5 - Menerima Panggilan

95 8 0
                                    

Keesokan harinya, di SMA Bina Bangsa...


AURORA melihat ke sekeliling kantin dengan tatapan kosong. Selepas bel jam istirahat kedua berdering, sebagian anak sudah menghambur masuk ke kantin seperti baru saja mendapat kebahagiaan selepas penat yang berkepanjangan. Tapi perasaannya masih runyam setelah mengetahui kondisi tubuhnya. Ditambah bertemu dengan laki-laki aneh itu lagi, ia semakin nggak bisa tidur semalaman.

Milla yang melihatnya dari pintu kelas sudah langsung menyusulnya dan segera memesan nasi uduk serta bubur ayam untuk Aurora di kantin. Tapi sepanjang waktu, ia melihat Aurora seakan tak ingin bicara tentang apa pun. Keceriaannya mendadak hilang. "Ra, lo jadi terima kerjaan dari Grey, kan?" tanyanya penasaran. Sungguh ia jarang sekali melihat Aurora melamun seperti ini sebelum berita memilukan itu menghampiri hidup sahabatnya.

Saat melihat Aurora keluar dari kelasnya dengan tampang kuyu dan tak semangat, Milla hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Ia nggak mau melihat teman baiknya itu bersedih tentang hasil pemeriksaan kesehatannya. Menjadi pemilik penyakit yang nggak pernah disadarinya itu memang bukan keinginannya. Tapi ia yakin Aurora bisa melaluinya karena usianya masih muda sekali. Separah apapun, penyakitnya pasti bisa disembuhkan.

"Ra! Lo mikirin apa sih?" Milla kembali melahap suapan nasi uduk terakhirnya.

Aurora terhenyak. Sejak masuk kantin, ia memang hanya menatap bubur ayam di mangkuknya tanpa sedikit pun melahapnya. "Ya? Kenapa, Mil?"

Milla menelan kunyahannya dan menggeleng heran. "Ya, Allah! Mulut gue sampai berbusa dari tadi, Ra. Lo jadi nyanyi di kafe itu, kan? Si Grey gimana? Lo jadi telepon atau kirim pesan ke orang itu?" tanyanya sekali lagi.

"Astaga! Iya!" Aurora menepuk dahinya yang putih dan mulus tanpa jerawat atau flek hitam kecil. "Gue lupa!" serunya sambil langsung mengetik pesan ke Fargo.

"Mungkin nggak sih kalau Grey itu yang..."

"Terkirim, Mil!" Aurora menyelacepat. Uh! Ini gara-gara pertemuanku dengan Jonas tadi malam. Tak henti-henti rasa heran di kepalaku karena kue terakhirku bisa dimakan habis oleh laki-laki itu. Menyebalkan! Aku sudah bertekad untuk berhenti memakannya lagi dan membuat resiko sembuh dari penyakit ini berubah jadi nol persen. Tapi laki-laki itu malah mengambilnya.

"Ya ampun, Ra! Kenapa baru sekarang? Grey pasti nungguin kabarnya juga," seru Milla.

Aurora kembali tersentak dari lamunannya lagi. "Iya, Mil... Ini satu-satunya harapan gue buat berobat," ucapannya sontak mendapat anggukan kepala dari Milla. Ya.Dengan bantuan Grey, ia bisa menabung sedikit demi sedikit untuk biaya operasinya nanti. Itu pun ia lakukan kalau ada pasien yang cocok untuk menjadi pendonor ginjalnya, pikirnya penuh harap.

Setelahmengirim pesan untuk sekadar menyapa, ternyata Aurora langsung menerima jawabandari Fargo. Tapi kali ini ponselnya berdering. Cepat ia menelan ketakutannya seraya meyakinkan dirinya kalau ia bisa mengucapkan kata-kata yang tepat dan menerima teleponnya. "Selamat siang, Pak," sahut Aurora saat nada sambung berganti dengan lantunan musik yang sedikit hingar-bingar sebelum suara musiknya mengecil dan berganti dengan suara dehamanpria.

"Ya... Selamat siang," sapa seseorang di seberang telepon.

"Uhm... Dengan Pak Fargo?"

"Ya, betul..."

"Saya Aurora. Maaf mengganggu waktu Bapak sebentar. Kebetulan saya mendapat nomer ini dari kenalan Bapak yang bernama Grey..."

"Ohhh, yaaa... Dia sudah menghubungi saya. Katanya, kamu bisa menyanyi?"

Aurora mencelos lega karena sambutan Pak Fargo cukup baik. "Sedikit, Pak."

Suasana menjadi lebih hangat ketika tawa renyah Pak Fargo pecah. "Bagus dong! Saya malah nggak bisa nyanyi. Hehehe... Kalau begitu temui saya di Kafe One Music ya. Tahu alamatnya, kan?"

Aurora ingin ikut tertawa mendengar ucapan dan pujian Pak Fargo. Karena siapa yang belum tahu kafe One Music Café & Lounge pasti nggak suka makan di luar rumah. Tempat itu satu-satunya kafe elit yang dibuat dengan konsep live music yang selalu diisi oleh para artis dan musisi terkenal. "Iya, Pak. Saya tahu. Tapi maaf sebelumnya, saya belum pernah ke sana."

"Hahaha," Pak Fargo kembali tertawa, "Nggak apa-apa. Makanya nanti kamu juga tahu."

Aurora meringis. Sepertinya mudah sekali membuat laki-laki itu tertawa. Tapi itu lebih baik daripada ia bertemu dengan seseorang yang angkuh dan dingin untuk menjadi atasan atau rekannya. Entah kenapa wajah laki-laki menyebalkan itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya.

"Oke, Aurora... kira-kira kamu bisa datang hari apa? Kamu boleh nyanyi apa saja. Bebas... Kebetulan ada waktu setengah jam yang bisa kamu isi malam ini, gimana? Bisa datang?"

Aurora terhenyak dari lamunannya dan mengangguk semringah. "Eh, iya. Bisa, Pak!"

"Ok, saya tunggu ya."

"Baik, Pak. Terima kasih, Pak!"

"Iya, sama-sama. Tapi sebenarnya nggak perlu terima kasih sama saya. Karena saya cuma menyediakan kesempatan dan tempat untuk orang-orang berbakat nyanyi seperti kamu. Ya sudah, ya. Sampai ketemu. Bye!"

"Iya, Pak. Sampai ketemu."

Klik. Aurora memutus sambungan teleponnya.

"YES, YES, YEESSS!"

"Aduh, Milla!" sorakan heboh Milla sontak membuat Aurora terlonjak.

"Hehehehe... Sori. Gue terlalu excited soalnya! Hehe... Gue nggak nyangka akhirnya lo bisa nyanyi di kafe juga, Ra! Woohooo! Nanti gue ikut anterin ya... Sekalian cuci mata. Hehehe...."

"Terserah," sahut Aurora sambil tersenyum lebar.

Tak sengaja, dari kejauhan Novia dan teman-temannya terlihat penasaran, heran, dan nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

AurorabiliaWhere stories live. Discover now