Chapter I : Attendance

69 16 6
                                    

     Tepat pukul enam sore, bandul pada jam kayu tua berdenting keras, bergema ke ujung lorong dan sudut tempat. Tampak empat pria, akhirnya tiba di pelataran istana sesuai tenggat waktu. Para pengawal pun siap siaga menuntun mereka masuk ke dalam kediaman sang raja. Dan tentu saja, tidak sembarang orang yang bisa memiliki akses tersebut. Dilihat dari pakaian modis ala abad-19 yang dikenakan oleh mereka, menandakan bahwa mereka bukanlah dari kalangan orang biasa.

     Di lain tempat, seseorang dengan terusan gaun hijau dan putih terlihat sangat elegan bila dipadu-padankan dengan sepasang anting berlian tak lupa rambut keriting keorenannya tersanggul rapi. Dia melangkah anggun menyusuri lorong istana. Hingga langkahnya terhenti. Lalu mengetuk pintu di hadapan, sesaat kemudian memasuki kamar besar setelah suara berat menyahut dari dalam.

     "Yang Mulia, saya mendengar kabar  bahwa anda ingin melakukan pertemuan bersama para anggota kerajaan. Apakah itu benar?" tandasnya. Berdiri di hadapan seseorang yang kini membelakanginya.

     "Virginia ... untuk ke sekian kali, jangan terlalu formal padaku jika berada di dalam kamar kita. Bisa?" keluh seseorang yang  berdiri menghadap langsung ke jendela kamar. Pria berambut hitam lurus dengan setelan jas kerajaan merah cerah itu berbalik badan. Kedua netra berwarna cokelat gelap menatap kedua netra di seberangnya  berwarna hijau cemerlang.

     Ratu Virginia menghela napas, lalu membungkuk badan sedikit "Kalau begitu. Sesuai permintaanmu, Darwin."

     Sementara Raja Darwin menggerutu, lalu menggeleng-geleng kepala. Beliau tidak habis pikir melihat sang istri melekatkan diri sepenuhnya pada etiket kerajaan. Sehingga membuat hidupnya cenderung kaku, tidak fleksibel. Apalagi ketika berada di kamar pribadi sekalipun. Raja Darwin mendesah pelan. Memakluminya.

     "Tadi, apa yang kau katakan, Virginia?"

     Kali ini, giliran Ratu Virginia mendesah. Entah sang suami tidak menyimak dari awal atau memang tuli seperti biasanya. Itu sudah jadi alasan mengapa Raja Darwin selalu mengutus salah seorang kepercayaan sebagai pendampingnya. Untuk berjaga-jaga kalau dia  sulit mendengarkan lagi.

     Sang ratu berkata, "Yang Mulia, apakah benar anda akan melakukan pertemuan dengan para bangsawan?"

     "Benar. Memangnya kenapa?"

     "Saya telah mendapatkan undangan dari Duchess Eliza Hekkins, untuk menghadiri perjamuan teh malam ini di kediamannya, Yang Mulia. Jadi, saya tidak bisa menyambut kedatangan mereka ke istana apalagi sekadar berbincang."

     Sang raja mengernyitkan dahi. "Benarkah? Istri Duke Mark Hekkins mengundangmu?" Ratu Virginia mengangguk.

     "Padahal aku juga mengundang beliau ke istana. Tidak tahu kalau istrinya mengundangmu kesana."

     Raja Darwin terkekeh renyah bila membayangkannya. Sementara Ratu Virginia memutar kedua bola matanya.

     Suara debum pintu pun terdengar. Memperlihatkan seorang pria muda berambut keriting  keorenan dengan setelan jas non resmi kerajaan yang berwarna biru pekat, melangkah santai menuju sepasang suami istri tersebut. Dia tersenyum manis kepada keduanya, hingga lekuk pada pipi terlihat sehingga menambah kadar ketampanan pria muda satu ini. Serta kedua netra hijaunya mengerling-ngerling.

     "Oh ... kemarilah jagoan ayah."

     Pria muda itu merekah bibir tinggi-tinggi. Lalu menyambut uluran lengan sang ayah dan kemudian berpelukan, menepuk punggung  satu sama lain. Setelahnya mereka berdua mengurai pelukan, lalu melakukan tos melalui kepalan tangan mereka masing-masing.

     "Charles, bagaimana dengan perjalananmu?"

     "Sangat menyenangkan, Ibu. Aku bisa melihat keindahan kerajaan Ackerley dari berbagai sisi."

Ackerley CaseWhere stories live. Discover now