39. Pengakuan

106 3 2
                                    

Happy reading~

•••••

Setelah ikut memakamkan jenazah Rani, anggota umum Crysold menyebar ke sekitaran komplek untuk membagikan nasi kotak yang di bawa tadi. Sekarang, di kuburan hanya ada 7 inti Crysold serta kerabat Rani yang gak hentinya menangis.

Ashel yang melihat air mata tak hentinya tumpah dari mata ibu Rani ikut merasakan kesedihan. Ia ikut sedih melihat seorang ibu yang menangis seperti ini.

Ashel berjongkok di samping ibu Rani yang sedari tadi memeluk nisan sang anak sambil menangis. "Tante, yang sabar, ya?" Ashel merangkul pundak rapuh wanita itu.

Ibu Rani menggeleng. "Nggak... Nggak bisa," tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya, yang bisa di lakukannya hanya menangisi kepergian sang anak.

"Kami gak terima. Anak kesayangan kami di renggut nyawanya oleh orang lain dengan kejam. Kami ingin balasan yang setimpal," sahut wanita lain dari sebrang makam.

"Kakakku membesarkannya, menyayanginya yang di benci oleh orang karena alasan dia anti bergaul! Hanya karena itu dia di bully. Hanya di rumah dia bisa tertawa, hanya di rumah dia bisa bercanda... Tapi, kemarin, kami menunggunya pulang untuk bermain lagi, dia pulang hanya menyisakan raga tanpa nyawa... Itu sangat memukul kami," lanjutnya. Bibi Rani.

Pengakuan itu sontak membuat hati ketujuh anggota inti Crysold mencelos. Sebuah keluarga hangat tengah menunggu bintangnya datang dari menimba ilmu, tapi tiba-tiba semuanya menangis karena kedatangan sang bintang tidak bersama nyawanya. Terbayang bagaimana terpukulnya keluarga hangat itu, betapa sedihnya mereka ketika mendapati sang bintang meninggal karena ulah manusia jahat.

Ashel tidak bisa membayangkan betapa sedihnya keluarga yang di tinggalkan. Keluarga hangat tempat pulang yang sesungguhnya. Hal yang tak di miliki Ashel.

"Kami akan menemukan pelaku pembunuhan almarhum Rani Bu. Saya janji akan membawanya ke depan ibu," ucap Ken.

Bibi Rani menatap Ken harap. "Saya minta segera tangkap pelakunya, bawa ke hadapan kami. Biar dia bersujud di depan ibunya Rani,"

Ken mengangguk pasti. Ken itu adalah orang yang memegang janjinya, ia bertekad untuk terus melanjutkan kasus Rani walaupun mungkin akan sangat sulit mencari pelakunya.

"Kami turut berduka cita atas meninggalnya Rani. Kami pamit." Ken menyalami dua wanita yang masih menangis di depan pusara Rani. "Segera pulang, hujan akan segera turun," saran Ken karena melihat langit dengan awan hitam yang ia yakini akan segera robek dan menjatuhkan air ke bumi.

"Assalamualaikum..." Lalu, ketujuh remaja itu pergi dari pemakaman untuk pulang.

•               •               •

"Arge," panggil Ashel dari luar pintu kamar Argeo yang sedikit terbuka.

Tak lama si pemilik kamar membukakan pintu dan menyambutnya dengan hangat.

"Sini," Argeo menarik Ashel agar duduk sambil menyandar di dadanya seperti hari biasa.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Argeo dengan pikirannya yang sedang menerka kedatangan pacarnya ke kamar, walaupun itu sudah hal yang lumrah bagi mereka. Namun, keadaan saat ini sangat berbeda. Tangannya tak henti mengelus pucuk rambut pacarnya yang tertiup angin karena mereka duduk di atas kursi di balkon.

ARGEOWhere stories live. Discover now