Time Lapse

3.5K 322 42
                                    

Gue mencintai Lintang dengan keseluruhan hati yang gue punya. Dua belas tahun bareng sama dia tentu bukan waktu yang singkat. Semua temen-temen gue bahkan sering ketawa kalau tahu udah berapa lama kami berpacaran.

Dua belas tahun itu yakin lo pacaran bukan kredit rumah?

Begitu ejekan yang selalu gue terima, tapi gue cuma balas dengan tawa nggak peduli. Belum lagi entah udah berapa ribu pertanyaan yang kami dapatkan tentang kapan kami menikah. Gue sih, cuma menanggapi dengan santai aja. Sama sekali nggak peduli, karena memang gue belum kepikiran buat nikah. Eh, ralat. Gue emang nggak kepikiran buat nikah. Sama siapa pun.

Gue pikir, selama ini Lintang juga mikir hal yang sama. Tapi nyatanya enggak. Semalem, setelah kami menghabiskan waktu bersama di atas tempat tidur, dia tiba-tiba bertanya sesuatu yang bikin gue langsung kehilangan kantuk.

Kita kapan nikah sih, Res?

Bukannya selama ini tanpa menikah, kami baik-baik aja? Kenapa tiba-tiba Lintang harus bertanya sesuatu yang bikin gue kesel dan akhirnya membuat hubungan kami berjarak selama seminggu terakhir. Gue sangat nggak suka dengan pembahasan yang dia mulai malam itu.

"Emang kenapa sih, kalau nikah, Res? Emang lo nggak cinta apa sama Lintang?"

Gue berdecak menanggapi pertanyaan dari Restu. "Kalau gue nggak cinta, nggak mungkin gue sama dia pacaran sampe selama ini!" Gue menggerutu.

"Justru itu!" Restu justru mendelik. "Lo udah selama itu pacarin anak orang, tapi nggak mau diajak serius. Brengsek itu namanya!"

"Gue serius kok sama dia," kilah gue. "Lo tahu sendiri gue nggak pernah main sama cewek mana pun selama sama dia. Gue setia! Itu udah membuktikan betapa seriusnya gue sama dia."

Restu membuang napas keras. "Kesetiaan lo sama sekali nggak berguna kalau lo nggak bawa dia ke jenjang yang paling halal."

Gue terdiam.

"Modal sayang sama setia mah percuma kalau nggak dibarengin sampe pernikahan, Res. Lo pikir cewek cuma mau haha hihi pacaran doang," ujarnya lagi. "Apalagi cewek seumuran Lintang sekarang ya emang kebanyakan udah pada nikah kali. Si Lintang aja yang kelamaan nuntut lo buat nikahin dia."

"Kenapa harus nikah segala sih, Tu?" Lagi-lagi gue bertanya hal yang sama. Gue masih nggak habis pikir dengan yang satu itu. Memangnya kesetiaan nggak cukup buat buktiin keseriusan kita dalam sebuah hubungan?

"Ya, terus kenapa lo harus pacaran segala, Res?"

Sialan. Restu malah bales pertanyaan gue.

"Kalau buat lo nikah itu bukan tujuan utama dalam sebuah hubungan. Cari juga pasangan yang mau dan terima sama value lo itu," ujar Restu lagi. "Si Lintang udah nanya kapan dinikahin, berarti tujuan kalian udah beda. Tinggalin. Selesai," tandasnya. "Jangan bikin anak orang bingung, nunggu-nunggu yang nggak pasti. Nggak jelas banget lo."

Lagi-lagi gue terdiam. Mikir sih lebih tepatnya.

Gue cinta dan sayang banget sama Lintang. Mau gimana pun, gue yakin nggak akan sanggup buat lepasin dia. Tapi gue juga nggak bisa bohong kalau nggak ada keinginan buat menikah. Entah sama siapa pun. Setidaknya, sekarang itulah yang masih jadi prinsip gue.

"Berhenti jadi egois, Res. Lo nggak mau nikahin Lintang, tapi lo kekepin dia terus biar dia nggak bisa ke mana-mana. Jahat lo!"

"Tu, nikah tuh buat apa sih, kalau akhirnya bisa pisah juga?" balas gue pelan. Sangat pelan.

Gue hidup dalam lingkungan keluarga yang pernikahannya berantakan. Bokap-nyokap gue yang awalnya nikah karena cinta aja, pada akhirnya cerai setelah bertahun-tahun kerjanya cuma ribut doang. Kakak gue juga gitu. Menggebu-gebu buat nikah sama cowok yang dicintai banget, tapi akhirnya pisah juga karena lama-lama nggak bisa cocok. Belum lagi sama beberapa pasangan dari keluarga besar gue.

Our StoriesWhere stories live. Discover now