Lost Stars

1.3K 258 36
                                    

Sepuluh tahun lalu, aku menerima permintaan adopsi dari sepasang suami-istri yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun lebih tua dariku. Setelah penolakan yang beberapa kali kulakukan karena pengalaman mengerikan dan menyakitkan saat diadopsi, akhirnya aku memberanikan diri untuk menerima tawaran itu.

Aku sama sekali tak menyesali keputusan yang kuambil hari itu. Aku senang berada di keluarga yang memperlakukanku layaknya manusia. Orangtua asuhku sangat baik. Pun juga dengan kakak angkatku yang menerimaku dengan hangat. Setelah sekian tahun hidup dalam perasaan terbuang, akhirnya aku bisa merasakan apa itu kasih sayang.

Bukan aku tak bersyukur hidup di panti asuhan selama ini. Hanya saja, aku tahu jika ibu panti dan pengurusnya tak pernah sungguh-sungguh memberi kami kasih sayang. Aku bahkan seringkali mendapatkan pukulan di kepala jika tak menurut memasang wajah sedih dan lugu saat beberapa orang datang untuk sekadar melihat panti asuhan kami.

Aku masih ingat bagaimana perasaan senang yang begitu menggebu saat pertama kalinya aku diadopsi bersama Langit oleh sepasang suami istri yang belum memiliki anak. Langit adalah anak laki-laki yang usianya empat tahun di atasku. Kami tumbuh bersama di mana Langit selalu melindungiku dan selalu memintaku memanggil namanya saja tanpa ada sapaan kakak atau pun sebutan pada yang lebih tua lainnya. Hubungan kami dekat dan tak terpisahkan sampai saat diadopsi pun kami bersama-sama. Sayangnya, kejadian mengerikan itu merenggut segala kebersamaan kami.

Ibu asuh kami yang tadinya begitu baik hati tiba-tiba berubah seolah menjadi monster setelah beberapa lama ayah angkat kami tak pernah pulang ke rumah. Seringkali aku mendengar ibu mengamuk dan pasti berakhir menjadikan kami sebagai sasaran. Beberapa bulan terus berlanjut begitu sampai akhirnya kami tahu jika ayah sudah memiliki keluarga lain. Usiaku masih enam tahun saat itu dan harus dipaksa mengerti jika ibu dan ayah yang selama ini menyayangi kami ternyata harus berpisah.

Sikap ibu berubah drastis sekali. Aku dan Langit bahkan pernah tak makan selama tiga hari, karena ibu tak memberi kami makan. Waktu itu, aku hanya menangis dalam pelukan Langit. Langit yang juga masih kecil harus menjadi tumpuanku dalam berlindung. Sampai suatu hari, kami memutuskan untuk kabur tapi sayangnya ibu mengetahui hal itu.

Ibu mengamuk dan menghajar kami habis-habisan. Aku sangat kesakitan saat ibu hampir membuat jari kelingkingku putus terjepit pintu. Langit yang sudah babak belur berusaha menyelamatkanku, tapi ibu yang sedang marah langsung mendorongnya dan kejadian mengerikan itulah yang merenggutnya dariku. Tubuh kecil Langit yang kurus dan sudah babak belur tertimpa lemari besi. Aku meraung keras malam itu dan berusaha menyelamatkan Langit saat ibu mematung dengan wajah yang sangat terkejut. Aku menangis sambil menyingkirkan besi-besi yang menimpa Langit. Kuseka darah dan air mata yang menutupi wajah penuh lukanya. Aku tak akan lupa apa yang Langit katakan saat tangan kecil itu menggenggam tanganku yang gemetar hebat.

"Aku baik-baik aja, kok. Aku cuma ngantuk. Nggak apa-apa, semuanya akan baik-baik aja. Setelah ini, kamu pasti selamat dan bahagia."

Dulu, aku tak mengerti apa maksud Langit mengatakan kalimat itu dengan terbata dan penuh kesedihan. Tetapi sekarang aku mengerti. Karena setelah kematian Langit, aku dikembalikan ke panti asuhan. Sekalipun dengan hati yang kosong dan penuh luka, setidaknya aku tidak perlu dipukuli sampai babak belur lagi. Aku memang tak pernah melupakan rasa sakitnya, tapi aku berusaha untuk menerima segala kemalanganku di masa kecil.

"Kamu bener. Aku udah bahagia sekarang, Langit," lirihku, dengan senyum yang berusaha kuukir sempurna. Aku tak ingin mengingat Langit dalam kesedihan. Bagiku, Langit bukan hanya sosok kakak, tapi juga malaikat yang akan selalu kuabadikan sempurna dalam hatiku. Jika bukan karena berusaha menyelamatkanku dari amukan ibu, mungkin Langit masih ada di sini bersamaku. "Makasih, Langit. Karena kamu, aku masih hidup sekarang," ujarnya lagi. "Suatu hari nanti, kalau kita ketemu lagi, aku janji, aku yang akan jadi tempat kamu berlindung."

Our StoriesWhere stories live. Discover now