Regret - 03

4.8K 515 138
                                    

Gadis

Mengenal Kaia adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku. Kaia terlalu baik untuk mereka yang hanya bisa melihat sesuatu tanpa berusaha menemukan kebenarannya. Aku tak pernah peduli saat orang-orang di sekitar kami sering memandangnya dengan tatapan tak suka karena semua pemberitaan tentangnya yang dianggap sebagai pembunuh kakaknya sendiri. Sejak awal, aku lebih percaya pada perasaanku yang mengatakan kalau Kaia bukan perempuan kejam seperti itu.

Dan itu, terbukti.

Kaia bahkan tak bisa mengusir kucing yang suka mengganggu saat kami makan di pinggir jalan. Dia justru pernah sengaja membeli satu porsi lauk hanya demi memberi makan kucing liar.

Aku sangat menyayanginya. Selain ibuku yang sudah tiada beberapa tahun lalu, dia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Dia bahkan pernah menguras tabungannya untuk membiayai pengobatan ibuku yang waktu itu sedang melawan kanker hati.

Jadi, ketika aku tahu kalau dia sedang melawan kanker otak, aku benar-benar ketakutan. Aku menangis seharian setelah mengetahui keadaannya. Pantas saja selama beberapa bulan terakhir tubuhnya terlihat lebih kurus. Dan sekarang, dia masih tidak sadarkan diri setelah aku menemukannya pingsan di kamar mandi kemarin pagi.

Aku mengusap air mataku lagi. Dalam hati masih mengumpati keluarga Kaia yang sangat kejam. Setelah dokter mengatakan keadaan Kaia yang semakin memburuk dan kemungkinan tidak lagi bisa bertahan lebih lama, aku berusaha menemukan kontak keluarganya di ponsel sahabatku itu—sambil terus menangisi keadaannya.

Dan yang kutemukan sungguh membuatku merasa sangat miris. Papa dan mama Kaia memblokir nomor ponsel sahabatku itu. Begitu juga dengan Mas Putra. Sedangkan nomor ponsel Aghas, tak bisa dihubungi sama sekali. Aku memang tidak mengenal mereka secara langsung tapi bagiku apa yang mereka lakukan sudah sangat keterlaluan. Berkali-kali juga aku memaki Aghas melalui pesan dari ponsel Kaia setelah mengatakan kalau itu dariku. Terakhir aku juga memberitahu alamat rumah sakit dan ruangan tempat Kaia dirawat. Aku berharap kalau ketika Aghas menyalakan ponsel, laki-laki itu membaca pesan dariku.

Malam itu, aku kembali menangis dengan raungan. Hatiku sakit sekali memikirkan kehidupan seperti apa yang sudah dijalani Kaia sebenarnya?

Gadis, kalau aku nggak bisa bertahan nanti, aku titip surat yang kutulis kemarin buat Mas Aghas, ya.. Waktu dia pergi, aku belum sempat pamitan.

Air mataku jatuh lagi mengingat kalimat Kaia sehari setelah kami mengetahui kehamilannya.

Nanti aku mau dikremasi aja ya, Gadis.. Kalau dikubur, nanti makamku sepi nggak akan ada yang berkunjung. Kalau dikremasi, kamu bisa sebar abunya di laut. Kamu kan suka laut, jadi kalau kangen aku, kamu bisa sekalian ke sana. Soalnya, kalau aku nggak ada, cuma kamu yang kangen nanti..

Lagi-lagi, aku menangis kencang.

"Kai, harus kuat, ya," bisikku di sela isakan tangisku. "Bayinya juga pasti mau kalian bertahan."

Sayangnya, dokter sudah menyerah dan mengatakan tak ada harapan lagi.

Aku semakin ketakutan. Waktu aku ingin kembali menghubungi nomor ponsel Aghas, ternyata dia sudah lebih dulu menghubungi ponsel Kaia. Aku baru akan mengatakan makian, saat mendengar suara lirih Kaia yang memanggilku.

"Gadis..."

Aku segera meletakkan ponsel yang tadi kupegang tanpa mematikannya. Air mataku mengalir lebih deras saat melihatnya berusaha membuka kedua mata. "Kai..." balasku sambil bergerak mendekati wajahnya. "Selamat datang kembali," bisikku dengan air mata yang masih mengalir. Aku akan terus percaya kalau Kaia-ku akan bertahan.

Kaia terlihat berusaha tersenyum kecil dengan bibir pucatnya. "Gadis... aku bahagia bisa kenal kamu di hidupku," ucapnya sangat lirih dan sedikit terbata. Hatiku hancur sekali saat sadar tak ada lagi binar di mata Kaia. Tatapan matanya sudah terlihat begitu tak berdaya menatap langit ruangan. "Gadis... nanti... jangan sering nangis... Gadis harus terus bahagia, ya."

Our StoriesNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