Broken

2.8K 279 20
                                    

Rafis yang baru saja menginjakkan kaki di lantai satu rumahnya seketika terhenti saat tak sengaja mendengar percakapan kecil dari kedua anaknya.

"Emangnya Abang nggak kangen main sama Papa?"

"Kemarin-kemarin kangen, tapi sekarang udah biasa aja. Papa kan, sibuk, Dek, nggak bisa lagi main sama kita. Jadi nggak usah dikangenin."

Deg!

Seolah ada yang menghantam dada Rafis dengan begitu keras saat mendengar kalimat Raka—sang putra. Entah mengapa, Rafis merasa hatinya begitu sakit.

"Abang nggak mau main sama Papa lagi?"

Kepala Raka menggeleng pelan. "Abang main sama Mama aja udah cukup, kok," sahutnya, lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala adiknya. "Kamu nggak boleh tanya-tanya soal Papa lagi kalau Mama udah bilang Papa lagi sibuk. Nanti Mama bisa sedih. Abang nggak mau lihat Mama sedih."

Gisa merengutkan bibirnya. "Tapi aku kangen main berempat. Papa sibuknya sampai kapan ya, Bang? Perasaan sibuknya lama banget."

"Nggak tahu. Namanya kerja, kata Mama kan, sibuknya kerja nggak tahu sampai kapan."

"Tapi Mama udah kerja masih bisa main sama kita."

"Karena Mama bukan Papa," balas Raka cepat. Anak laki-laki yang akan berusia tujuh tahun itu begitu ingin membuat sang adik mengerti tentang keadaan keluarga mereka beberapa bulan terakhir. "Lagian, kan ada Abang sama Mama yang bisa temenin kamu main kalau Papa lagi sibuk. Nanti juga lama-lama kamu jadi biasa nggak ada Papa. Yang paling penting, Abang sama Mama akan selalu temenin kamu main."

Rafis merasa kedua matanya memanas dan rasanya begitu perih. Kakinya baru akan melangkah menghampiri kedua buah hatinya, saat sebuah suara sudah lebih dulu menghentikan gerakannya.

"Anak-anak Mama udah siap, kan?? Ayuk, kita berangkat!" Ghea melewati Rafis begitu saja sekalipun tahu jika laki-laki itu ikut mendengar percakapan penuh haru dari kedua anak mereka. Ghea bahkan tak menyangka jika kedua anaknya begitu peka dan merasa tersakiti dengan ketiadaan Rafis beberapa bulan terakhir untuk mereka.

Raka langsung menggenggam tangan Gisa—yang sayangnya seketika melepaskan diri saat menyadari jika papa mereka berdiri tak jauh dari posisi mereka.

"Papa!" pekik Gisa meminta digendong oleh sang papa. "Papa udah selesai kerja?? Tadi Mama bilang aku nggak boleh ganggu Papa di ruang kerja, jadinya aku nggak lihat Papa dari pagi."

Rafis berusaha keras untuk mengulas senyum di tengah cekikan rasa bersalah yang menderanya. "Iya, Sayang. Maaf ya, tadi pagi nggak langsung lihat Adek. Tapi anak Papa cantik banget hari ini, mau ke mana, sih??" Rafis menciumi wajah Gisa—yang langsung membuat sang putri tertawa-tawa kegelian. Seolah ada yang memukul-mukul dada Rafis saat tiba-tiba perasaan rindu itu meluap dengan begitu hebatnya.

"Mau berenang, habis itu jalan-jalan ke Mall. Papa mau ikut nggak?"

"Papa masih sibuk, Sayang. Nggak bisa diganggu dulu. Sini, digendong sama Mama aja." Ghea dengan cepat menarik pelan Gisa ke dalam gendongannya. Sama sekali tak memberi kesempatan pada Rafis untuk menjawab pertanyaan sang putri.

Gisa kembali cemberut. "Papa sibuk terus. Nanti lama-lama aku bisa lupa rasanya main sama Papa."

Sekali lagi, Rafis merasakan perih di dadanya. Bibirnya baru akan terbuka untuk mengatakan jika ia bisa ikut pergi hari ini, tapi lagi-lagi sebuah suara menghentikannya. Kali ini, Rafis rasanya ingin mengeluarkan tangisan karena kalimat singkat yang diucapkan sang putra.

"Nggak apa-apa kalau lupa. Kan, masih ada Abang sama Mama." Raka berujar sambil menggenggam tangan mungil sang adik. "Ayo, Ma. Kita berangkat sekarang!"

Our StoriesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant