bersinar cerah.

Dewa merasa bangga, karena tidak hanya menari, Alana juga berbakat dalam menggambar.

"Tidak bagus membuat harapan, bukannya begitu?"

Meskipun terkejut, Dewa tetap tersenyum.

"Benar. Putri papa sudah dewasa ternyata"

"Tidurmu nyenyak?"

"Iya. Karena aku bermimpi bertemu Bian, kak Nala juga"

Abian lagi. Sekalipun ia sudah terjaga untuk membacakan Alana dongeng dan memeluknya sampai gadis kecil itu tidur, ia tetap tidak bisa masuk dalam hidup Alana, sekalipun itu melalui mimpi.

Rasa Untuk DewaWhere stories live. Discover now