Chapter III : A Big Responsibility

51 13 3
                                    

Pagi hari menjelang, langit terlihat sangat mendung. Sekumpulan awan abu-abu membentang luas dari utara hingga selatan. Angin timur berhembus kencang, cukup untuk menerbangkan dedaunan dan menumbangkan ranting pepohonan. Para bangsawan beserta antek-anteknya berkumpul di sebuah ladang rumput yang telah membentuk enam lubang persegi panjang. Tak ada satupun warna selain hitam yang dipergunakan. Di antara mereka tak ada yang tidak membawa payung. Semuanya sudah bersiap kalau hujan hendak menyapa.

Yang berdiri di baris terdepan adalah sang ratu sendiri, tentu ditemani kedua dayangnya. Dan salah satu di antaranya berusaha memayungi sang ratu. Kedua air mata Ratu Virginia tak henti-henti menetes begitu menelisik enam batu nisan secara bergiliran.

Sebuah batu nisan besar berdiri kokoh di antara lima batu nisan lain, bertuliskan King VII of Ackerley, Darwin Wallenscoot (1746-1801). Lalu di sebelahnya berdiri batu nisan putra penerus takhta, Prince of Ackerley, Charles Wallenscoot (1774-1801).

Dan diikuti empat batu nisan yang dimulai dari gelar tertinggi di bawah raja oleh Duke of Reakstone, Mark Hekkins (1744-1801). Marquis of Finlein, Rupert Quill (1745-1801). Count of Yorefall, Lennox Thompson (1744-1801). Kemudian diakhiri batu nisan yang bertuliskan Viscount of Nearvist, Sean Rudolf (1743-1801).

Lima keluarga yang tertinggalkan tidak luput menangisi masing-masing peti mati yang tengah diturunkan menggunakan tali oleh dua puluh empat sukarelawan istana. Nyaris keenam peti mati diturunkan dalam waktu bersamaan.

Suara gemuruh langit terus beriringan dengan tetesan hujan yang perlahan mengguyur selama proses upacara pemakaman. Sang pendeta yang berdiri di antara barisan-barisan bangsawan sedang melafalkan doa terhadap keenam pemimpin kerajaan Ackerley yang dikebumikan tersebut sampai saat dimana segala proses pemakaman berjalan lancar dan keenamnya sudah ditimbun tanah. Satu per satu di antara mereka mulai meninggalkan lokasi begitu hujan semakin menderas setiap detiknya.

Sementara Ratu Virginia masih berada di tempat bersama antek-anteknya. Dia termangu, menatap keenam gundukan tanah di hadapan sampai tanah itu menjadi becek, terkikis oleh air hujan. Dia juga merotasi ke sekeliling ladang rumput itu, berjejer juga batu nisan dari para raja, ratu, dan bangsawan terdahulu yang tak jauh dari keenam batu nisan tersebut.

Dia sejenak berpikir, bagaimana bisa keenamnya tewas dalam satu malam? Belum lagi semalam sang ratu mengumpulkan seluruh penjaga di istana dan bertanya apakah ada seseorang atau sekelompok orang yang memasuki istana.

Para penjaga yang menjaga di setiap sudut istana hanya bergeming, mereka semua tidak mengetahui jika ada yang berusaha menyerang anggota kerajaan terutama sang raja dan putra penerus takhta. Belum lagi kedua penjaga gerbang utama istana menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Dari situ, sang ratu memerintahkan mereka semua untuk menggandakan penjagaan istana bagian barat, timur, utara, dan selatan terutama pintu gerbang utama.

Ratu Virginia lantas berasumsi setibanya dia di istana setelah dari pemakaman.

Mungkinkah tewasnya mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Sang ratu membatin dengan tak karuan.

Sejak dua dini hari, Ratu Virginia terserang rasa gelisah ketika menulis surat untuk menyampaikan kepada bangsawan wanita tentang tewasnya suami mereka. Takut bagaimana respon yang diberikan oleh mereka.

Respon mereka lumayan beragam. Ada yang menanggapinya dengan serius, histeris dan juga meringis. Belum lagi salah salah satu di antara mereka menuntut keadilan dan berharap kepada sang ratu supaya kasus ini dapat dipecahkan.

Ratu Virginia terduduk lemas di sebuah sofa, di kamar pribadinya, wajah sang ratu terlihat begitu pucat dan kedua kelopak mata yang sedikit menghitam akibat mengatur segala prosesi pemakaman semalaman. Hingga kedua dayangnya memperhatikan sang ratu dengan prihatin.

Ackerley CaseWhere stories live. Discover now