06. Ucapan terima kasih Nala

494 69 15
                                    

***

"Mau sarapan?"

Kalimat tanya sederhana itu sudah lama tidak pernah lagi Dewa dengar di pagi hari. Sejak berpisah dengan mantan istrinya, Dewa tidak pernah mendapat tawaran untuk sarapan ataupun merasakan sarapan di rumah. 

Ia hanya melihat dari kejauhan betapa hangatnya suasana sarapan milik Abian dan Alana. Momen sederhana yang kala itu terasa mustahil untuk turut menjadi miliknya.

Kini, ketika ia baru saja membuka pintu mobil, ia mendapati Nala yang tersenyum lebar. Perempuan itu tampak membawa tempat makan susun.

Jujur, tadi Dewa memang tidak sempat sarapan karena harus buru-buru mengantarkan Alana sekolah kemudian akan pergi ke kantor setelah ini.

"Saya buru-buru"

"Dibawa buat makan di kantor, ya? Kan bisa" saran Nala. Rautnya masih cerah sekalipun Dewa masih bertahan dengan ekspresi kakunya. Keadaan itu sedikit membuat Nala mengingat masa lalu, rupanya lelaki itu sangat berbeda dengan Adrian, yang selalu menyambut hangat bekal buatannya.

"Merepotkan"

"Aku bangun pagi buat masak ini, sampai nggak tidur setelah sholat subuh..." curhat Nala, tidak mau jika makanan buatannya akan berakhir sia-sia, biar bagaimanapun ia sudah berusaha, memasak bukan hal yang mudah untuknya.

"Urusan saya?"
Pada akhirnya, sedikit demi sedikit kesabaran Nala habis juga. Dewa yang ia temui hari ini, jauh berbeda dengan Dewa yang ia temui di hari kemarin.

Jika hari kemarin lelaki itu adalah Dewa penolong, maka hari ini lelaki itu adalah Dewa yang paling tidak punya hati.

Mengapa ia bisa terpikir melakukan melakukan hal semacam ini untuk berterima kasih?
Bukankah ini berlebihan?

"Tadinya aku mau berterima kasih sama Mas Dewa. Tapi kalau begini, mungkin sebaiknya nggak perlu"

"Kekanakan"

"Maksud Mas Dewa apa ya?" tanya Nala, semakin tidak terima. Ia baru saja disebut kekanakan, padahal dalam situasi seperti ini, rasanya sangat wajar ia marah kepada lelaki itu .

Dewa tidak menghargainya, dan itu jelas melukai perasaannya.

Dewa hanya mengangkat bahu, tanda tidak mau mengurusi Nala.

"Mas Dewa itu orang paling nyebelin yang pernah aku kenal"

"Terserah mau dimakan atau dibuang"

Nala meletakkan kotak bekalnya di bagian depan atas mobil  Dewa. Lekas meninggalkan lelaki itu dengan wajah kesalnya.

Ia tidak tahu, jika Dewa terus menatapi punggungnya yang semakin menjauh.

***

Di sepanjang koridor, Nala berusaha memperbaiki suasana hatinya yang rusak karena Dewa. Sekarang ia jadi menyesal karena menaruh ekspektasi tinggi pada lelaki itu. Sejak awal, Dewa memang seperti anti kepadanya. Bahkan lelaki itu pernah sangat marah karena ia menjenguk Alana.

Lelaki bernama Dewa itu mungkin hanya sesekali berbuat baik.
Bukan pribadi yang benar-benar baik.

"Harus senyum Nala. Smile…"
Nala memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Sebentar lagi, ia harus masuk untuk kelas pertamanya sebagai tutor tari. Ia harus terlihat ramah supaya anak-anak tidak takut atau sungkan terhadapnya.

"Biarpun anak-anak, mereka bisa tau kalo senyum lo itu palsu"

Reflek pertama Nala tentu menoleh ke arah sumber suara, menemukan Kevin yang berdiri di sisinya.

Rasa Untuk DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang