PROLOG

532 14 0
                                    

SORE hari di sebuah pemakaman yang ada di Jakarta Selatan, seorang gadis kecil menatap ke sekeliling dengan pandangan heran sambil mencengkeram kotak musik di tangannya, dan tertunduk. "Ayah pernah bilang kalau aku nggak boleh nangis. Tapi kenapa semua orang menangis di depanku?" gerutunya polos. Melihat ke sebuah makam yang berjarak tak lebih dari satu meter, ia kini melihat anak laki-laki yang berdiri tepat di samping seorang pria yang memakai kacamata hitam dan pakaian dengan warna senada.

Anak laki-laki itu tak bergeming. Raut wajahnya terlihat sangat sedih. Aurora yang duduk tak jauh dari keberadaan anak itu juga terlihat murung. Ia benar-benar bingung ketika melihat pria itu tengah menaburkan bunga melati dan menaruh beberapa sedap malam di salah satu pemakamanan yang telah dipenuhi oleh beberapa buket bunga duka.

Anak itu nggak membalas tatapan Aurora, nggak menjawab pertanyaannya, hanya sesenggukan, dan membuang mukanya ke arah lain. Sepertinya anak laki-laki itu juga sudah kehabisan kata-kata. Keheningan menyelimuti tubuh mereka yang mulai kedinginan karena hembusan angin yang cukup kencang hari ini. Rintik demi rintik air memang sudah mulai menyentuh kulitnya yang halus dan putih. Namun, rasanya ia merasa lebih tenang berada di samping gadis kecil itu. Di antara kerumunan orang-orang, ia benar-benar ingin terus berada di dekatnya.

Dari jauh, Aurora melihat Om dan Tantenya menghampirinya tergesa-gesa dengan diselimuti raut wajah yang khawatir sekali.

"Aurora. Ternyata kamu di sini," seru Tante Shakila seraya menatapnya dengan cemas dan memegang kedua bahunya. "Om dan Tante sudah nunggu di depan dari tadi. Kami kira kamu sudah naik ke mobil. Kita pulang yuk?"

Aurora mengangkat tubuhnya dan melihat Om serta Tantenya dengan wajah bingung dan heran. Karena wajah mereka terlihat sangat terpukul dan nggak ceria seperti biasanya setelah mereka terlihat berbicara dengan seorang wanita yang berpenampilan cukup elegan dan memakai topi rotan hitam yang sangat besar. Sayangnya ia sulit sekali melihat wajahnya dari kejauhan.

Om dan Tante kini saling pandang, lalu kembali melihat Aurora yang sedang serius menatapnya penuh tanya.

"Aurora," sahut Tante Shakila dengan suara getir dan langsung memeluknya erat.

Aurora tersentak dengan raut wajah semakin penasaran.

"Untuk sementara, kamu tinggal di rumah Om dan Tante yah?" tutur Tante Shakila.

"Memang Ayah aku ke mana, Tante?" tanya Aurora dengan dahi mengernyit. Mengingat setelah ia pulang sekolah ia langsung dijemput untuk pergi ke tempat ini.

Om dan Tante saling berpandangan karena mereka memang nggak bisa mengajak Aurora ke pemakaman ayahnya yang begitu mendadak tanpa informasi apa pun. Gadis kecil itu masih di rumah saat kecelakaan beberapa  hari lalu merenggut nyawa ayahnya. Pihak kepolisian mengatakan kalau kejadian itu murni kecelakaan lalu lintas. Beberapa dokter juga telah mencoba untuk menyelamatkannya di rumah sakit.

Kini mereka hanya bisa memasang raut wajah yang tampak terluka dan sedih.

"Ayah Aurora sudah ikut ibu pergi ke surga," jawab Om.

"Ke Surga?" Aurora syok. Ayah dan ibunya pernah bercerita kalau surga adalah tempat di mana semua orang berkumpul dengan bahagia setelah pergi dari dunia yang telah mereka singgahi. Apa alasan ayah nggak mau mengajaknya ke surga juga? Kenapa mereka selalu pergi tanpa meminta ijin padanya? Aurora bertanya-tanya sedih mendengar jawaban Om dan Tante. Matanya mulai berkaca-kaca.

Om hanya mengangguk. Tante yang kesulitan menahan sedih langsung mengusap air matanya dengan cepat dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Mereka tahu kalau gadis kecil itu akan sangat terpukul ketika harus menerima kenyataan pahit ini.

Saat Aurora mulai mengerti maksudnya, seketika ia menatap keduanya dengan tatapan nanar. Tangan kanannya yang masih memegang kotak musik pemberian ayahnya mulai sedikit bergetar namun ia berusaha mencengkeramnya lebih erat sebelum terjatuh.

Melihat reaksi Aurora, Om dan Tante Shakila menunduk dengan hati yang terkoyak parah. Mereka terkesiap dan langsung memeluk keponakan mereka itu sebelum mereka sulit menahan air matanya yang ingin jatuh bersamaan dengan harapan dan impian indah kedua orangtuanya.

Anak laki-laki yang masih berdiri di samping Aurora hanya bisa menatap cahaya mata Aurora terbenam dalam kesedihan. Ada ganjalan di dalam hati kecilnya saat melihat gadis kecil itu. Hingga tanpa sadar ia ikut merasakan hatinya tersayat.

Cklik! Suara kotak musik dibuka. Anak laki-laki itu tersentak dan menoleh ketika gadis kecil itu tiba-tiba memberikan kotak musik itu sambil melukiskan senyum getir di bibirnya. Musik dari kotak itu sungguh menenangkan. Lembut. Dan manis. Ia terhanyut dan seketika kegundahan dalam hatinya tersapu oleh indahnya lantunan kotak musik itu.

"Untuk kamu," ujar Aurora sambil terus menghela napasnya dan mengukir senyum yang lebih manis. Ia merasa nggak perlu lagi menjaga kotak musik itu karena ayahnya sudah pergi. Dulu, ayahnya pernah berpesan kalau ia bisa memberikan kotak musik itu pada siapa pun yang membutuhkannya. "Kamu bisa mendengar musiknya kalau kamu lagi sedih. Kata ayahku, aku nggak bolehsedih. Karena kalau sedih, aku nggak bisa jadi penyanyi. Hehe... Seandainya aku nggak nangis dan makan es krim semalam, aku bisa nyanyi biar kamu nggak sedih lagi. Sekarang kamu dengar musik ini aja ya?"

Om dan Tante Shakila hanya terpaku heran melihat kebaikan Aurora, lalu tersenyum. "Aurora sayang, tante juga punya kado lho untuk kamu. Hari ini kan kamu ulangtahun... Kita pulang yuk?"

Aurora tak menggubris ucapan Tante Shakila karena ia masih melihat reaksi anak laki-laki itu dengan penasaran. Wajahnya yang murung memang sedikit berubah ketika dia mendengarkan alunan musik dari kotak musik itu, tapi bibirnya seakan masih terkunci rapat. Tak lama, kedekatan mereka berakhir ketika dua orang berseragam polisi dan seorang pria dengan wajah yang memiliki rahang cukup tegas itu mendekatinya.

"Hei, ikut Papa," sahut pria itu menegaskan. Nada suaranya terdengar tinggi dan dingin.

Saat beranjak dan berjalan di sisi pria itu, anak laki-laki itu melihat bulir air mata gadis kecil itu kembali menetes ke pipinya. Dalam sekejap gadis itu membuat hatinya terasa perih sekali. Ingin rasanya waktu benar-benar berhenti. Ingin rasanya ia menghentikan langkahnya dan kembali ke sana walau hanya sekadar menanyakan nama gadis kecil itu. Tapi semua masalah ini sungguh menyesakkan dada. Ia nggak akan bisa tinggal di dekatnya. Selamanya. Mungkin selamanya mereka memang nggak ditakdirkan untuk bertemu lagi. Ia hanyalah orang asing yang kebetulan saja bertemu dengan gadis kecil itu, pikirannya pun mengawang dan terpendam sepanjang jalan pulang.

AurorabiliaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz