White Lies

2.8K 285 35
                                    

Untuk kesekian kalinya, Cilla berusaha menahan diri mendengar sindiran sang ibu mertua tentang dirinya yang egois lebih memikirkan karir dibanding fokus pada keluarga. Ibu mertuanya selalu merasa jika Cilla-lah yang menjadi alasan Sangga belum memiliki anak bahkan setelah empat tahun menikah. Padahal saat masih berpacaran dengan Sangga dulu, Cilla diperlakukan sangat baik oleh perempuan paruh baya itu.

"Mbok ya ngalah toh, Nduk. Sampai kapan mau kosong begini?? Masmu itu udah berumur. Udah tiga puluh enam tahun. Kamu juga udah kepala tiga. Ibu sama Bapak ini pengin punya cucu, lho."

Cilla membuang napas pelan. "Cilla juga mau punya anak kok, Bu. Cuma belum dikasih kepercayaan aja—"

"Yo gimana mau dikasih kepercayaan, kerjaanmu aja di kantor terus. Pulang juga malem-malem. Nggak ada istirahatnya. Makan juga sembarangan. Gimana mau hamil, Nduk??"

Ibu mertuanya memang tak pernah berbicara menggunakan nada tinggi. Tapi kalimat bernada lembut yang diucapkannya seringkali menusuk hati Cilla—dan ia selalu tak mampu memberi balasan apa pun. Seperti saat ini di kala hampir seluruh keluarga besar Sangga berkumpul makan malam bersama. Dan lagi-lagi, Sangga hanya diam. Sudah lima bulan terakhir ini Sangga tak lagi membela Cilla seperti sebelum-sebelumnya jika sang ibu mengutarakan protes pada perempuan itu. Tentu Cilla sangat tahu apa yang menjadi alasannya. Sikap Sangga perlahan berubah setelah Cilla menolak mentah-mentah keinginan laki-laki itu yang memintanya untuk berhenti bekerja. Mereka bahkan sempat bertengkar hebat hari itu karena Cilla merasa Sangga tak menepati janji yang katanya akan tetap membiarkannya menggapai mimpi sekalipun mereka sudah menikah.

"Sudah toh, Bu. Selesaikan makan dulu baru ngobrol. Cilla juga masih makan itu."

Cilla sama sekali tak merasa lega sekalipun ayah mertuanya akhirnya bersuara menghentikan sindiran sang ibu mertua. Bukan karena kesal pada ibu mertuanya, tapi justru pada perempuan yang usianya lebih tua dua tahun darinya—perempuan yang cukup sering dibandingkan dengannya, karena berhasil hamil dua bulan setelah menikahi anak angkat ayah dan ibu Sangga.

Naina namanya.

Seorang perempuan yang setahun lalu ditinggal suami—kakak angkat Sangga. Perempuan yang hampir tiap hari dikunjungi Sangga dengan alasan menemani Dafael—putra Naina dan Faris yang baru berusia tiga tahun. Sekarang, Naina bahkan dengan santainya meletakkan lauk di piring Sangga seolah kegiatan itu sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan itu. Sedangkan di meja makan ini, tak ada satu pun orang yang terganggu dengan sikap itu. Tidak kedua mertuanya, tidak juga kedua kakak ipar dan suaminya. Juga keponakan-keponakannya dari keluarga Sangga.

Cilla terluka, tentu saja. Tapi Cilla masih memilih diam karena ia bukan jenis orang yang suka ribut. Jadi Cilla membiarkan saja. Cilla percaya jika Sangga tidak akan mengkhianati pernikahan mereka—sekecil apa pun itu. Hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Tapi bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun jika terhitung sejak mereka pacaran. Selama berpacaran, Sangga bahkan sabar menunggunya menyelesaikan kuliah sampai akhirnya bisa bekerja di sebuah bank swasta terbesar di negara ini.

"Inget baik-baik ya pesen Ibu, Nduk. Cepetan resign dan fokus urus keluargamu. Kasihan lho itu Sangga kelihatan udah pengin punya anak. Tuh, kamu lihat sedeket apa dia sama Dafa."

Kepala Cilla bergerak menatap pemandangan di mana Sangga sedang bercanda dengan Dafa ditemani Naina yang ikut tertawa melihat betapa akrab laki-laki beda usia tersebut.

"Bu, udah. Biarin Cilla berpikir dulu. Jangan dipaksa gitu," ujar Haura—kakak Sangga yang pertama.

Ibu mertua Cilla merengut kecil.

"Tapi Ibu nggak salah juga, Mbak," sambar Kesha—kakak kedua Sangga. "Jangan sakit hati ya, Cil. Mbak bukan bela Ibu, tapi kamu juga harus mikirin Sangga. Selama ini Sangga udah banyak ngalah, lho. Dia nikah umur tiga puluh dua tahun bukan karena nggak punya uang, tapi karena nungguin kamu. Mbak tahu rasanya seneng bisa punya karir cemerlang dan gaji yang besar, tapi perasaan suami dan keluarga itu tetap yang paling utama, Cil."

Our StoriesWhere stories live. Discover now