Epilogue

384 51 26
                                    

Enam bulan lalu




Paris



"Kau mengadakan pertemuan hanya untuk ini?"

Malerine menyesap segelas teh secara perlahan, lantas menatap eksistensi mantan menantunya dengan pandangan skeptis. Wanita lansia itu tampak begitu terkejut dan tidak percaya. Sementara Lydia hanya bisa menghela napas. Mereka sedang duduk bersama di tengah balkon hotel berbintang yang Lydia sewa siang ini. Selain untuk menikmati pemandangan yang indah, Lydia juga tahu jika mantan mertuanya menyukai hidangan yang tersedia di hotel ini.

"Madam, maafkan aku. Aku tidak bermaksud—"

"Sampai kapan pun aku tidak akan setuju dengan keputusan cucuku. Dia terlalu gegabah dan terburu-buru." Malerine berucap tegas, nada bicaranya kali ini terdengar ketus dan asing. Ini pertama kalinya Malerine menunjukkan kekecewaannya pada Lydia. Di saat perangai lansia itu selalu terjaga dan terkendali. "Dan wanita itu... sebelum Justin membersihkan semuanya, aku sudah lebih dulu melihat data aslinya."

Seketika Lydia menegang di tempatnya. Ia hanya bisa menutupi keterkejutan tersebut dengan gestur canggung. Tangannya bergerak kaku untuk meraih segelas air di dekatnya, lantas menyesapnya perlahan.

"Lydia, selama ini aku selalu percaya akan intuisimu menjadi seorang ibu. Kau ibu yang luar biasa. Tapi, apa-apaan ini?" Malerine menghela napas, pandangannya mulai teralih pada pemandangan di luar sana yang dihiasi terik matahari. "Kau percaya begitu saja? Sebegitu takutnya dirimu kehilangan kendali atas putramu?"

"Tentu tidak, Madam."

"Lydia, jika itu jawabanmu, lantas kenapa kebodohan ini terasa sangat nyata? Ini sangat tidak masuk akal."

Lydia terdiam, ia tidak menyangka jika pembicaraan ini harus berakhir menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Malerine terlalu licin. Dan Justin terlalu lamban untuk mengambil tindakan. Bukan ini tujuan awal Lydia mengadakan pertemuan singkat dengan mantan mertuanya. Ia ingin semuanya dapat dibicarakan dengan kepala dingin. Dan Malerine tampak begitu emosional menghadapi hal ini.

"Madam,"

Malerine berusaha mengatur deru napasnya yang tiba-tiba mengeras, lantas melirik Lydia dalam diam.

"Aku percaya pada putraku. Aku tidak bisa menolak semuanya ketika Justin konsisten pada pilihannya. Lalu, wanita itu..." Lydia terdiam sejenak. Tatapannya yang mengarah pada pemandangan di depan sana tampak menerawang, seakan kembali pada ingatannya beberapa waktu lalu. "... aku bahkan menamparnya di pertemuan pertama kami setelah sekian lama."

Malerine terdiam, diiringi semilir angin yang bertiup lembut.

"Dia wanita kotor, wanita menjijikkan. Aku bahkan tidak sanggup memeriksa seluruh data aslinya." lirih Lydia dengan napas tercekat. "Tapi saat dia tidak ragu untuk menganjurkan soal tes DNA, aku... aku juga percaya padanya."

"Semudah itu? Lalu kenapa kau menolaknya?!"

"Karena aku tidak bisa, Madam. Aku berani bersumpah, aku tidak bisa melakukannya." kini giliran Lydia yang tampak emosional. Wanita itu menghela napas perlahan, berusaha menahan kerongkongannya yang terasa sakit. "Dengan segala hormat, aku mohon, permudah semua ini. Sudah cukup Justin tertekan selama ini. Ini saat yang tepat baginya mengambil semua risiko dengan tanggung jawabnya sendiri."

"Lydia, kau benar-benar terdengar naif."

Lydia tidak menjawab. Ia memilih untuk mengecek arloji di tangannya, memastikan waktu yang tepat untuk tujuannya mengajak sang mantan mertua bertemu di siang bolong seperti ini. Beberapa menit kemudian, Lydia memergoki eksistensi seseorang. Bersembunyi di dekat pintu dengan seragam sekolah yang mungil, ransel bergambar Iron Man dan rambut yang berkeringat. Lydia tersenyum lantas memanggilnya. Seorang anak laki-laki dengan iris mata berwarna hazel berjalan malu-malu menghampiri Lydia lantas memeluknya dengan erat.

SLUT 2 [COMPLETED]Where stories live. Discover now