Regret - 01

5.9K 571 104
                                    

Kaia

Aku mencintai seorang lelaki sejak aku bahkan belum mengerti apa itu cinta. Usiaku masih sepuluh tahun saat aku diam-diam menganggapnya lebih dari sekadar kakak.

Namanya Aghastra Wirandito.

Mas Aghas-ku yang ganteng, begitu aku selalu memanggilnya sejak kecil. Dia adalah sahabat baik kakak lelakiku. Orangtuanya sudah meninggal sejak dia kecil, dan kedua orangtuaku-lah yang mengambil peran menggantikan sosok orangtua yang sudah tiada baginya. Semua itu membuatnya menjadi sangat dekat dengan seluruh keluargaku. Dia selalu disambut dengan sangat riang tiap kali datang ke rumah kami. Aku pun melakukan hal yang sama. Bahkan seringkali sengaja mengganggu untuk menarik perhatiannya.

Kami cukup dekat. Dia adalah kakak yang sangat perhatian, bahkan dibandingkan dengan Mas Putra dan Mbak Putri—para kakakku, yang selalu menjadi pusat kebanggaan keluarga besar kami.

Dia yang selalu membesarkan hatiku saat aku merasa kecil di tengah kesempurnaan kedua kakakku. Dia tak pernah absen mengusap puncak kepalaku tiap kali kami bertemu. Dia juga selalu membelikanku es krim atau makanan kesukaanku tiap kali datang ke rumah. Mas Putra bahkan selalu mengejekku yang terlalu manja pada lelaki yang kucintai itu. Tetapi sedekat apa pun hubungan kami, aku selalu menyembunyikan perasaanku padanya. Karena aku tahu, dia hanya menganggapku sebagai seorang adik.

Bagiku, itu sudah cukup. Selama dia selalu berada di dekatku dengan tiap senyum, tawa dan segala perhatian yang tak pernah lepas untukku, aku merasa baik-baik saja.

Senyum dan tawanya adalah kebahagiaanku. Seluruh perhatiannya selalu membuatku merasa mampu berdiri tegap di tengah dunia yang seringkali membuatku kecewa.

Sayangnya, segalanya lenyap terlalu cepat saat satu kejadian yang menimpa Mbak Putri tujuh tahun yang lalu. Aku yang sejak dulu tak pernah diperhitungkan dalam keluarga besar Wijaya, semakin dipandang rendah bahkan seringkali ditatap hina dan sinis setelah kejadian itu.

Semua orang menyalahkanku hanya karena aku berada di tempat yang sama saat Mbak Putri meregang nyawa. Mereka bilang, aku sengaja membunuh kakak perempuanku karena rasa iri dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Mbak Putri. Ketika aku berusaha membela diri di depan mereka, papa justru memberikan tamparan yang sangat kuat sampai kupikir telingaku mungkin akan tuli karena suara dengungan yang begitu keras setelah tangan itu menyentuh pipiku.

Tidak ada yang mempercayaiku. Tidak ada yang membelaku, bahkan kedua orangtua kandungku.

Mereka semua menghakimiku. Mengatakan bahwa aku adalah manusia kejam yang tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri karena rasa dengki.

Aku resmi menjadi seorang pembunuh keji di usiaku yang ke tujuh belas tahun. Dan seolah belum cukup, enam bulan setelahnya, kakekku juga ikut pergi karena sakit setelah cucu kesayangannya meninggal. Lagi-lagi, aku menjadi tersangka utama.

Dasar pembunuh!

Anak pembawa sial kamu!

Seluruh keluarga Wijaya semakin membenciku. Tiap kali ada acara keluarga, aku selalu diharapkan untuk tidak pernah muncul. Karena jika aku datang, hanya umpatan dan juga rasa sakit yang mereka berikan padaku.

Seharusnya, Mama memang nggak pernah melahirkan kamu, Kaia.

Rasanya memang mengerikan saat mendengar kalimat jahat itu dari sosok yang bertaruh nyawa untuk membiarkanku berada di dunia ini. Tetapi lagi-lagi, aku juga harus merasakan kesakitan lain saat menyadari bahwa lelaki yang kucintai ikut menatapku dengan tatapan dingin dan tidak peduli. Tak ada lagi sikap ramah dan menyenangkan darinya. Bahkan untuk memberi segaris senyum pun, dia tak pernah lagi melakukannya sejak hari itu.

Our StoriesWhere stories live. Discover now