Chapter 37

11 11 0
                                    




◇◇◇



Ileana menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menutupi tangis yang meledak-ledak. "Aku gak maksud untuk ngancurin hubungan kamu sama Dylan, Lea." Sesal Nevan dengan suara yang berupa gumaman. Hatinya remuk melihat bagaimana hancurnya Ileana di hadapannya saat ini. Namun tak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan gadis itu.

"Enggak," setelah di rasa air matanya tak akan mengalir lagi, Ileana menjauhkan tangannya dari wajah, menyeka buliran bening di mata menggunakan sapu tangan ungu muda yang Nevan beri. "hubungan aku sama dia gak pernah berjalan mulus asal kamu tahu. Dan mungkin ini arti semuanya. Mungkin juga ini peringatan tegas kalau aku harus berhenti." Ileana mengatupkan kelopak matanya sejenak, berusaha menahan desakan cairan di sana. "Makasih banyak, Van… kamu udah berkorban banyak untuk aku, untuk kasus ini. Aku cuma tinggal bikin laporan dan nunggu persidangan sekarang."

"Sama-sama, Lea. Aku bakal selalu dukung kamu. Aku juga udah minta bantuan Kak Helki untuk bimbing kamu nyelesaiin kasus ini. Dia juga bakal bantu kamu." Matanya yang membengkak tampak semakin kecil saat Ileana tersenyum. Air mata kembali menggenang dalam kelopaknya kala hazelnya bertemu dengan obsidian Nevan. Tatapan tulus Nevan membuat Ileana menunduk, kembali membiarkan air mata menguasai diri. Bahkan Nevan meminta kakak sepupunya untuk membantu Ileana menyelesaikan masalah ini. Ileana tak pernah berpikir bahwa Nevan akan bertindak hingga sejauh ini demi dirinya. Sekarang Ileana sadar, bukan Dylan yang ia butuhkan, tapi Nevan, sahabat kecilnya yang selalu ada untuknya bagaimana pun situasinya. Ileana menyesal sekarang karena sempat abai pada Nevan semenjak Dylan masuk ke dalam hidupnya.

Nevan berpindah posisi duduk di sebelah Ileana, mengusap punggung tangan gadis itu yang saling mengepal di atas paha. "Aku selalu ada untuk kamu, Lea. Kamu bisa temuin aku kapan aja. Kamu bisa luapin semua yang kamu rasain sama aku. Aku selalu di sisi kamu." Bahu Ileana berguncang semakin kuat. Isakannya kembali mengisi udara. Air matanya kembali berjatuhan di atas paha.

"Makasih... makasih banyak, Van..." membiarkan air matanya terus berjatuhan, Ileana memilih beranjak pulang. Air matanya akan semakin sulit dikendalikan jika dia terlalu lama bersama Nevan. Karena penyesalan akan sikapnya terhadap Nevan akan terus menghantam hatinya jika mereka terlalu lama bersama - setidaknya untuk saat ini. "Aku pulang." Tanpa menunggu Dylan menjemputnya, Ileana segera keluar dari kedai kopi. Ia butuh ketenangan sekarang. Kepalanya terasa berdenyut setelah semua penjelasan dari Nevan ia terima. Banyak yang mengisi pikirannya kini.







Nyatanya, air mata itu tak dapat Ileana tahan. Cairan itu terus saja saling berpacu menyusuri pipi. Bahkan Ileana sudah menghapusnya berkali-kali, namun tak kunjung berhenti. Dan langkah tak bernyawa Ileana telah mengantarnya pada pemakaman umum di sudut kota. Tempat di mana ayah dan ibunya beristirahat panjang.

"Pa…" lirih Ileana. Kakinya terasa melemah menopang bobot tubuhnya, membuatnya luruh dan jatuh di samping gundukan tanah yang menampung jasad sang ayah. Tangisnya kembali pecah. Bahunya berguncang hebat. Ia menggenggam kuat batu tempat nama ayahnya terukir. Ileana menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala rasa sakit yang selama ini ia tahan sendiri. Yang membuat rasa sakit itu berlipat ganda setelah berita mengejutkan dari Nevan ia terima.

"Pa... maafin aku…

"Maaf aku terlambat…

"Maaf kalau aku terlalu lama untuk memperbaiki ini semua…

"Andai aja aku tahu lebih awal, Papa pasti gak akan berada di sini…

"Maafin aku, Pa… Aku bener-bener minta maaf…" Ileana tak bisa menahan air matanya lagi. Dia benar-benar melampiaskan seluruh tangisnya. Menangis hingga tersedu-sedu.

"Maaf…" desisnya lagi saat sosok lain terlintas dalam benak. Membuat air matanya semakin laju terjun bebas.

