12. Marah dan Peduli

589 41 7
                                    

Davit memilih pulang, pria itu memilih menunggu Lintang di rumah saja. Saat ini pria itu tengah duduk di ruang tamu dengan gelisah. Pikiran Davit masih terngiang-ngiang dengan ucapan Bayu yang mengatakan kalau Lintang hanya istri kontrak. Awalnya memang Davit selalu menegaskan kalau Lintang istri kontrak, tapi baru dua hari menikah ia tidak terima dengan status itu. Dan kesalahan terbesar Davit adalah memberitahu Bayu kalau ia menikah kontrak. Kini ia merasa terancam sendiri dengan keberadaan Bayu yang sangat gencar mendekati istrinya. 

Davit menghela napasnya dengan gusar, melirik jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Lintang tidak kunjung kembali. Sebagai suami, Davit merasa istrinya sudah ngelunjak. Dikasih tempat tinggal malah keluyuran, dikasih hati malah minta tai. 


Pria itu tanpa sadar menendang-nendang kaki meja dengan kesal. Ia kesal dengan Lintang yang tidak kunjung pulang, apalagi Lintang menerima jaket pemberian Bayu. Suara pintu terbuka mengagetkan Davit, Davit berdehem sebentar untuk menetralkan ekspresinya. 

Lintang datang seraya mengeratkan jaket yang tersampir asal di pundaknya, perempuan itu dengan lemas berjalan melewati Davit. 

“Dari mana?” tanya Davit dengan datar membuat Lintang berhenti melangkah. 

“Dari angkringan beli makanan,” jawab Lintang. 

“Ini jam berapa?” tanya Davit lagi. 

“Jam sembilan malam,” jawab Lintang. 

“Apa kamu pikir baik seorang wanita pulang jam segini? Kamu punya suami, sudah kewajiban kamu menjaga kehormatan suamimu untuk tidak keluyuran malam, meski pernikahan ini hanya pernikahan kontrak,” ucap Davit dengan marah.
 

“Dan jaket siapa yang kamu pakai? Apa menurutmu baik pakai jaket dari orang lain? Terlebih jaket seorang pria,” tambah Davit lagi. 


“Kok Pak Davit tahu ini jaket pria?” tanya Lintang. Davit gelagapan, pria itu segera berdiri dan mendekati Lintang. 

“Terlihat dari bentuknya,” jawab Davit menarik jaket yang disampirkan Lintang di tubuhnya. Davit membuang jaket itu dengan asal. Jaket mahal Bayu kini tergeletak dengan menyedihkan di lantai. 

“Sikap kamu ini salah, Lintang. Saya bilang kamu boodoh seharusnya kamu malah termotivasi dan belajar lebih giat agar nilai kamu bagus. Tapi yang kamu lakukan malah kabur dan ngambek gak jelas. Kamu pikir sikap kamu ini benar?” oceh Davit yang terus menyudutkan Lintang. 

“Yang bapak ucapkan itu tidak pantas dijadikan motivasi, karena itu sebuah penghinaan. Saya tahu kalau saya bodooh, saya juga tahu kalau saya ini menyusahkan. Pak Davit cukup bersabar selama dua bulan, setelah itu kita cerai. Kita akan kembali menjadi orang asing, Pak Davit dengan hidup Pak Davit sendiri, dan saya dengan hidup saya sendiri. Meski saya akan menyandang status janda setidaknya itu lebih baik daripada terjebak dengan orang kejam kayak Bapak,” ucap Lintang dengan berani. Perempuan itu segera melenggang pergi menuju kamarnya dan membanting pintunya dengan kencang. 

Davit mematung di tempatnya, bibir Davit terasa kelu sedangkan hatinya bagai diremas tangan tidak kasat mata saat mendengar penuturan Lintang. Bukan maksudnya menyakiti Lintang, tapi kelihatannya Lintang benar-benar sudah sakit hati. 


“Lintang!” panggil Davit menuju kamar Lintang. Namun sayang, kamar Lintang sudah terkunci rapat. 

Lintang menjatuhkan tubuhnya di ranjang, perempuan itu menenggelamkan kepalanya di bantal sembari terisak pelan. Tadi sebelum pulang, Lintang sudah membersihkan wajahnya agar Davit tidak tahu kalau ia baru menangis. Namun pulang ke rumah Davit ternyata bukan pilihan yang tepat. Bukannya keadaannya membaik, ia malah kembali sakit hati dengan ucapan Davit. Mungkin orang lain bisa menggunakan ucapan Davit sebagai motivasi, tapi tidak dengan Lintang. Lintang tidak bisa menggunakan kalimat hinaan untuk memotivasi dirinya. Perempuan itu semakin lama semakin kencang menangis. Lagi dan lagi ia harus menikmati jalan hidupnya yang tidak sejalan dengan indah seperti haluannya. Mengetahui kenyataan ia akan menjadi janda juga turut membuatnya sedih. Di umurnya yang ke dua puluh dua tahun, sudah banyak beban yang harus dia pikul. Ia pikir tinggal dengan Pak Davit membuatnya terbebas dari uang kos dan tidak akan membuatnya terlunta-lunta di jalanan, tapi kenyataannya hatinya lah yang harus ia paksa untuk kebal. 

Belah Duren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang