Chapter 19

25 12 0
                                    


◇◇◇

"Semangat!" Seru Nevan kala ia letak ember untuk mengepel di tengah-tengah kedai. Kedai masih tutup. Dan itu dimanfaatkan oleh Nevan dan Ileana untuk membersihkan kedai.

"Kamu ada tes lagi 'kan besok ini?" Tanya Ileana yang mulai sibuk membersihkan dinding kaca kedai. Ia bertanya seperti itu karena dia sendiri tahu ada banyak serangkaian tes yang harus dilakukan untuk masuk Akademi Kepolisian. Dan itu artinya, Nevan tidak akan menemaninya hingga malam di sini. Karena lelaki itu butuh waktu istirahat yang banyak untuk tesnya besok.

"Iya." Jawab Nevan yang mulai mengepel lantai dengan semangat.

"Hm... berarti aku sendiri lagi dong malam ini." Keluh Ileana dengan bibir cemberut.

Nevan menoleh pada Ileana, menatap gadis itu dengan aneh. "Bukannya kemarin-kemarin kamu biasa aja gak ada aku?"

Ileana menoleh ke belakang, menatap Nevan lalu tersenyum tipis. "Hm. Aku cuma becanda." Alibinya yang kali ini dibubuhi senyuman lebar, menenggelamkan mata bulatnya. Nevan semakin heran dengan sikap Ileana. Seperti ada yang mengganjal dengan gadis itu. Dia terlihat berbeda sekali hari ini.

Ileana menatap lurus ke depan, memandangi jalanan di depan kedai, atau lebih tepatnya menatap kosong pada lahan di depan kedai - tempat biasanya mobil Dylan terparkir. Lima hari tidak bertemu Dylan menimbulkan rasa gamang di hati Ileana. Seperti ada yang hilang, namun tidak bisa dicari tahu apa yang hilang itu.

Dia memang sempat bertemu Dylan dua hari lalu. Hanya saja bukan bertemu seperti itu yang Ileana inginkan. Ileana ingin Dylan berada di dekatnya, atau setidaknya mendengar suaranya, sebentar saja. Tidak tahu mengapa hal itu ia inginkan saat ini. Hatinya yang meminta itu. Kendati pula dia tahu kehadiran Dylan hanya akan membuat darah tingginya kumat, namun Ileana tak bisa menahan rindunya lagi.

Dari awal pertemuannya dengan Dylan, hal sekecil apa pun yang dilakukan lelaki itu terhadap dirinya selalu menimbulkan kesan di hati Ileana, sulit dilupakan. Seperti Dylan sepenuhnya telah mengendalikan hatinya. Dan sekarang, genap lima hari Ileana tak bertemu lelaki bermata tajam itu. Ada kekosongan yang menguasai di sana, di dalam hatinya.

"Kamu... ada masalah?" Nevan mendekat, berdiri di sebelah Ileana seraya memandang gadis itu khawatir.

"Enggak." Buru-buru Ileana lanjutkan kegiatannya mengelap dinding kaca yang sempat tertunda. Bahkan Dylan berhasil menyita waktu dan fokusnya tanpa ia sadari.

"Serius? Kamu kelihatan lagi mikirin sesuatu." Selidik Nevan curiga, menatap wajah Ileana penuh observasi.

Ileana memutar tubuhnya menghadap Nevan, melempar senyum tipis pada sahabatnya itu. "Gak ada apa-apa, Van. Aku cuma lagi mikirin kuliah sama beasiswaku aja." Alibinya. Mencoba mengunci hati dan mulut agar tidak membeberkan apa yang susah payah ia sembunyikan.

Dahi Nevan mencetak kerutan dalam, merasa jawaban Ileana tidak pas di hatinya. "Kenapa? Coba cerita."

"Mungkin kurang dari satu bulan lagi aku harus berangkat ke Seoul, aku udah mulai kursus bahasa sebelum perkuliahan dimulai." Mata Ileana mulai berembun, membuat Nevan semakin diliputi keheranan. Dan mungkin gak akan kembali lagi.

"Terus?" Detik itu pula tangis Ileana pecah. Dylan lagi-lagi menginvansi pikirannya, mengacaukan suasana hati Ileana. Dia hanya merasa bahwa dia tak ingin meninggalkan lelaki itu, dia belum siap. Dia masih ingin terus melihatnya. Setidaknya, jika tidak bisa bersama, dia hanya ingin melihat saja, tak masalah jika hanya dari kejauhan.

Dan sejauh ini Nevan hanya membiarkan saja. Membiarkan sejauh mana Ileana sanggup menangis sendiri. Nanti jika Ileana sudah agak tenang, barulah Nevan beri pundaknya.

One Man Million FeelingsWhere stories live. Discover now