Chapter 14

74 17 0
                                    

"Di sini, 'kan?" Tanya Dylan kala mereka tiba di depan sebuah gedung mewah, tempat biasanya Jovanka berlatih piano. Jovanka tak menjawab. Perempuan itu sibuk mengemas tasnya.

"Ntar aku kabarin kalau udah selesai." Ia tak menanggapi pertanyaan Dylan. Jovanka keluar dari mobil Dylan begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa lagi karena dia terlalu sakit hati. Yang ada emosinya akan meledak jika dia berbicara dengan Dylan kendati hanya beberapa patah kata.

Dylan menatap Jovanka dengan heran. Ia mengedik tak acuh, terlalu tidak peduli. Memutar arah kemudi mobilnya, Dylan berputar arah menuju Sweet Coffee. Perutnya sejak tadi sudah bergemuruh, cacing-cacing yang ia pelihara di sana sudah meronta minta diberi makan. Sejak pertama membuka mata hingga sekarang – waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi – Dylan belum memberi cacing-cacing perutnya asupan makanan. Wajar jika mereka meminta jatah makan pagi mereka pada sang pemelihara. Dylan sengaja tidak sarapan di rumah karena ingin sarapan di Sweet Coffee ditemani pujaan hati. Dia hanya berbohong pada Jovanka tadi.

Belum tiba di Sweet Coffee saja senyum Dylan sudah mengembang lebar. Ia semakin tak sabar ingin bertemu Ileana. Gadis itu tidak pernah gagal merebut hatinya. Bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi Dylan.

Dylan memijak pedal gas semakin dalam, menambah kecepatan mobil. Dia benar-benar tak sabar ingin bersitatap dengan manik jelaga yang selalu mengirim kehangatan.

.

.

Tiba di depan Sweet Coffee, kerutan malah tercetak pada dahi Dylan. Dylan menyembulkan kepalanya keluar jendela mobil. Tergantung tulisan closed pada pintu kedai. Dylan menipiskan bibir menekan kecewa. Sweet Coffee tutup hari ini, dia tak akan bertemu pujaan hatinya. Sayangnya Dylan tidak tahu alamat Ileana. Andai saja ia tahu, dengan nekat akan Dylan datangi dengan beribu alasan tak logisnya. Tidak mungkin juga rasanya jika kedai ini belum buka. Pagi-pagi sekali kedai ini sudah buka biasanya. Mungkin memang sedang tutup hari ini.

Dylan mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Mengarahkan lensanya pada kedai, mengambil satu gambar.

Senyum simpul menghias bibirnya kala ia amati hasil jepretannya sendiri. Indah. Namun akan terasa lebih indah lagi jika karyawan perempuan yang bekerja di sana turut berada dalam gambar itu.

Dylan menatap kedai lekat-lekat sekali lagi, mencari-cari penjelasan jam berapa kedai ini akan buka kembali atau sampai kapan akan tutup. Namun tak ia temui.

Mendesah kecewa, Dylan kembali mengemudikan mobilnya. Kali ini tujuannya taman kota. Sudah lama sekali rasanya dia tidak menikmati udara pagi di sana. Apalagi ini hari libur, pasti akan ramai di sana. Masalah perutnya yang kelaparan bisa diatasi nanti. Toh di rumah ibunya juga sudah menyiapkan sarapan untuknya. Dylan hanya perlu ke taman kota setelah itu kembali ke rumah.

Dylan menambah laju kecepatan mobilnya agar segera tiba di sana. Dia ingin menghabiskan pagi di sana, lalu kembali ke rumah dan tidur sepanjang hari. Benar. Harinya terasa sepi dan tak berarti tanpa Ileana. Karena kini Ileana lah pewarna dalam harinya.

.

.

Dylan keluar dari mobil dengan langkah berat nan penuh paksaan. Dia jadi tak bersemangat menghabiskan waktu liburnya kali ini. Semuanya pudar. Rencana yang telah ia susun apik melebur begitu saja bak embun pagi yang terkena sinar matahari.

Dylan menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan perlahan. Udara pagi yang segar. Akan ia nikmati dengan suka rela. Taman cukup ramai pagi ini. Tawa anak-anak kecil yang berlarian serta orang-orang yang berolahraga adalah keramaian yang selalu menjadi ciri khas taman ini. Namun seramai apa pun keadaan di sekitarnya, hati Dylan tetap terasa sunyi. Dia butuh Ileana untuk membuat hari-harinya menjadi lebih cerah. Bahkan hangat matahari pagi kalah dengan kehangatan sosok Ileana.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang