08. Butterfly

506 73 17
                                    


***

TAK ada satupun orang yang tahu, jika Nala kini memiliki kegemaran lain selain menari yaitu menulis. Memang masih tidak bisa jauh-jauh dari seni namun itu cukup memberikan Nala dua sudut pandang yang berbeda untuk memandang kehidupan.

Ketika patah hati dengan Adrian, ia terus menari tanpa peduli kedua kakinya terkilir atau bahkan patah. Ia berpikir menari akan menyembuhkan lukanya sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata tidak sepenuhnya berhasil, yang membuatnya sembuh justru seseorang yang mengulurkan tangan ketika kakinya terkilir. Abian.

Sayangnya, semesta tak bisa sebaik itu kepadanya. Abian masihlah bukan seseorang yang bisa ia miliki. Kapalnya masih harus melaju untuk menemukan dermaga baru sekalipun layarnya sudah tidak kokoh untuk menghadapi angin.

Perpisahannya dengan lelaki itu kemudian membuat Nala banyak merenung, hingga sesekali mencurahkan isi hatinya pada selembar kertas yang pada akhirnya selalu berakhir di tempat sampah.

Apa yang salah dengan masa lalu?
Mengapa yang lalu selalu menghalangi langkahku untuk maju?
Menyelinap seperti hantu, lalu dengan lincahnya kembali membawa harapan-harapan itu.

Kita adalah definisi paling sempurna untuk "Dua yang tidak bisa menjadi satu"
Tak peduli sebanyak apapun rasa itu,
Bersatu tidak akan menjadi milikku dan milikmu.

Nala termenung saat menemukan tulisannya beberapa bulan yang lalu. Sepertinya pada hari itu ia sangat merindukan sosok Abian, pelukan hangat dan aroma mint segar dari hoodie yang lelaki itu pakai.

"Omong kosong apa ini, Nala?"
"Kamu terlihat menyedihkan"
"Sangat"

Setelah bermonolog, Nala lantas merobek kertas notenya perlahan, membuangnya ke tempat sampah.

Tentu membuang perasaan tidak semudah yang baru saja ia lakukan. Ia masih kerap kali memikirkan Abian ketika ia  merasa kesepian, butuh sandaran. Tapi di sisi lain Nala sadar, kebersamaan mereka adalah apa yang tak mungkin kembali seperti dulu lagi.

Nala meraih satu pena dari tempatnya, kali ini ia memilih tinta dengan warna favoritnya, merah muda. Jemarinya bergerak pelan saat menuliskan sesuatu pada lembar notenya.

Dan untuk pertama kalinya, bayang-bayang akan Dewa dan segala ekpresi lelaki itu muncul pada benaknya.

Saat lelaki itu memaki, membantunya tanpa banyak ekspresi, tersenyum, hingga raut lelahnya beberapa jam yang lalu. Semua itu membuat Nala berpikir, seperti apa sebenarnya Dewa?

Mulanya, aku hanya mengibaratkan kamu sebagai batu.
Yang selalu diam di tempat, tanpa peduli perputaran waktu.

Tapi senyummu pada hari itu menyadarkan aku, jika sebenarnya kamu pun tak ingin begitu.

Aku tidak tahu, benar atau salah keputusanku. Yang jelas, kini aku mulai ingin mengenalmu.

Setelah selesai membaca tulisannya, Nala sempat tersenyum kecil sebelum akhirnya mematikan lampu kamar.

***


Sheryl belum pergi tidur sekalipun jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Meskipun sudah menguap berkali-kali, ia tetap berusaha untuk menahan kantuknya dengan membaca majalah. Alasannya tak lain karena menunggu suaminya pulang.

Tidak biasanya lelaki itu belum pulang hingga selarut ini, tanpa membalas pesan apalagi memberikan kabar.

Meskipun mereka tidak memiliki hubungan romantis layaknya pasangan yang baru setahun menikah, namun rasa khawatir yang Sheryl rasakan itu nyata. Ia bahkan mulai membayangkan beberapa kemungkinan buruk karena Abian tak kunjung sampai di rumah.

Rasa Untuk DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang