09. Siklus yang sama

469 51 20
                                    


***

NALA merasa deja vu ketika melihat Dewa yang menggendong Alana di pundaknya. Sepasang tangan mungil Alana tetap melingkar di leher Dewa meskipun matanya terpejam. Momen ini mengingatkannya akan seseorang yang selalu memperlakukan Alana layaknya seorang putri, siapa lagi kalau bukan Abian.

Lelaki itu bukan hanya sekedar paman, tapi juga ayah, ibu, sekaligus pahlawan untuk Alana.

Ketika melihat Alana bisa sedekat ini dengan papanya, Nala seketika merasa tersentuh. Ia ingat sekali saat menemani Alana menggambar potret keluarga yang terdiri dari dirinya, Abian, dan Alana sendiri. Sekarang, gadis kecil itu memiliki keluarganya.

"Ada apa?" tanya Dewa, meski tanpa menoleh ke arah Nala.

"Mas Dewa nanya aku?"

"Perhatikan jalanmu, saya menggendong Alana, tidak bisa membantu jika terjadi sesuatu"

"Oh-, iya"
Nala buru-buru meluruskan pandangannya. Tentu saja ia merasa kikuk karena ternyata Dewa sadar jika dirinya diperhatikan sejak tadi.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju area parkir dengan saling terdiam. Baru ketika sampai, Dewa yang pertama bersuara.

"Bisa tolong buka-kan pintu?" pinta Dewa.

Nala pun membukakan pintu mobil supaya Dewa bisa memindahkan Alana ke dalam. Lelaki itu tampak melepaskan jasnya untuk menyelimuti Alana. Pemandangan yang sulit Nala lewatkan meski sedetikpun.

Nala kembali melihat sosok Dewa yang hangat dan pengertian.

"Terima kasih untuk hari ini, Nala"
Dewa yang baru saja menutup pintu mobil itu tersenyum tipis kepada Nala.

"Maaf jika selama ini, Alana banyak merepotkan kamu"

Nala juga mengulum senyum. Baginya, Dewa tidak perlu berterimakasih karena Alana juga berjasa untuknya. Sejak awal, Alana bisa membuatnya tertular rasa ceria seolah dalam hidupnya tak pernah ada lara.

"Mas Dewa nggak perlu seperti itu"

"Karena bukan cuma Alana, aku juga senang"

"Ayo"

Nala seperti kehilangan kemampuan sensoriknya sehingga ia masih saja diam di tempat sementara lelaki itu sudah naik ke atas mobil.

Dewa baru saja mengusap puncak kepalanya. Dan jujur, itu membuat Nala tidak baik-baik saja.

***

"Aku pergi" pamit Abian pada Sheryl ketika mereka sampai di teras.

Sheryl mengangguk, ia juga tersenyum atau mungkin lebih tepatnya mencoba mengulum senyum. "Hati-hati di jalan Bi"

Sama seperti biasanya, lelaki itu hanya akan mengangguk sebagai jawaban. Salah besar jika hati kecil Sheryl sempat berharap jika lelaki itu akan membalas dengan kekhawatiran yang serupa "Kamu jaga hati-hati, jaga diri baik-baik"

Tapi itulah Abian. Sejak awal Sheryl tahu dengan persis lelaki seperti apa Abian Mahardika itu. Dan anehnya, ia tetap jatuh hati.

Sheryl terus memperhatikan Abian, lalu ketika lelaki mulai menyalakan mesin mobilnya, ia mulai melambaikan tangannya.

Mobil milik lelaki itu dengan cepat melesat meninggalkan halaman rumah, meninggalkan Sheryl yang masih setia berdiri di tempatnya dengan senyum manis yang ia sejak awal ia tujukan untuk Abian.

Ditinggalkan Abian untuk pergi keluar kota adalah hal yang biasa bagi Sheryl. Selama ini, ia bisa memaklumi karena itu memang resiko dari pekerjaan. Dalam satu bulan setidaknya satu hingga dua kali suaminya melakukan perjalanan kerja ke luar kota yang masing-masing selama 3-5 hari. Sheryl bisa menghadapi semua perpisahan itu dengan baik, namun hal berbeda terjadi pada hari ini. Perpisahan kali ini terasa berbeda bagi Sheryl.

Rasa Untuk DewaWhere stories live. Discover now