Too Late

3.8K 370 59
                                    

Setahun yang lalu adalah titik terberat dalam kehidupanku. Pernikahan yang kuharapkan akan terjadi sekali seumur hidup, justru harus kandas setelah aku berusaha berjuang keras mempertahankan selama satu tahun lebih. Bahkan kandas dengan cara yang cukup tragis.

Suamiku—oh, maksudnya, mantan suamiku lebih memilih menemani mantan kekasihnya yang sedang sakit dibanding menuruti permintaanku untuk pulang dan menemaniku di rumah saat aku juga sedang tidak enak badan. Itu memang bukan pertama kalinya dia lebih memilih bersama dengan mantan kekasihnya. Tapi hal terakhir itulah yang membuatku memilih menyerah. Sudah cukup dengan semua rasa sakit yang kusimpan dan harapan yang kupupuk padahal aku tahu seperih apa luka yang diberikannya.

Aku patah hati.

Dan sekarang, setelah setahun berlalu, setelah aku berhasil perlahan menata hatiku dengan baik, aku tiba-tiba harus kembali melihatnya. Bukan hanya sekadar melihat, tapi dia juga menyapaku dengan tidak tahu malunya.

"Apa kabar, Gemi?"

Aku membuang napas pelan sambil mencari-cari apakah debaran yang dulu itu masih ada atau tidak. Tapi nihil. Aku tak menemukan debaran apa pun. Juga jenis perasaan benci atau kesal. Semuanya terasa biasa. Seperti layaknya bertemu dengan orang baru—atau mungkin lebih tepatnya orang asing.

"Seperti yang kamu lihat. Kabarku sangat baik."

Mantan suamiku itu—Abizar Winesa terlihat mengulas senyum tipis. Mungkin sedikit sangsi dengan jawaban tandas yang kuberikan tadi.

"Aku—"

"Kamu ada urusan denganku sekarang? Karena kalau enggak, aku harus pergi duluan. Klienku menunggu."

"Ah, maaf. Aku pikir kamu lagi sedikit senggang."

Sebelah alisku terangkat, bertanya. Tahu dari mana dia kalau aku sedang senggang atau tidak. Ini jelas pertemuan pertama kami setelah resmi bercerai setahun yang lalu. Aku menghindari semua hal yang berhubungan dengannya—bahkan awalnya sampai harus memutuskan komunikasi dengan mantan mertua dan mantan adik iparku. Tapi sepertinya Abizar cukup tahu diri saat memilih menghilang agar aku bisa lebih leluasa tetap berhubungan baik dengan keluarganya.

"Gemi, kalau aku minta waktumu buat ngobrol, kamu mau?"

Hah?

"Nggak perlu sekarang, maksudku. Mungkin setelah kamu pulang kerja? Atau kapan pun kamu bisa."

"Kita masih ada bahan buat diobrolin?"

Aku bisa melihat wajah Abizar berubah pias—walau detik selanjutnya berusaha menyunggingkan senyum maklum. "Kalau kamu nggak keberatan..."

"Nggak keberatan, sih. Tapi bingung aja buat apa," sahutku sambil mengedikkan bahu. "Ya, lihat nanti deh, ya. Aku masih harus kerja sekarang. Duluan ya, Zar."

Aku sama sekali nggak peduli dengan wajahnya yang terkejut saat mendengarku memanggil potongan namanya. Karena selama kami menikah, tentu saja aku memanggilnya dengan sangat sopan. Papa dan mama mengajarkanku untuk menjadi seorang istri yang patuh pada suaminya. Sayangnya, kejadian malam itu membuatku berada di ujung rasa lelah. Dan akhirnya memilih menyerah.

Ah, sudahlah. Aku tak ingin membahas kejadian menyakitkan itu lagi. Aku sudah mengubur semua kenangan pahit itu dalam-dalam. Lukanya sudah sembuh, walau harus kuakui memang meninggalkan bekas. Tapi aku tak ingin lagi menoleh ke belakang. Hidupku terlalu berharga untuk terus membahas masa lalu. Lebih baik aku segera menemui klienku agar pekerjaanku hari ini cepat selesai.

"Gemintang Putri?"

Aku mengernyit kecil saat mendengar laki-laki di depanku memanggil namaku.

"Saya Sangga. Tunangannya Leoni Permata."

Our StoriesWhere stories live. Discover now