Ambiguity

4.5K 402 43
                                    

Aku nggak tahu harus merasa bersyukur atau justru sedih punya sahabat laki-laki seperti Revaldy Sanggara—si don juan yang kiprahnya sudah nggak perlu diragukan lagi sejak dulu. Kadang aku bersyukur karena dia nggak pernah absen buat ada di setiap titik hidupku. Tapi bagian menyebalkannya adalah karena semua perempuan yang sedang menjadi kekasihnya akan selalu merecokiku jika dia tiba-tiba nggak bisa dihubungi seperti sekarang. Apalagi pacar Reval sekarang berada di kantor yang sama denganku—walau kami beda lantai.

"Tolong kasih tahu gue ya, Dil, kalau Reval nanti bisa lo hubungin. Dari kemaren gue teleponin dia, tapi nggak pernah diangkat. Terakhir emang dia bilang lagi sibuk banget sih di kantor."

Sibuk apaan?! Orang jelas-jelas kemarin Reval meneleponku sampai tengah malam cuma buat menceritakan tentang anak magang yang baru masuk di timnya.

Aku mengangguk saja sambil memberikan cengiran pada Reiya—pacar kesekian Reval di tahun ini, yang bahkan masih berjalan selama lima bulan. "Hari ini gue juga belum ada kontak dia sih, Rei. Tapi nanti coba gue telepon, ya."

Soalnya kalau kutelepon sekarang, Reiya pasti akan mencecarku karena Reval pasti akan langsung menjawab panggilanku.

"Ng... tapi bisa coba teleponin sekarang aja nggak sih, Dil? Gue butuh ngomong sama dia soalnya."

Waduh. Melihat bagaimana Reiya sangat ingin berbicara dengan Reval, dan sahabatku itu terlihat seperti sedang menghindar, pikiranku mulai meliar ke mana-mana. Apa jangan-jangan Reiya hamil dan Reval lagi berusaha lari dari tanggung jawab, ya?

Eh, astaga! Kok, bisa-bisanya aku curiga sama sahabatku sendiri? Duh.

"Dil..."

"Hah? Oh, iya, iya. Bentar, ya."

Aku segera mengambil ponsel dan mengirimkan chat pada Reval agar tidak mengangkat panggilanku nanti karena sedang ada Reiya. Aku melakukan ini bukan karena aku lagi membela Reval. Tapi karena aku sedang menghindari masalah baru yang mungkin akan timbul jika Reval mengangkat panggilanku di saat dia tidak menjawab telepon dari pacarnya sendiri.

Karena aku sudah sangat kapok dengan kejadian-kejadian sebelum ini—ketika pacar-pacar Reval mengataiku pelakor saat sahabatku itu justru bisa menghubungiku di saat tidak memberi kabar pada pacarnya. Padahal, jika Reval sedang punya pacar, aku nggak akan pernah mau berinteraksi berlebihan dengan sahabatku itu—walau tetap saja nggak bisa karena Reval tuh bisa selalu ada di mana-mana. Aku jelas masih sadar diri kalau posisi pacar akan lebih tinggi daripada sahabat perempuannya.

Sayangnya, nggak semua pacar Reval melihat niat baikku.

"Dilara!"

"Iya, iya, bentar. Tadi gue bales chat nyokap dulu," gerutuku pada Reiya yang sangat tidak sabaran.

Setelahnya, aku menghubungi Reval setelah mengaktifkan speaker dan untuk pertama kalinya selama kami bersahabat, laki-laki itu tidak menjawab panggilanku. Dalam hati, aku menarik napas lega. "Tuh, nggak diangkat, Rei. Kayaknya emang dia beneran lagi sibuk, deh."

Aku sedikit merasa bersalah saat melihat raut Reiya yang kecut.

"Ya udah, deh. Nanti tolong kabarin gue ya kalau Reval udah bisa dihubungi."

Kepalaku mengangguk saja sambil mematikan layar ponsel karena satu chat dari Reval baru saja masuk menanyakan apakah Reiya sudah pergi atau belum. Setelah Reiya kembali ke lantai tempat kerjanya, aku memilih untuk melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda karena kehadiran perempuan itu. Belum juga ada lima menit aku fokus, ponselku sudah lebih dulu berbunyi menampilkan nama Reval.

"Elo tuh bisa nggak sih jangan bikin repot kalau punya pacar?! Udah gue bilang juga jangan pacaran sama orang kantor gue! Bener-bener ndablek banget!" semburku langsung setelah menjawab panggilan Reval.

Our StoriesWhere stories live. Discover now