13. Duren Sawit

807 43 9
                                    

Hawa dingin menyelimuti pagi ini. Bau tanah basah juga tercium di indra penciuman Davit. Sayup-sayup Davit terbangun, saat menyadari dia tengah memeluk sesuatu, Davit segera terduduk. Matanya membulat sempurna saat menundukkan kepalanya melihat dirinya sendiri tengah telanjang dadaa. Pikiran Davit berkelana pada semalam, Davit ingat dirinya memang sengaja memeluk Lintang untuk membantu meredakan demam istrinya. Tangan Davit menempel di kening Lintang, pria itu menghela napasnya lega saat merasa tubuh Lintang tidak lagi demam.

Lintang menggeliat pelan, dengan secepat kilat Davit melompat dari ranjang serta menyambar bajunya dan lari tunggang langgang dari kamar Lintang sebelum Lintang benar-benar bangun. Davit tidak ingin dikira mengambil kesempatan dengan memeluk Lintang. 

Pria berumur tiga puluh tahun itu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sekaligus untuk menuntaskan sesuatu yang sudah seharusnya dituntaskan. Semalam adalah cobaan berat bagi Davit. Ibarat kucing kalau dikasih ikan asin, sudah pasti langsung disantap. Namun Davit tidak seperti kucing yang bisa langsung menyantap Lintang, karena ada batasan-batasan yang harus ia jaga. Meski begini, berhasil kelonin Lintang semalam membuat Davit mesam-mesem bak orang sinting. 

Sepanjang mandi, bibir Davit berkedut ingin tersenyum. Semalam tubuhnya hanya menempel dengan Lintang, tapi sudah membuat laju jantungnya bertalu-talu. Itu hanya menempel, apalagi kalau lebih. 

Davit menggosokkan sabun ke tubuhnya dengan setengah hati, karena ia sedikit tidak rela saat bekas pelukan Lintang hilang begitu saja. Setelah selesai mandi, Davit segera berganti paaian dan bergegas menuju ke dapur untuk memasakkan bubur. Meski mulutnya pedas, Davit masih punya sedikit perhatian untuk Lintang. 

Lintang terbangun dan segera duduk, perempuan itu merapikan selimutnya dan segera berdiri dengan sedikit tertatih. Baskom dan handuk di meja menarik perhatian Lintang, perempuan itu merasa tidak pernah mengambil dan membawa benda tersebut ke kamarnya. Lintang menarik selimutnya dan menciumnya, ia merasa aroma Pak Davit tertinggal di sana. 

Dengan tergesa-gesa Lintang keluar kamarnya, saat membukanya pun kamarnya tidak terkunci. Padahal Lintang yakin kalau semalam sudah menguncinya rapat.

“Pak Davit!” teriak Lintang memanggil Davit. 

“Di dapur,” jawab Davit yang juga berteriak. Lintang segera ke dapur, perempuan itu menatap tajam Pak Davit. 

“Pak Davit masuk ke kamar saya tanpa izin, ya?” tanya Lintang yang tepat sasaran. 

“Iya, saya mengompres tubuh kamu. Sekarang bagaimana? Sudah tidak demam?” tanya Davit yang mencoba sesantai mungkin. 

“Kalau hanya mengompres, kenapa selimut saya ada aroma Pak Davit? Pasti Pak Davit nyari-nyari kesempatan sama saya,” ucap Lintang menggebu-gebu.

“Saya nyari kesempatan sama kamu? Kamu gak salah bilang begitu?” tanya Davit. Lintang memalingkan wajahnya, perempuan itu segera mengambil gelas dan menuangkan air. Perempuan itu meneguknya dengan cepat.

“Pak Davit beneran gak ngapa-ngapain?” tanya Lintang lagi.
 
“Tidak, Lintang. Saya gak ngapa-ngapain. Saya mau minta maaf sama kamu soal ucapan saya semalam. Saya tahu saya keterlaluan, ini saya masakkan bubur buat kamu. Makan gih selagi hangat,” ucap Davit menyerahkan semangkuk bubur. Lintang menatap buburnya sebentar sebelum memutuskan untuk makan. Davit ikut duduk di depan Lintang, pria itu juga memakan bubur yang ia masak dengan kilat setelah dari kamar mandi. Setelah berpikir sangat lama, pada akhirnya Davit menyadari kecerobohannya yang mengatai Lintang dengan keterlaluan sampai membuat Lintang menangis semalam.

“Lintang, kamu mau maafin saya?” tanya Davit. Lintang sama sekali tidak mendengar kalimat tulus yang keluar dari bibir Davit. Cara minta maaf Davit seperti orang memaksa. Namun karena tidak mau berlarut-larut, Lintang pun menganggukkan kepalanya.

Belah Duren Where stories live. Discover now