Chapter 10

46 16 0
                                    

Nevan terkekeh geli saat melihat Ileana yang baru selesai membersihkan diri meregangkan otot-otot tubuhnya, meluruskan tangannya ke depan, mengedikkan kepala ke kiri dan kanan, kemudian menggerakkan kedua kepalan tangannya meninju udara seolah dia petinju yang siap bertanding.

"Kamu mau tanding tinju hari ini?" Kegiatan Ileana terhenti. Ia menoleh ke arah Nevan dengan cengiran lebar yang terlihat menggemaskan. "Aku bakal berdiri di baris terdepan untuk dukung kamu." Ileana masih menyengir bodoh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Enggak kok…" jawabnya tanpa memudarkan cengirannya, cengiran yang menjadi khas gadis itu. Namun beberapa sekon kemudian air muka Ileana berubah drastis. Tatapannya menajam dengan kedua tangan yang terkepal penuh tekad. "Alien gila itu bener-bener bakal aku basmi dari peradaban bumi ini!" Nevan terkekeh jenaka seraya menggeleng-gelengkan kepala. Setelah tadi Ileana terlihat seperti petinju yang siap bertarung, kini gadis itu malah terlihat layaknya seorang prajurit yang siap berperang. Nevan jadi takut saraf-saraf di otak sahabatnya itu mulai putus satu per satu atau bekerja di luar kendali melihat dia yang semakin hari terasa semakin aneh.

"Semangat, Ileana Aneska!" Seru Ileana menyemangati diri sendiri dengan kedua tangan terkepal di depan tubuh. Dengan penuh semangat gadis itu raih apronnya lalu mengikatnya ke tubuh. Dia terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Nevan tidak tahu apa yang telah terjadi pada Ileana semalam. Mungkin akan ia tanyakan nanti sebelum dia tahu sendiri jawabannya.

Sembari mengelap semua meja, mata bulat Ileana tak henti-hentinya mengamati jalanan di depan kedai. Menunggu-nunggu seseorang yang biasanya datang di jam-jam segini, yang selalu menjadi pelanggan pertama. Seseorang yang selalu merusak waktu juga mood-nya. Ileana kembali bertekat dalam hati, kali ini dia tidak main-main. Dylan benar-benar akan ia matikan layaknya dia mematikan kutu beras.

Satu sudut bibir Ileana tertarik panjang. Suara mesin mobil yang sangat familier di telinganya baru saja berhenti di depan kedai menandakan jika orang yang Ileana tunggu sejak tadi telah tiba. Ileana mulai mengambil ancang-ancang, bersiap perang.

"Heh! Kamu!" Bentaknya dengan tangan yang memegang sapu, dan tangkai sapu itu ia todongkan ke wajah Dylan yang hendak masuk ke dalam kedai. Sontak membuat Dylan terkejut, namun tetap terlihat tenang seolah tidak merasa terusik sama sekali. Gadis kecil yang sedang dalam masa pramenstruasi? Hal kecil yang dengan mudah Dylan hadapi. Oleh sebab itu dia terlihat tenang-tenang saja. Negara tercintanya yang hampir dibombardir, serangan teror dan beribu ancaman dari lain saja bisa ia tangani dengan tenang. Menghadapi beribu senjata api yang hebat, malah. Apalagi gadis mungil yang hanya bermodalkan setangkai sapu ini. Dengan mata tertutup pun Dylan bisa mengatasinya.

"Apa yang kamu lakuin sama aku semalam, Pedofil?!" Nevan yang mendengar teriakan Ileana berasal dari ambang pintu kedai tentu tertarik atensinya. Dan saat melihat tubuh Dylan menjulang di depan Ileana, Nevan tak heran lagi. Mendengar Ileana berteriak di depan kedai membuat Nevan yakin bahwa bukan pelanggan lain yang Ileana teriaki. Sudah pasti Dylan. Ileana tidak akan berani membentak pelanggan lain sekesal apa pun dia terhadap pelanggan tersebut. Karena bagi mereka pelanggan adalah prioritas utama. Dan Nevan memilih menyaksikan adegan panas itu dengan tenang di balik meja kasir seraya sesekali menyesap coffee latte.

"Pergi dari sini! Pergi!" Ileana memukulkan tangkai sapunya ke tubuh Dylan dengan sepenuh hati. Dan Dylan tidak mungkin diam saja. Pukulan gadis itu cukup terasa sakit baginya. Dia membuat benteng pertahanan diri dengan kedua tangannya sendiri, menangkis setiap ayunan tangkai sapu ke tubuhnya dengan lihai.

Geram karena tindakannya tak membuat Dylan bergeser dari porosnya barang hanya seinci, Ileana segera melepas slip on-nya yang terang saja membuat Dylan akhirnya siaga, berlari menjauh kala sepatu putih itu melayang ke arahnya. Ileana menjatuhkan sapunya lalu menatap Dylan bengis.

"Awas aja kamu!" Geramnya seraya meremuk-remukkan jaket militer Dylan, membuatnya bulat-bulat agar mudah untuk dilempar. "Sekali lagi kamu ke sini, gak bakal aku biarin kamu lihat matahari lagi, Pedofil!" Lalu melempar jaket itu ke arah sang empunya dengan sekuat tenaga. Melihat jaket kebanggaannya jatuh tanpa harga diri terang saja membuat mata tajam Dylan membola sebegitu besarnya. Rahang tegasnya juga nyaris jatuh. Bahkan debu di jalan membias karena begitu kuatnya jaket itu terhempas. Dengan kasar Dylan raih jaketnya kembali dan dengan langkah seribu yang agaknya sarat akan angkara ia hampiri Ileana. Ileana bergerak gelisah, melihat dengan jelas kemarahan Dylan yang membara. Matanya menggelap. Sepertinya dia benar-benar tidak terima dengan apa yang telah Ileana lakukan terhadap jaketnya. Ini tanda bahaya.

Ileana lekas masuk ke dalam kedai mencari tempat berlindung. Berlari menaiki tangga menuju lantai dua kala Dylan turut berlari mengejarnya. Mereka berdua terlibat aksi kejar-kejaran sekarang.

Melihat Ileana berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga membuat Nevan keheranan. Namun dia tak perlu bertanya mengapa Ileana bertingkah seperti itu setelah mendapati Dylan berdiri di ambang pintu dengan napas terengah dan mata menatap sangar laksana singa kelaparan.

"Mana kerdil tengik itu?!" Tanya Dylan dari ambang pintu kedai. Dan Nevan rasa dia tidak perlu menjawab jika tidak ingin terjadi baku hantam di sini.

Jovanka dari seberang Sweet Coffee menaikkan satu alisnya dengan kepala sedikit memiring dan tangan saling bersedekap pongah. Dalam hati bertanya-tanya sendiri, apa gerangan hubungan Dylan dengan si gadis pelayan kedai? Hingga Dylan mau melakukan hal memalukan semacam tadi – berlarian layaknya anak kecil – hanya demi mengejar gadis tengik itu. Jovanka tahu betul seperti apa sifat seorang Dylan Arkana Kagendra. Dia tidak akan mau membuang-buang waktu hanya untuk hal tidak berguna seperti tadi. Dia tipe orang yang tidak peduli terhadap apa pun – setahu Jovanka. Jadi, jika ada orang yang mencoba merebut perhatiannya, Dylan tidak akan peduli. Dia tahu karena dia korbannya. Tapi agaknya ada pengecualian pada gadis itu.

Dylan Arkana Kagendra yang merupakan seorang Kapten Angkatan Laut Indonesia terlibat aksi kejar-kejaran tidak berguna seperti tadi? Untuk apa? Apalagi di pinggir jalan seperti ini, dilihat banyak orang. Itu sangat memalukan baginya. Dylan tidak pernah mau melakukan apa pun yang menjatuhkan harga dirinya atau membuat dirinya terpandang rendah. Ini semua menarik atensi Jovanka tentunya. Jovanka tak akan beranjak dari sana sebelum dia mendapatkan jawaban. Beruntung bagian depan kedai kopi itu berdinding kaca transparan. Jovanka bisa melihat semuanya dengan jelas dari seberang kedai seraya mengamati apa yang Dylan lakukan di dalam sana. Sembari menerka-nerka sendiri apa gerangan yang membuat Dylan menjadi seaneh itu.

Ileana menuruni anak tangga dengan perasaan was-was. Di undakan tangga terakhir ia berhenti. Melongokkan kepala mengamati keadaan sekitar. Kerutan di dahinya mulai tercetak kala ia dapati mobil Dylan yang masih terparkir di depan kedai, namun sang empunya tak nampak di sekitar dirinya. Mata Ileana semakin tajam mengamati isi kedai, bergerak liar mencari-cari keberadaan si alien. Dan dia tidak mendeteksi bau-bau alien itu di sekitar sini. Bagian meja kasir juga dapur tak luput dari pengamatannya. Namun dia tetap tidak bisa menangkap tanda-tanda keberadaan Dylan. Jadi, satu langkah maju Ileana ciptakan, membuat dia tak lagi berada di undakan tangga di samping dapur. Ia berjalan mengendap-endap ke tengah kedai dengan mata yang bergerak jeli mengamati keadaan di luar kedai.

"Van…"

"Hm?" Sahut Nevan dari dapur yang sedang sibuk mencuci buah. "Dia gak ada di sini, ‘kan?" Ileana berdiri di tengah-tengah kedai. Berkacak pinggang seraya menghela napas lega. Mobil Dylan memang masih terparkir di depan kedai, tapi bukan berarti dia juga ada di dalam kedai ini. Bisa saja alien itu mencari sesuatu di salah satu toko dari sederet ruko yang berjejer di sisi kanan maupun kiri kedai. Bahkan ada yang di seberang.

Mata Jovanka semakin menyipit memperjelas objek kala ia lihat seorang perempuan muncul di tengah-tengah kedai kopi – yang sedari tadi ia perhatikan. Dia ingat gadis itu yang dikejar Dylan tadi. Rasa penasaran Jovanka semakin membara. Akan ia amati dengan teliti setiap apa yang terjadi di dalam kedai itu.

Pada detik berikutnya mata Jovanka membulat sempurna. Bahkan tubuhnya agak limbung saking terkejutnya ia menyaksikan apa yang terjadi di dalam sana.


***


Jangan lupa vote.

One Man Million FeelingsWhere stories live. Discover now