Chapter 21

396 60 46
                                    

Justin berhasil.

Firasatnya tepat sasaran.

Ini sudah tiga hari semenjak kejadian itu. Setelah mengurung Benny pada pilihan yang sulit bagaikan hidup dan mati, dokter itu memutuskan untuk memilihnya. Benny tergiur oleh tawaran Justin yang lebih memuaskan dan menarik. Jadi tanpa ragu, ia pun mengajak Justin untuk melihat Shay yang masih terbaring tidak sadarkan diri di kamar tersembunyi dalam mansion itu.

Justin bahkan masih mengingat penjelasan panjang Benny mengenai kondisi Shay. Dan setiap kali mengingatnya, Justin merasa aliran darahnya mendidih. Pria itu kalut sekarang. Begitu marah dan ingin meledak. Rasanya ia ingin menuntaskan semuanya dengan segera. Lalu berusaha menyembuhkan Shay dengan perawatan terbaik hingga wanita itu bisa segera terbangun.

"Ada alasan lain hingga aku memutuskan untuk memilih Anda." ujar Benny kala itu.

Justin yang sempat terpaku beberapa detik saat meratapi kondisi Shay lantas menoleh, menatap Benny yang menunduk dengan raut gusar.

"Wanita ini mengalami kekerasan seksual yang parah." Benny berbisik putus asa, terdengar helaan yang berat dari suaranya. "Bahkan banyak luka yang tidak masuk akal di beberapa titik. Sejujurnya aku sudah muak menanganinya. Ini terlalu mengerikan."

Lalu Benny menceritakan semua yang ia tahu.

Justin seakan mengalami disorientasi saat itu. Seluruh pusat kontrolnya seakan hilang. Justin mematung. Fakta mengerikan yang dijelaskan Benny seakan meledakkan segalanya hingga rasanya Justin hancur berkeping-keping. Begitu banyak yang ia lewatkan. Begitu lamban tindakan yang Justin ambil. Rasanya terlalu terlambat baginya untuk memperbaiki semua ini. Namun di sisi lain, apa Justin sanggup melihat Shay semakin hancur dan... rusak? Hingga menghilang tak berbekas meski menjadi onggokan menyedihkan?

Tentu tidak.

William harus membayar semuanya secara sepadan.

Tanpa sadar Justin menggeram dalam diam. Pria itu tercekat sejenak, memandangi Shay yang masih terpejam di depannya. Sekarang Justin memiliki rutinitas baru setiap pagi. Ia akan bangun dengan cepat dan langsung memasuki kamar Shay dengan membawa buku. Ia akan membacakan novel klasik untuk wanita itu atau mengajaknya berbincang selama satu jam sebelum pergi ke kantor.

"Selamat pagi." Justin menghentikan lamunannya lantas tersenyum. "Seperti biasa, aku datang lagi."

Tidak ada jawaban. Rasanya Justin masih belum terbiasa dengan hal itu. Ia ingin melihat iris gelap Shay terbuka, lalu memandangnya secara nyata.

"Sebenarnya aku bawa novel. Tapi... aku ingin bicara banyak denganmu."

Hening.

"Aku ingin bilang bahwa mulai sekarang aku selalu di sini. Aku mohon jangan menyerah. Aku sempat senang saat tahu kondisimu mulai membaik. Tapi semalam kau mengalami penurunan, Shay." kedua mata Justin terpejam. "Ada apa? Katakan padaku, mimpi panjang apa yang kau alami sekarang? Aku tahu ini sangat terlambat. Tapi bisakah kau bangkit sekali lagi dan meraih tanganku?"

Jemari Justin bergerak untuk meraih satu tangan yang terkulai itu lantas menggenggamnya dengan lembut. Pria itu menunduk, menahan tangis yang lagi-lagi membuatnya kesulitan. Rasanya ia tidak pantas untuk merasa emosional seperti ini.

"Aku mohon. Ijinkan aku untuk menyelamatkanmu dari semua ini. Katakan padaku bahwa aku masih punya kesempatan."

Tidak ada respons. Shay masih terbaring dengan damai tanpa membuka mata. Bulu matanya yang lentik masih menurun dengan sempurna diikuti kelopak matanya yang tertutup. Wajahnya tampak murni, kedamaian itu seakan menandakan jika dunia terlalu kejam untuk takdirnya. Dan Justin menyangkal hal itu. Ia ingin mengubah takdir itu menjadi keindahan kisah yang bisa menggantikan kepedihannya. Meski itu adalah hal yang sulit.

SLUT 2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang