2 - Gitarku, Kamu, & Dia

163 6 0
                                    

Jalan Gandaria, Jakarta Selatan.


Jrengggg... Jrenggg...

BUNYI senar gitar yang dipetik Aurora terdengar hingga ke pejalan kaki di sepanjang jalan Gandaria. Beberapa kali ia menyapa orang-orang yang hendak melewatinya dengan anggukan kepalanya. Karena ia tengah memainkan sebuah lagu di depan orang-orang yang tengah nongkrong dan makan bubur di sebuah warung tenda pinggir jalan.

Aurora sudah memakai T-shirt hitam dengan dibalut kardigan abu-abu muda, rok hitam selutut, serta menambahkan sedikit aksesoris kalung berliontin kayu berbentuk gitar, kaus kaki hitam selutut, dan sepatu kets sekolahnya. Ia sesekali tersenyum saat menyanyikan beberapa bait lirik dari lagu "A Part of Me", yang dinyanyikan oleh Alexandre –salah satu penyanyi terkenal yang cukup dikenal di Jakarta. Namun, ia menyanyikannya dalam bahasa Indonesia hingga orang-orang yang mendengarnya ikut menikmati suaranya yang merdu. Bahkan mereka nggak segan-segan untuk memberikan uang receh dan pecahan besar.

Setelah Aurora selesai bernyanyi, beberapa orang terpukau dengan suaranya. Ia pun beranjak dari kafe tenda itu setelah mendapatkan uang di dalam tas kecilnya. Rasanya sudah cukup untuk malam ini. Jam di pergelangan tangan kanannya sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Namun, sebelum ia menunggu angkutan umum datang ada seorang laki-laki yang menghampirinya sambil tersenyum.

"Hai..."

Aurora sempat tertegun. "Ya? Hai..." sapanya sambil sejenak menatapnya. Wajahnya tipikal blasteran Asia dengan kulit putih, halus, dan terawat. Tingginya sekitar 170 cm. Melihat laki-laki itu sudah menyampirkan blazer hitamnya di lengan dan menyisakan kemeja putih, celana hitam, dan pantofel hitam di tubuhnya, ia sedikit heran. Meskipun terlihat sedikit urakan, penampilannya lebih mirip pengusaha yang sukses dan tampan. Ia sempat melihat laki-laki itu makan bubur di tenda tadi.

"Boleh kenalan?" Laki-laki itu tersenyum lebar. "Aku tahu kamu pasti lagi mengira kenapa laki-laki sepertiku mau makan di pinggir jalan. Ya, kan?" tanya laki-laki itu seolah ia sedikit memahami pemikiran Aurora.

Aurora menggeleng cepat, tak enak hati. "Sebenarnya di sekitar sini ada restoran yang lebih enak dibanding makan bubur ayam di kafe tenda tadi."

Laki-laki itu tertawa kecil dengan suara renyahnya. "Ada. Tapi kamu percaya nggak kalau aku belum pernah makan bubur di pinggir jalan? Ternyata rasanya enak juga."

Aurora meringis kecil sambil menatap laki-laki itu dengan raut wajah herannya. Ini kali pertama ia bertemu laki-laki yang tampan, tapi begitu supel dan lucu.

"Oh ya. Sebelum aku dianggap orang yang bukan-bukan karena tiba-tiba langsung ngajak kamu ngobrol, apa aku boleh tahu nama kamu?" tanya laki-laki itu dengan raut muka ramahnya. Alisnya yang sedikit berbentuk seperti bulan sabit pun terangkat sebelah.

Terus terang, menurut Aurora senyumnya terlihat manis sekali dan tak ada sedikit pun guratan-guratan kecil di wajahnya. Sepintas ia hanya mengikuti kata hatinya dan mengangguk.

"Grey." Laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil mengukir senyum di bibirnya.

"Aurora."

"Aurora?" Grey tertegun sejenak sebelum ia mengembangkan seulas senyum lagi. "Nama kamu seperti suara kamu. Bagus."

Aurora mulai kikuk mendengar pujiannya. "Makasih...."

Grey tampak berpikir sejenak, sebelum ia kembali mengutarakan apa yang ada dalam benaknya setelah ia melihat dan mendengar suara Aurora sebelumnya. "Berhubung kita sudah bertemu, aku rasa harus segera memberi kabar baik untukmu. Ini..."

Aurora menatap Grey dengan sorot mata penasaran. Tapi laki-laki itu langsung menyodorkan sebuah kartu nama ke tangannya, lalu tersenyum kembali.

Tin! Tiinnn!

Tak lama kemudian, sebuah sedan Mercedes tiba-tiba berhenti dan mengejutkan mereka dengan suara klakson itu. Setelah kaca jendela mobilnya terbuka, pengendara itu membuka kacamata sunglasses birunya dan menatap keduanya dengan raut wajah yang begitu dingin.

"Apa kalian nggak dengar? Minggir!" serunya datar tapi cukup ketus terdengar di telinga Aurora dan Grey.

Aurora tersentak mendengar ketusnya suara laki-laki itu. Ia tahu ada apartemen di belakang mereka. Tapi mereka nggak tahu ada mobil yang berhenti di dekat posisi mereka sekarang. Suara mesin mobil mewahnya itu memang terlalu halus, mereka jadi nggak mendengarnya. "Heh..."

Grey sendiri baru menyadari kalau mereka telah berdiri di depan pintu masuk apartemen Barito itu. "Aurora..." tangannya sontak cepat menahan lengan gadis itu karena ia melihat amarahnya ingin meletup. "Sori, bro..."

Laki-laki di mobil itu mengalihkan pandangannya ke arah Aurora sejenak –masih dengan raut wajahnya yang sama sekali tak bersahabat, sebelum ia kembali memakai kacamatanya, menutup jendela kaca mobilnya, dan melajukan mobilnya masuk ke apartemen itu.

Kalau saja Aurora memakai baju biasa dan tak membawa nama sekolahnya yang terlihat dari seragamnya, ia pasti sudah membentak laki-laki itu. Dengan melihat sikapnya yang melangit, ia lebih baik menyemburnya dengan kata-kata pedas daripada terpaksa mengikuti langkah Grey untuk menepi dari halaman pintu masuk apartemen itu. Sekilas ia sungguh tak menyukai laki-laki itu sebesar apapun wibawa yang terlihat dari penampilannya.

"Aurora, aku harap kamu mau meneleponnya."

Aurora tersentak dan menoleh kembali dengan sedikit senyum saat sekilas membaca kartu nama itu. "Oh... Ini...?"

"Menurutku, suara kamu terlalu indah untuk menyanyi di sekitar sini. Apa kita boleh bertukar nomer hp?" tanya Grey sambil mengukirkan seulas senyumnya. "Kamu bisa menghubungiku kalau kamu bersedia. Oke?

Setelah berpikir sejenak, Aurora pun mengangguk sambil membalas senyuman Grey. Mungkin karena wajahnya yang manis dan juga sikapnya yang ramah, ia mau menaruh rasa percayanya pada laki-laki itu. Emosinya karena laki-laki angkuh dan galak tadi seketika menguap begitu saja karena senyum ramah Grey.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now