2. Tidak Boleh Percaya

732 46 1
                                    

Reva sebenarnya sudah memiliki rencana. Ia akan pergi ke luar kota, tetapi sebelum itu dirinya akan meminta bantuan sahabatnya untuk mengaburkan jejaknya. Reva merasa sangat was-was. Sebab dirinya mengenal betul bagaimana sifat ayahnya. Saat mengetahui fakta bahwa dirinya melarikan diri, sudah dipastikan jika ayahnya pasti akan mencarinya dengan segala cara. Walaupun itu artinya ia harus menjungkirbalikkan kota ini.

Reva kini sudah tiba di depan flat kecil yang berada di perumahan padat penduduk. Ia pun mengetuk pintu flat tersebut dengan cukup keras sembari berkata, "Esther, ini aku. Apakah kau bisa membukakan pintunya? Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."

Tak lama, pintu rumah tersebut pun terbuka dengan celah kecil. Seakan-akan pemilik rumah yang membukakan pintu memang harus memeriksa terlebih dahulu. Apakah memang itu Reva yang ia kenal, atau bukan. Namun, saat sudah memastikan jika yang bertamu di dini hari tersebut memanglah Reva, Esther pun membuka pintu dan berkata, "Masuklah."

Tentu saja Reva masuk dan duduk di ruang keluarga yang hanya memiliki sedikit sekat untuk memisahkan dengan ruang makan dan dapur. Esther tidak segera bertanya, ia memilih untuk membuatkan minuman hangat dan menyajikannya untuk Reva. Setelah Reva meminumnya, saat itulah Esther pun bertanya, "Apa sekarang kau tengah melarikan diri?"

Esther pun melirik pada tas yang memang berada di samping Reva. Tentu saja Reva menghela napas sembari melepaskan topi yang ia kenakan sembari menjawab, "Seperti yang kau lihat. Aku tengah berada dalam usaha pelarian."

Esther terkekeh dan berkata, "Lihat, sudah kukatakan. Pada akhirnya, kau tidak tahan dan melarikan diri dari kedua orang tuamu."

Esther adalah salah satu sahabatnya di masa sekolah menengah dulu. Mereka juga berada di klub seni yang sama. Hanya saja, orang tua Reva tidak terlalu menyukai Esther. Perkara Esther tak lain adalah anak panti asuhan. Kedua orang tua Reva selalu menekankan bahwa Reva hanya boleh bergaul dengan kalangan menengah ke atas. Namun, Reva tidak bisa melakukan hal itu. Ia berteman akrab dengan siapa pun. Termasuk dengan Esther.

Bahkan bagi Reva, Esther adalah teman yang paling dekat dengannya. Sesekali Reva ke luar dari rumah untuk bersenang-senang dengan Esther secara sembunyi-sembunyi dari kedua orang tuanya. Reva sangat dekat dan mempercayai sahabatnya ini. Karena itulah, kali ini Reva datang untuk meminta bantuan dari Esther.

"Aku ingin meminta bantuanmu. Aku ingin pergi ke luar kota, tetapi aku ingin jejakku sama sekali tidak bisa ditemukan. Aku tidak ingin sampai kedua orangtuaku kembali menemukan keberadaanku," ucap Reva membuat Esther mengangguk.

"Aku akan membantumu. Tapi, kau tahu sendiri, pekerjaanku tidak menghasilkan banyak uang. Jadi, kau harus menyiapkan biaya transportasi dan biaya jasa tambahan yang mungkin muncul nantinya. Karena aku juga harus meminta bantuan dari temanku," ucap Esther membuat Reva yang mendengarnya mengangguk.

Reva mengeluarkan amplop tebal berisi uang tunai. Ia memang sudah mengambil uang tersebut dari simpanan di rumah sekaligus mengambil uang dari kartunya. Reva tahu jika dirinya perlu menyiapkan dana tunai selama pelarian. Penggunaan kartu hanya akan membuat pergerakannya bisa dibaca dan membuatnya bisa dengan lebih mudah tertangkap.

"Apa ini cukup?" tanya Reva mengeluarkan sejumlah uang hingga meletakkannya di hadapan Esther.

Esther tampak terkejut melihat sejumlah uang yang sudah diberikan oleh Reva. Ia pun bertanya pada Reva, "Kau membawa uang tunai sebanyak ini?"

Reva mengangguk. "Aku harus bersiap untuk menghadapi ayah dan ibuku. Aku tidak boleh meninggalkan jejak, karena itu hanya akan membawaku lebih cepat kembali ke dalam cengkraman mereka. Lalu, sekarang bagaimana? Apa aku bisa pergi sekarang juga?" tanya Reva.

Esther terdiam sejenak sebelum bertanya balik, "Apa kau sudah memastikan bahwa sebelumnya tidak ada yang mengikutimu hingga tempat ini? Lalu di mana kau menarik uang ini?"

"Tenang saja. Aku tidak meninggalkan jejak, aku juga mengambil uangnya dari tempat yang jauh. Jadi, aku yakin jika pun berusaha untuk mencariku, mereka pasti memerlukan waktu yang cukup lama," jawab Reva.

Esther mengangguk mengerti. Ia pun mengambil uang yang diberikan oleh Reva dan berkata, "Kalau begitu, mari pergi besok malam. Aku tidak bisa membantumu sekarang juga. Saat ini tinggal menghitung jam hingga fajar menjelang. Akan terlalu berbahaya jika kita bergerak di siang hari. Aku juga perlu menyiapkan semuanya dan meminta bantuan temanku."

"Aku mengerti. Maaf aku harus merepotkanmu," ucap Reva.

Esther melambaikan tangannya dan berkata, "Tidak perlu sungkan. Kau bisa masuk ke kamar yang satunya. Kau bisa beristirahat, atau makan apa pun yang ada di dapur. Kebetulan aku memang sudah bebelanja. Aku permisi dulu, aku harus menghubungi temanku."

Setelah memastikan jika Reva masuk ke dalam ruangannya, maka Esther juga masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia menghubungi seseorang sembari membuka jendela kamar dan menyesap rokok yang baru saja ia bakar. Saat sambungan telepon terhubung, Esther pun menyeringai membuat dirinya tampak mencurigakan. Lalu dirinya pun berkata, "Aku memiliki pekerjaan untukmu."

***

Hari berganti, dan kini malam pun sudah kembali tiba. Tentu saja sesuai dengan apa yang disepakati dan direncanakan, kini Reva tengah bersama dengan Esther untuk pergi menuju tempat di mana Reva bisa melakukan perjalanan ke luar kota tanpa meninggalkan jejak. Namun, entah mengapa Reva merasa tidak nyaman dan gelisah ketika mobil yang dikemudikan oleh Esther mulai memasuki area yang gelap.

"Kau yakin ini jalannya?" tanya Reva.

Esther yang mengemudi mengangguk dan tersenyum tipis. "Tidak perlu gelisah. Sudah kukatakan aku akan membantumu agar tidak bisa ditemukan oleh kedua orangtuamu itu," ucap Esther.

Lalu mobil pun tiba-tiba memasuki area perumahan yang belum sepenuhnya jadi, dan perasaan Reva semakin tidak enak. Terlebih ketika Esther tiba-tiba turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Reva. Esther berkata, "Turunlah."

Reva sempat ragu. Namun, pada akhirnya ia turun dari mobil. Hanya saja, baru dirinya berdiri dengan tegap, seseorang sudah lebih dulu menutup pandangan Reva denga sebuah kain. Atau tepatnya, seperti kantung kain hitam yang menutup kepalanya sepenuhnya. Tentu saja Reva memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri. Sayangnya, Reva sama sekali tidak bisa melakukannya.

"Esther, sebenarnya apa yang terjadi?! Apa yang tengah kau lakukan?" tanya Reva panik. Terlebih ketika dirinya merasa jika saat ini kedua tangannya dicekal, dan usahanya untuk memberontak benar-benar ditahan. Ada dua orang yang tengah berdiri di sisinya, tetapi karena pandangannya yang tertutup sepenuhnya, membuatnya tidak bisa melihat siapakah orang yang sudah menahannya.

Tentu saja situasi tersebut membuat Reva semakin takut dan panik. Pandangan gelapnya saat ini meningkatkan rasa takutnya ke titik yang paling ekstrim. Di tengah ketakutan Reva tersebut, terdengar suara tawa Esther yang penuh dengan ejekan. Reva tentu saja menegang dibuatnya. Lalu Esther pun berkata, "Kurasa aku tau kenapa orang tuamu sangat mengekangmu, Reva. Karena kau terlalu bodoh. Seharusnya kau tidak terlalu percaya pada orang lain. Sekali pun kalian sudah mengenal dari lama."

Reva pun merasakan rambutnya dijambak, dan ia bisa menebak bahwa pelakunya tak lain adalah Esther. Benar saja, karena sesaat kemudian Reva mendengar bisikan Esther yang berkata, "Di masa lalu, kedua orangtuamu pernah menghinaku. Maka, kini kau yang harus membayar penghinaan itu, Reva. Akan kubuat kau menjadi orang hina yang berkubang dalam hal yang menjijikan."

Seratus Hari Bersama Pria SeksiWhere stories live. Discover now