"Maafin aku karena udah mencintai orang yang salah…

"Maafin aku karena udah mencintai cucu dari orang yang udah bunuh Papa…

"Maafin aku, Pa…

"Aku…

"Aku bakal berhenti mencintai dia. Maafin aku…"



●●



"Lea!" Dylan berlari menghampiri Ileana begitu melihat perempuan yang ia cintai itu berjalan gontai di ujung koridor. Kecemasannya terhadap gadis itu terbayar sudah. Tanpa mengulur waktu langsung saja Dylan tenggelamkan tubuh mungil Ileana ke dalam dekapan eratnya, meluapkan kekhawatiran yang sejak tadi mengacaukan pikiran. Lalu ia tangkup wajah Ileana. Matanya membulat melihat wajah sembab gadis itu. Agaknya kekhawatiran Dylan belum terbayar sepenuhnya. Ia cemas karena gadis itu sejak tadi tidak bisa dihubungi. Ia juga sempat menjemput Ileana di Sweet Coffee, namun gadis itu tak lagi berada di sana. Dan kini dia mendapati adanya jejak air mata di wajah Ileana. Membuat kekhawatiran Dylan menumpuk semakin tinggi.

"Ada apa, Lea? Kamu kenapa?" Dylan bertanya lembut. Masih berusaha mengendalikan rasa gelisah yang mengendap di dada.

Ileana menyingkirkan tangan Dylan di wajahnya dengan lembut, memberanikan diri menatap lelaki yang setengah mati ia cintai tepat di mata. "Aku pengin kita akhiri semua ini." Ucapnya seraya menatap Dylan dalam. Dadanya mulai bergemuruh, sesak terasa penuh di sana. Kerutan di dahi Dylan tercetak, disusul tawa sumbangnya yang seakan dipaksa menertawakan hal tak lucu.

Dylan tersenyum hangat seperti biasa. Berusaha mengabaikan semuanya, terlebih kekacauan dalam kepala. "Kamu pasti capek. Kamu butuh istirahat. Kita masuk ke dalam, ayo." Satu tangan Dylan terulur untuk ia lingkarkan di bahu mungil Ileana, namun dengan segera Ileana menepis.

"Jangan pernah temui aku lagi. Pergilah. Tinggalin aku. Aku gak mau lihat kamu lagi, untuk selamanya." Ileana menunduk dalam, tak sanggup menatap Dylan. Bahkan air matanya sudah membuat penglihatannya memburam.

"Kenapa? Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa tiba-tiba kamu kayak gini? Apa yang salah, Lea?" Protes Dylan tidak terima. Matanya mulai memerah. Pengusiran dari Ileana berhasil menikam jantungnya, dadanya lekas dilingkupi rasa sesak.

Ileana lantas mendongak dengan cepat dan menatap Dylan tajam. Wajahnya sudah dibanjiri air mata. Dan air mata itu menetes semakin banyak kala manik jelaganya beradu dengan hazel samudera Dylan. Rasa sakit di hatinya seakan menganga semakin lebar. Terlebih kala mendapati ada luka dalam sorot lelaki di hadapannya. Ileana tidak menahan lukanya sendirian, Dylan juga merasakan luka yang sama. Ileana bisa menangkap itu dengan jelas.

"Semuanya salah, Dylan!" Serunya dengan suara bergetar. "Kamu dan aku, kita salah. Cinta ini juga salah. Gak seharusnya aku cinta sama kamu. Gak seharusnya aku…" Ileana kembali menunduk. Bahunya berguncang hebat. Bahkan air matanya jatuh ke lantai tempatnya berpijak.

Dylan menyentuh kedua bahu Ileana dengan lembut. Ia sedikit membungkuk agar bisa menatap wajah Ileana meski yang tampak di netranya kini hanya wajah buram gadis itu. "Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sama kamu, Lea? Kasih tahu aku. Jangan nyembunyiin sesuatu dari aku."

"Aku cuma pengin kita berhenti."

"Kenapa? Apa alasannya?"

"Kalau kamu berada di posisi aku, apa kamu sanggup untuk gak membenci diri kamu sendiri? Gak ada orang yang bisa nerima orang yang udah misahin dia dengan orang yang sangat dia sayangi."

"Maksudnya? Aku gak ngerti?" Tanya Dylan kebingungan. Dia masih belum menangkap arti ini semua, keanehan Ileana hari ini. Padahal tadi sebelum Dylan mengantarnya ke Sweet Coffee, Ileana tampak ceria seperti biasanya. Tapi mengapa sekarang gadis itu berbeda seratus delapan puluh derajat?

"Aku gak mau ketemu kamu lagi, untuk selamanya. Pergi. Lupain semua yang udah terjadi." Ileana mengambil langkah di sisi kanan Dylan, berjalan dengan tatapan lurus ke depan dan berusaha mati-matian tidak menoleh ke belakang, dengan air mata yang terus berjatuhan. Dylan terpaku, tak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya kacau memikirkan perubahan sikap Ileana yang begitu tiba-tiba. Hingga otaknya menangkap satu kesimpulan, dan Nevan ia jadikan keyword-nya. Ileana berubah setelah mengatakan ingin berbicara dengan Nevan. Nevan pasti ada di balik ini semua. Dia harus bertemu dengan lelaki itu.



◇◇◇

One Man Million FeelingsTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon