Part 22

10.3K 1.1K 84
                                    

Ashel melewati koridor sekolah yang terlihat ramai dengan langkah bimbang. Sebagian fikirannya melayang ke Adel dan sebagian lagi memikirkan perlakuan pacarnya itu padanya di parkiran tadi. "Shel." Ashel kaget saat merasakan sentuhan di bahu kirinya. Ia menoleh dan melihat Zee meringis.

"Kaget ya? Sorii."

"Aku kira siapa."

"Kenapa? Lagi ada masalah?" Tebaknya seolah bisa membaca pikiran. "Mikirin Adel?" Katanya lagi kemudian tertawa geli. "Modelan begitu ngapain di pikirin sih. Gue liat kok lo tadi ngejegat dia berantem, kan? Tipe anak kayak Adel mau lo sampe nangis darah pun gak bakal di dengerin. Gue gak yakin kalo dia beneran suka sama lo."

Ashel menatap Zee dengan alis terangkat. "Maksudnya?"

Zee menggeleng. "Kalau emang dia jadiin lo prioritas, harusnya dia lebih dengerin kata-kata lo di banding ikut tawuran. Lo seriusan pacaran sama Adel?" Tanyanya heran. Ashel pelan-pelan menganggukkan kepala. "Kenapa mau sama dia? Udah jelas-jelas sering bikin rusuh di sekolah. Padahal kalau lo mau, lo bisa dapetin orang yang jauh lebih baik di banding dia. Termasuk gue."

"Maksudnya gimana ya, Kak?"

"Enggakk." Zee tertawa samar. "Yaudah buruan masuk." Tangan Zee menarik lengan Ashel supaya masuk ke dalam ruangan.

Ashel duduk di ruang Osis dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Sudah berlangsung setengah jam dan pikirannya sama sekali tidak tertuju pada rapat. "Shel, gimana? Besok bisa, kan?" Tanya Zee tiba-tiba.

"Hah?" Ashel terlihat seperti orang bingung. "Bisa apa ya?"

Zee mengernyit begitu mendengar jawaban Ashel. "Lo gak dengerin gue ngomong? Besok sekolah kan libur, jadi kita gunain buat persiapan panggung sama stand bazaar."

"Emm, iya. Bisa." Ashel mengangguk. "Nanti aku dateng."

"Kenapa sih, Shel? Daritadi gelisah banget." Gaby tampaknya menyadari kegelisahan yang terjadi di diri Ashel. Bahkan semua orang yang ada di dalam ikutan curiga dengan gerak-gerik Ashel yang dalam dua menit bisa enam kali melihat jam di tangannya. "Lo lagi ada masalah?"

Ashel menggeleng. " Aku tadi lagi mikirin acara kita, kira-kira berlangsung sukses atau enggak." Katanya mencari alasan. "Aku izin ke kamar mandi dulu. Permisi." Ashel bangun dari duduknya dan berjalan menuju ke luar ruangan Osis. Di koridor, diliriknya ponsel yang sedaritadi tidak lepas dari genggamannya.

***

Pukul delapan malam, Adel kembali ke rumahnya dengan kondisi yang bisa di bilang parah. Wajahnya lebam-lebam. Ujung bibirnya berdarah. Dia melangkah masuk ke dalam dan tiba-tiba mematung begitu melihat seseorang yang sedang duduk di ruang tengah. Ayahnya kembali. Pemandangan yang paling mengejutkan setelah tiga tahun tidak ada kabar apapun.

"Habis darimana kamu?" Adel menghentikan langkahnya.

Adel terdiam.

"Tawuran?"

Adel tidak menjawab.

"Papa gak nyuruh kamu diem!" Bentak Bobby yang semula beniat tidak marah kini berubah fikiran, amarahnya tidak tertahan melihat keadaan Adel saat pulang ke rumah. Melihat Adel yang masih terdiam membuat Bobby bangkit dari duduk dan membalikkan tubuh Adel kasar.

"Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak perempuan. Papa tidak mengajari kamu berkelahi. Papa nyekolahin kamu biar kamu pinter. Supaya kamu gunakan otak kamu untuk...."

"Oh yaudah, lebih baik saya keluar dari sekolah" Adel memotong dengan sorot mata penuh penentangan nyata di sepasang mata coklatnya. "Apa?? Mau nampar saya? Tampar aja!'" Adel memasang pipi kirinya bersiap untuk mendapat tamparan keras dari Ayahnya.

Cewek KulkasWhere stories live. Discover now