Chapter 31

24 12 0
                                    

◇◇◇

"Kamu masih marah gara-gara yang tadi?" Tanya Dylan tak habis pikir.

"Enggak tuh. Siapa juga yang marah." Ileana menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Diikuti Dylan yang duduk di sebelahnya dengan senyum hangat yang memikat. Ileana cemburu padanya. Apa itu artinya cinta Dylan terbalas? Dylan tidak jatuh cinta sendirian? Walau perlakuan Ileana selama ini terhadapnya sudah menjelaskan bahwa gadis itu menerima cintanya, mengetahui fakta bahwa dia cemburu jauh lebih menyenangkan bagi Dylan. Serasa ada ledakan bunga Sakura di dalam dadanya.

Awalnya acara makan mereka berjalan lancar. Setelah memilih tempat duduk, mereka menunggu pesanan datang sambil berbincang hangat seperti biasa. Namun tiba-tiba segerombol remaja perempuan datang, mengajak Dylan berswafoto. Dan Dylan dengan sengaja menciptakan skinship dengan mereka. Seperti; merangkul dengan erat, dengan posisi duduk yang tak berjarak. Ileana yang kala itu duduk di seberangnya tentu tak bisa berbuat apa-apa. Secara otomatis raut wajahnya berubah masam. Dia juga menyantap makanannya duluan tanpa menunggu Dylan yang sangat antusias meladeni remaja-remaja itu. Dan Dylan malah menertawakannya begitu para remaja itu pergi, tanpa ada minat untuk membujuk. Menyebalkan sekali!

"Hm..." Dylan mendesah pelan seraya melepas kancing seragamnya. "Kalau kamu ngambek gini, aku jadi gak semangat." Gumam Dylan memancing. Berhasil membuat Ileana meliriknya dengan ekor mata. "Ini hari terakhir aku."

"Maksud kamu?" Atensi Ileana mulai tertarik, dia menolehkan kepalanya pada Dylan dan menatap lelaki itu dengan ujung-ujung alis yang hampir bertaut. Meski hanya kepala, tapi itu sudah cukup bagi Dylan. Sebentar lagi dia pasti akan memutar tubuhnya menghadap padanya.

"Kamu yakin mau marah sama aku?" Goda Dylan dengan satu sudut bibir tertarik, matanya menyipit sengit memandang Ileana.

"Bicara yang jelas." Tuntut Ileana dengan gaya angkuhnya namun terkesan lucu. Dia masih mempertahankan egonya. Namun Dylan tahu gadis itu sudah penasaran setengah mati. Itu yang membuat gadis itu terlihat lucu.

Dylan mengulum senyum dan menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Ileana. "Ini hari libur aku." Dylan menipiskan bibir, terlihat sebal kemudian. "Cuma satu hari."

"Terus?" Ileana kembali menoleh ke depan dengan pongah, bersama kedua tangan terlipat di depan dada. Seolah tak berminat mendengar informasi dari Dylan. Mengabaikan fakta bahwa kalimat putus-putus Dylan menggelitik rasa penasarannya.

"Aduh... udahan dong ngambeknya. Jangan kayak gini. Kamu bakal mati nahan rindu ntar kalau detik-detik terakhir ini kita habisin kayak gini." Ileana kembali menoleh pada Dylan. Dan baru sadar jika jarak mereka sangat intens. Dylan meraih tangan Ileana, meletakkannya di pipi, membuat seolah Ileana sedang menangkup wajahnya. Tangannya juga melingkupi tangan gadis itu di permukaan pipinya. Senyuman Dylan mengembang, menyamarkan perasaan sedih yang bersarang di hati. "Aku mau berlayar selama tiga bulan."

Mata Ileana membulat, lekas berkaca-kaca. "A-apa?" Tanyanya tak percaya. Suaranya terdengar begitu pelan. Kalimat Dylan terasa menghantam dadanya begitu saja.

Dylan mendesah pelan, "hm. Aku mau berlayar."

Ileana tersenyum lirih, "aku pikir cuma pelaut doang yang berlayar." Ia membuang wajah, tak ingin menatap Dylan guna menyembunyikan sendu yang bergelayut dalam sorotnya. Keadaan jadi berubah begitu saja. Nara jadi merasa kehilangan semangat kini.

"Kami juga berlayar, bahkan sampai ke luar negeri. Kami selalu ngadain pertemuan sama Angkatan Laut di dalam dan luar negeri. Kadang juga jaga perbatasan di laut berhari-hari." Dylan merangkul bahu Ileana erat. Senyumnya mengembang saat kepalanya memiring menatap wajah sendu gadis itu. "Makanya... kita harus manfaatin hari ini sama besok. Minggu sore aku udah balik ke markas." Ileana mendesah kecewa. Wajahnya tampak sendu. "Aku bakal nginap di sini sampai aku berangkat." Kendati hanya tidur di sofa, namun berada di ruangan yang sama dengan Ileana saja sudah membuat Dylan bahagia setengah mati. Tak peduli seberapa sempit tempat ia terlelap. Toh di kapal dia juga mendapatkan porsi tempat tidur yang sama dengan sofa yang ia duduki kini. Malah sofa ini jauh lebih empuk ketimbang kasurnya di kapal.

One Man Million FeelingsWhere stories live. Discover now