End of The Road

3.8K 366 73
                                    

Adya mengusap air matanya yang masih terus saja mengalir saat lagi-lagi menemukan suaminya berbohong. Seharusnya, di kehamilan pertama ini—sesuatu yang sudah ditunggu oleh mereka berdua dan tentu saja keluarga mereka masing-masing—hanya ada kebahagiaan yang menemani perjalanan pernikahan mereka di tahun ketiga ini. Namun sayangnya, Adya justru harus mendapati suaminya kembali terjebak dengan cinta masa lalu yang rasanya sangat memuakkan.

"Dy? Belum tidur?"

Dulu, suara lembut itu selalu berhasil menenangkan hati Adya. Selalu. Tetapi sejak mengetahui kebohongan sang suami dari dua bulan lalu, Adya hanya menemukan perasaan sakit yang tak tertepikan.

"Sayang, ini udah malam. Tidur, yuk." Dipta sedikit mengernyitkan kening saat kepulangannya malam ini tidak menemukan Adya tertidur di ranjang mereka. Padahal sudah tengah malam, dan istrinya yang sedang hamil itu seharusnya sudah beristirahat sejak beberapa jam yang lalu. Adya justru terlihat sibuk menatap gelapnya langit malam melalui jendela kamar mereka

Adya hampir saja berjengit jijik saat lengannya dirangkul mesra oleh Dipta.

"Dy? Kenapa bengong, sih? Ada yang sakit?" tanya Dipta khawatir saat Adya masih saja terdiam tak menyahut tiap kalimatnya.

"Mas," panggil Adya berusaha menahan getar suaranya. "Darimana?"

Dipta sedikit terkejut mendapati satu tanya itu. "Kamu kan tahu aku lagi sibuk kerjain proyek pembangunan gedung rumah sakit, Sayang," jawabnya tenang sambil mengusap lembut rambut sang istri.

"Kamu sibuk kerjain proyek pembangunan atau memang sibuk di rumah sakit buat temenin perempuan lain, Mas?"

Tubuh Dipta seketika menegang, dengan kedua mata yang membola lebar. Keringat dingin mulai membasahi dahinya saat menyadari Adya sudah mengetahui kebohongannya selama beberapa bulan ini. Dipta mengalihkan tatapan dari sang istri dengan gusar. Sangat gusar. Bagaimana bisa Adya tahu tentang hal ini? Di saat Dipta bahkan sengaja memilihkan rumah sakit yang jauh dari jangkauan Adya untuk perempuan yang pernah menjadi bagian masa lalunya itu. "D-Dy... aku bisa jelasin—" Dipta tersentak saat Adya menolak sentuhan tangan darinya. Sesuatu yang selama ini tak pernah dilakukan sang istri sekalipun mereka sedang bertengkar. "Dy," lirihnya frustasi.

"Udah berapa lama kamu bohongin aku?"

Dipta masih memilih diam. Ketakutan. Semua di luar dari rencananya.

"Berapa lama, Mas?"

"Empat bulan lalu," cicit Dipta. Memilih untuk jujur. "Tapi kamu jangan salah paham, Dy. Aku murni mau bantu Sekar—"

Plak!

Kedua mata Dipta kembali melebar. Sangat terkejut dengan tamparan yang diterimanya. Adya adalah salah satu wanita paling lembut dan tenang yang pernah ditemukannya. Sikap itulah yang berhasil membuat Dipta jatuh cinta dan akhirnya mau membuka hati setelah sekian lama tertutup akibat putus dari Sekar—yang tak pernah direstui oleh kedua orangtuanya.

"Jangan pernah sebut namanya di depanku," desis Adya dengan tajam. Dipta harus tahu kalau Adya tidak akan pernah bisa memaafkan sebuah pengkhianatan. Sampai kapan pun, Adya tidak bisa terima kebohongan yang dilakukan oleh Dipta.

"Dy, Dya!" Dipta berusaha mengejar langkah Adya yang memaksa keluar dari kamar mereka. "Kamu mau ke mana? Kamu harus dengerin aku dulu," pintanya menahan kepergian Adya.

"Aku nggak akan pernah dengerin semua kalimat bohongmu lagi!" sahut Adya keras. "Kamu harus pilih—"

"Sekar sakit, Adya!" potong Dipta sama kerasnya. Dadanya masih berdebar keras saat tahu kalimat apa yang akan dikatakan Adya tadi. "Sekar sakit. Kanker hati stadium tiga," jelasnya dengan satu tarikan napas. "Jadi, nggak ada yang harus dipilih, Dy. Aku punya kamu. Selamanya akan begitu."

Our StoriesWhere stories live. Discover now