12. Belajar menerima?

274 47 18
                                    


Happy reading everyone:)

***



SHERIL kenal betul dengan suara itu, suara mobil Abian. Tapi ini bahkan baru dua hari sementara lelaki itu berpamitan untuk satu pekan. Segera ia tinggalkan buku bacaannya dan mendekat ke arah jendela untuk memastikan.

Benar. Dilihatnya Abian turun dari mobil. Alih-alih mengenakan setelan formal seperti saat berangkat, lelaki itu justru pulang dengan pakaian santai berupa kaos pendek dan celana jeans. Abian juga mengenakan topi baseball yang membuat penampilannya terlihat seperti Abian Mahardika beberapa tahun lalu. Abian Mahardika yang selalu ia kagumi diam-diam.

Senyum Sheryl mengembang. Tanpa sadar bergerak cepat untuk membukakan pintu bahkan sebelum bel dibunyikan.

Lain halnya dengan Sheryl, Abian datar saja. Selalu begitu, anehnya, setiap kali membuka pintu, ia berharap menemukan Abian yang tersenyum. Sheryl kemudian sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan lelaki itu jalan.

“Kok jadinya cuma dua hari?” tanya Sheryl, membuka percakapan.

“Urusanku bisa dipercepat”

“Alana dan Mas Dewa apa kabar?”

“Baik”

Bukan seperti itu respon yang Sheryl harapkan. Jauh dalam lubuk hatinya, ia selalu ingin mendengar Abian bercerita, bukannya menjawab dingin tanpa antusias setiap pertanyaannya. Namun Sheryl sadar tidak memaksa atau menuntut apa-apa.
Abian menarik kopernya masuk. Sheryl hanya bisa menatapi punggungnya. Kecewa tapi semuanya seketika berubah saat mendengar suara Abian yang tiba-tiba bertanya.

“Kamu masak apa hari ini?”

Setahun menikah, Abian tidak pernah bertanya seperti itu. Dirinyalah yang harus selalu bernisiatif mengenalkan masakannya.

“Mas mau makan siang?”

“Hm, aku lapar”

Mendengar jawaban Abian sepasang bola matanya langsung berbinar. Sederhana, tapi momen seperti ini saja bisa membuatnya bahagia. Sheryl kemudian tersenyum sembari menuju dapur. Akan ia siapkan makan siang terbaik untuk suaminya.



***



Untuk pertama kalinya Dewa ada yang berbeda saat  menjemput Alana. Putrinya itu melambaikan tangan dengan riang saat menangkap keberadaannya, tapi bukan itu yang menyita perhatian Dewa. Melainkan Nala yang duduk di samping Alana. Nala yang sedang tersenyum manis ke arahnya.

“Yeey Papa dateng!” ucap Alana, langsung memeluk kaki Dewa. Dewa tersenyum seraya mengusap puncak kepala Alana. Dulu, ia tidak sedekat ini dengan darah dagingnya sendiri. Alana mengandalkan Abian dalam semua hal dan canggung dengan papanya sendiri.

“Terima kasih udah nemenin Alana” ucap Dewa kepada Nala.

“Iya Mas sama-sama”

“Kak Nala, Papa ganteng kan hari ini? Aku yang pilihin bajunya, warna biru tua” tanya Alana tiba-tiba.

Nala setuju. Bahkan tanpa sadar ia sudah memperhatikan Dewa sejak lelaki itu turun dari mobil. Penampilan Dewa yang berbeda terlihat jauh lebih cocok untuk lelaki itu.

“Iya, bagus”

“Ih kak Nala, bukan bajunya, tapi Papa Dewa, ganteng kan?”

Nala kemudian mengangguk pelan, bukan ia tidak paham maksud Alana, tapi rasanya malu jika harus memuji Dewa dihadapan lelaki itu pula. Sementara bagi Dewa sendiri situasi ini membuatnya lumayan salah tingkah. Bisa-bisanya Alana mengerjainya seperti ini?

“Pak Dewa?”

Ketiganya menoleh secara bersamaan. Seseorang yang baru saja memanggil adalah wali kelas Alana.

“Maaf mengganggu waktunya tapi apa bapak bersedia bicara sebentar di ruangan saya?” ucap wanita itu.

Dewa mengangguk setuju.

“Nala, boleh saya titip Alana?”

“Boleh Mas”

“Jangan lama-lama ya Pa, aku mau beli es krim!”

“Iya sayang”

Dewa dan Nala sempat saling melempar senyum sebelum Dewa menghilang dan Nala kembali fokus pada Alana.




***




“Alana mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tidak seperti awal masuk dimana Alana cukup pendiam dan beberapa kali menangis saat belajar di ruang kelas, sekarang Alana sangat aktif dan ceria”

“Beberapa hari yang lalu saya meminta anak-anak menggambar makanan, barang atau apapun yang membuat mereka bahagia. Dan Alana menggambar ini di kertasnya”

Wanita itu meletakkan selembar kertas gambar di hadapan Dewa. Alana semakin terampil dalam menggambar, hal itu bisa dilihat dari cara Alana mewarnai yang tidak lagi banyak keluar dari garis.

Saat Dewa memperhatikan dengan seksama gambar itu adalah gambar yang berbeda dari apa yang ia kira pada awalnya. Alana menggambar tiga orang bersisian dengan tangan yang masing-masing membawa es krim. Pada bagian bawah gambar tersebut juga terdapat tulisan yang membuat Dewa berdebar.

Papa. Alana. Kak Nala.

Sekitar dua tahun yang lalu, ia menemukan gambar yang hampir sama dan Abian adalah salah satu tokoh utamanya. Sekarang, Alana mulai menggambarnya, Alana mulai menyukai keberadaannya.

“Saya perhatikan Alana sangat menyukai guru ekstrakurikuler tarinya, Nala”

“Mereka cukup dekat di dalam maupun luar kelas”

“Nala gadis yang kompeten tidak hanya dalam bidang tari, mungkin Nala bisa menjadi guru privat untuk Alana”

“Jika Pak Dewa berminat, saya akan coba bicarakan dengan Nala”

Tanpa dijelaskan Dewa mengerti jika Alana sangat menyukai Nala tapi ia tidak pernah terfikir untuk menjadikan Nala sebagai guru privat Alana.

“Terima kasih, tapi biar saya bicara sendiri pada Nala” ucap Dewa. Dan setelah tidak ada lagi yang dibicarakan, ia memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rasa Untuk DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang