4 - Dia dan Terapi Pertama

131 7 0
                                    


Rumah Sakit Cipta Harapan, Jakarta Timur...


NGGAK ada pilihan yang lebih baik selain mengikuti saran dokter untuk menjalani terapi cuci darah. Ya. Aku sudah berusaha menerima kenyataan pahit ini. Tubuhku benar-benar terasa lebih segar setelah terapi. Aku nggak bisa lagi menganggapnya seperti hari-hari biasanya, gumam Aurora membatin.

Biasa? Aurora mencelos geli dengan kata itu. Karena hidupnya memang sudah berubah. Pulang sekolah, ia sudah memenuhi janjinya untuk bertemu Dokter Ardhan kembali di rumah sakit dan mulai menjalani terapi cuci darah pertamanya. Darahnya sudah mengalir melalui selang dialiser dari dan ke pergelangan tangannya sejak beberapa menit yang lalu.

Aurora hanya tahu terapi ini bisa mengeluarkan racun yang nggak bisa dikeluarkan oleh kedua ginjalnya yang sudah nggak berfungsi dengan baik. Hidupnya sudah bergantung pada selang-selang kecil dialiser yang bisa mencuci darahnya sebelum darah yang masuk ke mesin kembali dimasukkan ke tubuhnya. Tak heran ia seringkali merasa mual jika hasil pemeriksaan kreatinnya sedang naik karena pola makannya yang tidak benar.

Walausudah menelan waktu sekitar empat sampai enam jam, ia hanya bisa menjalaninya dengan sabar. Selama proses terapi, ia juga masih bisa mengerjakan PR perlahan-lahan atau menonton televisi dari tempat tidurnya.

Menurut dokter spesialisnya, nggak ada yang perlu dikhawatirkan selama Aurora menjalaninya dua kali dalam seminggu. Jadi, ia merasa Om Garra dan Tante Shakila nggak perlu tahu tentang penyakitnya ini. Mereka bisa semakin stres ketika mendengarnya.

Aurora ingin mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri, karena tabungannya untuk membayar uang sekolah bulan depan masih bisa ia gunakan lebih dulu demi ruang VIP terapi hemodialisa ini. Untung saja ia menemukan rumah sakit yang harga ruang VIP-nya nggakterlalu mahal. Ia nggak sanggup melihat darah orang lain di ruangan yang sama. Lagipula ia masih bisa menghubungi Grey untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Ianggak perlu khawatir untuk hari pertama ini.

Karena awalnya, Auroramemang takut sekali untuk melihat ruangan ini. Mesin penuh selang kecil yangmenjuntai dan akan mengalirkan darahnya yang merah pekat sudah membuat hatinya cukupgentar. Namun, ia sudah memberanikan diri untuk menjalani terapi hemodialisa ini sendiri dan menolak Milla untuk menemaninya. Lagi pula dia ada kursus bimbingan belajar yang nggak bisa ditinggal.

Meskipun Aurora tahu kegagalan fungsi ginjalnya nggak bisa disembuhkan hanya dengan terapi ini, paling nggak rasa sakitnya akan berkurang dan usianya bisa lebih lama jika ia menggunakan mesin dialisa ini selamanya. Ini satu-satunya jalan untuk mengatasi ginjalnya yang bermasalah. Ia hanya perlu percaya, yakin, dan teratur menjalani perawatan ini.

Aurora sudah mencoba berdamai dengan keadaannya ini. Setelah ia selesai menjalani terapi, ia bisa menatap mini chocolate tart yang sudah ia beli sebelum datang ke rumah sakit ini, dan segera memotong kue itu sedikit dengan sendoknya. Ia ingin sejenak beristirahat di ruangan ini sebelum pulang ke rumah.

Kata orang, hidup itu harus dinikmati. Tapi ini akan jadi hari terakhir aku melanggar pola makanku, pikir Aurora dalam hati. Warna kue cokelat di dalam kotak kecil itu sudah membuat matanya berbinar-binar. Tak salah jika ia menggunakan sedikit tabungannya untuk membeli kue ini dan menikmati suapan pertama sepotong kue itu.

Dari kecil, Aurora memang sudah suka sekali makan kue tar bersama ayahnya. Ia selalu merindukan masa-masa itu. Tapi sayangnya, ini akan jadi kali terakhirnya ia memakan makanan manis yang tinggi gula ini. Batinnya ingin sekali menolak untuk mengeluh, tapi cobaan ini benar-benar berat.

Aurora sungguh nggak ingin kehilangan masa-masa remajanya yang indah hanya untuk terdampar di rumah sakit terus menerus. Uang tabungannya juga nggak cukup banyak untuk membayar biaya perawatannya. Ia harus sembuh secepatnya! Ia pasti bisa! Walau keyakinan itu terasa mustahil kalau ia nggak bisa menemukan mesin uang dan mendapatkan pendonor ginjal yang tepat untuk pengganti kedua ginjalnya, ia ingin memegang harapan itu.

Sambil menatap senyum ayahnya di selembar foto yang baru Aurora keluarkan dari saku baju rumah sakit, ia tersenyum penuh rindu. "Jangan khawatir, Yah. Aku akan bertahan dan hidup lebih lama dari yang ayah kira," sahutnya sambil menahan pedih perasaannya. Ia terus bicara sama kue tar dan foto ayahnya sebelum tiba-tiba pintu ruangannya terbuka.

Brak!

Aurora tersentak ketika pintu ruangannya ditutup lagi oleh seorang laki-laki yang sudah masuk ke ruangannya. Sorot matanya terlihat dingin sekali, juga sedikit khawatir. Karena jari telunjuk laki-laki itu sudah menempel ke bibirnya seolah dia ingin menyuruhnya untuk diam saat tubuhnya merapat di dinding pintu.

Untuk beberapa saat, laki-laki itu berdiri tanpa mengubah posisinya dan mengatur napasnya yang sedikit terengah-engah.

Aurora hanya bisa mengerjap heran melihat sikap aneh laki-laki itu. Apa-apaan cowok ini? Apa dia mau buat jantungku copot di sini! Sebelum pikirannya berubah negatif, sejenak ia melihat plat nama kecil di baju birunya yang dibuat khusus untuk pasien rumah sakit ini. Jonas Erlangga. Oh, pasien juga, pikirnya sedikit lega. Tapi ketika melihat wajahnya, sejenak benaknya langsung mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu laki-laki ini.

Aurora sungguh yakin pernah melihatnya. Sembari terus memerhatikan, ia sedikit heran. Tubuhnya mungkin sekitar 180 cm. Tinggi sekali, pikirnya. Rambutnya pun di-spike seperti pucuk nanas.

Dahi Aurora mulai mengernyit. Wajahnya sedikit familiar dalam ingatanku. Apa kami pernah bertemu sebelumnya? Nggak. Aku belum pernah melihatnya. Lagi pula aku nggak punya teman bernama Jonas... Ah! Tunggu! Sepertinya aku pernah melihatnya waktu bertemu Grey di pinggir jalan, ingatnya cepat. Ya Tuhan! Aku nggak mau melihatnya lagi, apalagi harus bertatap muka dalam keadaan seperti ini.

"Heh, lo ngapain sih?" tanya Aurora akhirnya dengan nada sedikit ketus dan mengejutkan Jonas. Ia sempat hampir menahan tawanya melihat ekspresinya yang sedikit lucu saat terkejut mendengar lengkingan suaranya dalam ruangan kecil ini.

Jonas sejenak melihat ke lantai seraya menyentuh dadanya yang masih sedikit berdebar karena ia baru sadar gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang terurai bebas di kedua sisi wajahnya dan tengah bersandar di ranjang. Ia melihat sendok kue cake cokelat dimulutnya.

Menunggu reaksi Jonas, Aurora hanya bisa menatapnya dengan emosi tertahan.

Setelah Jonas kembali melirik ke arah jendela kaca besar di sebelah pintu dan sekilas memerhatikan ruangan gadis itu, ia menghampiri satu-satunya ranjang tempat tidur yang terisi di ruangan itu. Sambil mendekatkan diri ke wajah gadis itu, ia meluruskan sorot matanya dengan tajam. "Kenapa? Keberatan? Kalau perlu gue beli rumah sakit ini jadi lo nggak bisa dirawat di sini!"

"Hah?" Aurora hampir tersedak dan buru-buru menelan sisa kue yang tersangkut di sendok kecilnya. Ia sungguh tersentak dan semakin ingin mencibir ketika mendengar kata-katanya. "Lo mimpi ya?" tanyanya nggak kalah heran.

Mata elang Jonas kini beralih pada plat nama di pakaian rumah sakit yang dikenakan Aurora, lalu ia kembali menatap wajah gadis itu dengan sorot mata yang masih dingin. Tanpa basa-basi, ia tiba-tiba mengambil kotak kue yang ada di ranjang, dan memakannya sedikit. "Apa ada masalah sama mata lo?"

Aurora mengerjap untuk memastikan matanya nggak bermasalah. Duh, cowok ini mau mengerjai aku ya? pikirnya dalam hati, tambah heran dan ia cepat-cepat menggeleng. "Nggak kok. Gue yakin bukan mata gue yang bermasalah. Jadi tolong kembalikan kuenya, please!"

Jonas menyunggingkan bibirnya dan membalas tatapan penuh kebencian yang dipancarkan dari mata Aurora. "Mulai detik ini, kue ini akan jadi milik gue!" serunya acuh tak acuh, lalu pergi seakan semuanya baik-baik saja.

"HEH! Sudah gila apa!?" Aurora bersungut sebal melihat Jonas berlalu seperti angin saja. "Apa dia benar-benar lagi menguji kesabaranku?" pekiknya makin emosi. Heran. Kesal. "Keterlaluan banget! Memangnya dia pikir dia siapa? Kayaknya dia bukan tipe orang yang nggak bisa beli kue sendiri. Apalagi sendoknya itu dari mulut gue... iuuh! Aneh banget sih dia! UGH!" Membayangkan laki-laki itu datang lagi saja sudah membuatnya marah begini. Apalagi dia benar-benar memakan kue yang sudah ia makan sedikit dan itu kue yang ingin sekali ia makan untuk terakhir kalinya. Sungguh terlalu!

AurorabiliaWhere stories live. Discover now