Regret - 02

3.2K 511 152
                                    

Kaia

"Kamu bukan cuma mengerikan sebagai manusia, tapi juga sangat menyedihkan sebagai seorang perempuan."

Itu kalimat pertama yang Mas Aghas katakan setelah kami resmi menjadi sepasang suami-istri. Aku tahu dia marah. Sangat marah dengan pernikahan yang papa rancang untuk kami, karena berpikir akulah dalang dibalik permintaan itu. Padahal, jika saja dia ingin memahami lebih jauh, mana mungkin papa mau mendengarkan permintaanku, kan? Sayangnya, karena sudah terlanjur sangat membenciku, dia pasti tidak akan berpikir sampai ke sana.

Hari pertama sebagai seorang istri kulalui dalam hening, karena kami tidur terpisah. Hari-hari berikutnya pun terus begitu sampai aku mulai terbiasa dengan kehadirannya yang hanya menganggapku sambil lalu di dekatnya.

Iya, selama satu bulan kami menikah, dia akan berangkat sangat pagi dan pulang larut dan tak pernah menyapaku saat aku sengaja terjaga menunggu kepulangannya. Bodohnya, aku tetap saja bangun lebih pagi darinya hanya untuk membuatkannya sarapan yang aku tahu tak pernah disentuhnya sama sekali.

"Mas Aghas, sarapan dulu, yuk. Hari ini aku buatin omelet nasi—"

"Emang kapan aku pernah makan satu pun makanan yang kamu buat?" sahutnya datar tanpa menoleh padaku, lalu pergi begitu saja meninggalkan apartemen yang menjadi saksi betapa dinginnya dia padaku sejak kami menikah sebulan yang lalu. Oh, bukan. Sebenarnya sejak kematian Mbak Putri, sikapnya padaku memang sudah jauh berbeda dibandingkan dulu.

Rasanya pernikahan kami memang sangat menyedihkan. Kami masih tidur di kamar berbeda, bahkan seringkali tak ada komunikasi yang terjalin. Tapi konyolnya, aku tetap saja berusaha ingin menjadi istri yang baik untuknya.

Bahkan ketika di bulan kedua aku tahu kalau dia masih berhubungan dengan kekasihnya, aku berpura-pura tidak tahu dan tetap menjalankan peranku sebagai istri—yang tentu saja diabaikan. Aku membiarkannya selalu makan siang bersama sang kekasih bahkan selalu memiliki waktu kencan tiap akhir minggu.

Setiap malam aku masih menunggunya pulang dari kantor, walau masih tetap tak mendapatkan sapaan apa pun—selayaknya seorang suami menyapa istri yang sudah menunggunya pulang ditemani kantuk karena menunggu sampai tengah malam. Lalu pagi harinya, aku akan bangun sangat pagi dan tetap menyiapkannya sarapan. Seolah semua kegiatan itu sudah menjadi kebiasaan yang rasanya akan aneh jika tak kulakukan. Tidak pernah ada percakapan berarti dalam pernikahan kami. Karena dia lebih sering diam dan mengabaikanku, kecuali sudah merasa sangat terganggu.

"Nggak perlu nunggu aku pulang dan jangan bikinin aku sarapan apa pun lagi. Urus aja diri kamu sendiri!"

Kalimat itu sudah terlalu sering dia katakan, dan aku masih saja bebal. Aku masih melakukan semua kebiasaanku untuknya dengan harapan dia juga akan terbiasa dan akhirnya perlahan mencairkan hati untuk menerima pernikahan kami.

Gadis bilang cintaku pada Mas Aghas sudah tidak benar. Menyesatkan, katanya. Sejujurnya, aku juga sadar tentang hal itu sejak awal kami menikah. Aku tahu bahwa tujuan papa menikahkan kami hanya ingin membuatku semakin terluka. Atau mungkin juga cara papa dan mama untuk membuangku dari rumah. Karena sejak menikah, aku tak pernah diundang dalam acara apa pun yang keluarga Wijaya adakan, di saat Mas Aghas yang adalah suamiku justru selalu ada di sana. Aku juga tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orangtua dan kakakku, pun saudara-saudaraku yang lain. Aku resmi menjadi orang asing.

"Jatuh cinta itu juga punya batas, Kai. Mau sampai kapan lo terus merendahkan diri buat laki-laki yang nggak bisa menghargai semua usaha lo?"

Mau sampai kapan? Aku juga tak tahu jawaban apa dari pertanyaan Gadis waktu itu. Sebab, masih ada sudut hatiku yang justru mengatakan kalau pernikahan ini bisa menjadi satu kesempatan bagiku untuk meluluhkan hati pria itu kembali.

Our StoriesWhere stories live. Discover now