07. Gerbang yang perlahan terbuka

695 77 18
                                    

***

BAGI Abian, apa yang baru saja didengar adalah mimpi buruk. Pagi harinya justru menjadi kelabu setelah mendengar curhatan Alana 

"Aku bertemu Kak Nala"

"Dia mengajar di tempat kursus ku Bian"

"Kami makan bertiga, seperti keluarga.

Papa memanggang daging untuk kak Nala juga"

Abian senang karena Alana bisa bertemu dengan Nala, melanjutkan kebersamaan mereka yang sempat hilang karenanya. Namun kalimat terakhir Alana entah mengapa membuat hatinya tidak rela.

Keluarga. Juga Dewa yang menaruh perhatian pada Nala.

Pikiran Abian jadi sangat kalut sekarang. Ia tahu, mustahil baginya untuk kembali ke masa lalu dan memperjuangkan cintanya. Di masa sekarang, Nala seharusnya bahagia bersama lelaki yang tulus mencintainya, yang akan selalu menjaganya.

Begitu juga dengan Dewa. Saudaranya itu sudah terlalu lama memendam luka sendirian. Dewa membutuhkan seseorang sebagai tempat berkeluh kesah dan berbagi kebahagiaan.

Tapi jika seseorang yang terbaik untuk Nala adalah Dewa dan begitu sebaliknya. Abian tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk mengikhlaskannya.

Mengapa semesta harus bermain-main dengan kata perpisahan? Tidak bisakah sekali berpisah lalu hilang?


***


Nala tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, sudah lebih dari sekali ia memikirkan Dewa untuk pagi ini.

Saat lelaki itu bersama Alana, Nala seperti melihat seseorang berbeda. Dewa yang dingin itu tertawa dan begitu perhatian pada putrinya. 

Dewa terlihat layaknya lelaki yang lembut dan penyayang.

Bukan Dewa yang cuek, ketus, dan terkadang juga kasar.

Jika kenyataannya Dewa adalah pribadi yang hangat, mengapa lelaki itu selalu tampak sebaliknya?

Dari semua menu yang ada di meja. Daging panggang adalah yang paling menyita perhatian Nala. Sudah hampir satu bulan ia mengurangi konsumsi daging merah untuk menjaga tubuhnya, hal itu membuat Nala amat merindukan cita rasanya. Apalagi jika daging itu baru saja dipanggang dan bisa dimakan selagi hangat.

Namun sayangnya, pemanggang daging hanya ada satu, yang artinya jika ia ingin memanggang, ia harus melakukannya bersama Dewa.

Daripada harus selalu canggung karena bertatapan dengan Dewa. Nala memutuskan untuk memilih menu lainnya.

Tak apa, ia bisa makan daging panggang lain kali. Begitu pikirnya.

Beberapa saat setelahnya, di luar dugaannya, Dewa tidak hanya meletakkan lembaran daging yang baru saja ia panggang di piring Alana, tetapi juga piringnya.

"Makanlah" ucap lelaki itu dan Nala mengangguk. Ia mencicipi daging panggangan lelaki itu dan harus mengakui jika selera mereka dalam memanggang daging itu sama. 

"Mas Dewa tidak makan?"

Kali ini Nala yang memberanikan diri bertanya. Pasalnya Dewa kembali memanggang dan belum juga menyentuh piringnya. Piring milik lelaki itu masih berisi nasi saja.

"Aku akan makan nanti"

Meskipun Dewa tidak menjelaskannya secara gamblang, namun Nala merasa Dewa sengaja melakukannya. Lelaki itu memilih untuk lebih mengutamakan orang-orang disekitarnya, sebelum dirinya sendiri.

Rasa Untuk DewaWhere stories live. Discover now