Chapter 12

2.6K 306 126
                                    

Follie's Pigalle, Paris

Vanessa Benson sudah cukup muak menyaksikan keramaian Pigalle yang menyesakkan di waktu-waktu tertentu. Seperti hari ini, suasana club tampak begitu penuh oleh kumpulan manusia yang tengah menari, sesak oleh kapasitas ruangan yang terbatas serta berantakan oleh sekumpulan manusia yang mabuk dan melakukan aksi aneh dengan begitu bebas. Diikuti keremangan lampu kerlap-kerlip yang memperburuk keadaan. Vanessa tidak habis pikir, padahal ini hari Selasa. Namun keramaian Pigalle di hari ini mengalahkan suka cita di hari Kamis.

Tidak mau ikut berdesakkan bersama kumpulan manusia di lantai dansa, wanita itu bersandar di meja bar dengan posisi kaki mengangkang. Sepasang kakinya yang jenjang terbuka dengan dihiasi stiletto berwarna terang, dan seorang pria berdiri di tengahnya. Pria bertubuh kekar dengan rambut berantakan tengah mencumbu setiap bagian leher Vanessa dalam keadaan mabuk. Dan sepertinya, Vanessa tampak begitu bosan. Wanita itu sama sekali tidak bereaksi saat pria asing terus menggigiti kulit lehernya.

Tidak ada yang membuat Vanessa tertarik meski keramaian begitu menyesakkan, meski aksi manusia-manusia di malam ini lebih agresif dari biasanya. Hingga tak lama kemudian, Vanessa dibuat terkejut hingga berhasil menepis tubuh pria yang tengah mencumbu tubuhnya. Wanita itu terpaku ke arah kumpulan manusia yang perlahan terbelah dua, memunculkan seorang pria yang sangat Vanessa kenali beserta seorang wanita dengan daya tarik yang mengagumkan. Hingga berhasil meledakkan euforia pesta di Pigalle yang semakin meriah.

Justin Allard Rousseau datang bersama Rihanna.

"Putain!" Vanessa mengumpat, nyaris melempar gelas berisi cairan wine tahun lama yang harganya tidak murah.

Sementara Justin dan Rihanna tampak begitu santai, seakan tidak terganggu dengan keterkejutan orang-orang atau bahkan keramaian di sekitarnya. Justin, yang terlepas dari stelan formal biasanya tampak begitu menarik hanya dengan sebuah kaus, jaket dan celana jins. Sementara Rihanna terlihat terlalu menarik dengan rok mini berbahan jins serta jaket senada yang dikenakan tanpa dalaman. Keseksiannya yang terbentuk tanpa ditata sontak membuat tatapan Justin terus terpancang kepadanya.

Dan mereka menari dengan segelas wine yang tergenggam di salah satu jemari Rihanna.

Perasaan menyesakkan hingga amarah yang meledak-ledak di ubun kepalanya sontak membuat Vanessa jengah di tempatnya. Wanita itu nyaris menjambak rambutnya sendiri yang terikat rapi. Namun seketika tangannya beralih, membentuk kepalan yang semakin kuat dari detik ke detik. Vanessa murka bukan karena hal picisan seperti ia cemburu melihat kemesraan itu atau iri dengan penampilan Rihanna yang selalu terlihat menarik.

Vanessa hanya muak melihat pengkhianatan yang ada di depannya.

Apa yang ia rasakan saat ini adalah reaksi yang timbul secara refleks. Perasaan ini, perasaan kesal yang diiringi sesal menyesaki rongga dada Vanessa tanpa diminta. Pikirannya sontak mengarah pada Shay, pada jarak, pada kerumitan yang terjadi. Vanessa tidak tahu sama sekali keadaan Shay sejak bertahun-tahun lamanya. Namun, sebagai manusia kotor yang telah berjuang beberapa tahun bersama untuk menghadapi kejamnya dunia membuat Vanessa memiliki setitik rasa empati kepada Shay. Dan bagaimana pun, Vanessa tidak sudi melihat pengkhianatan ini.

Meski Shay harus ditandingi oleh wanita sekelas Rihanna.

Maka, dengan segenap amarah yang tersisa, Vanessa menerjang maju diikuti ketukan stiletto di kakinya yang teredam oleh suara musik. Wanita itu berderap menuju lantai dansa, memasuki kerumunan, hingga mendorong Justin beserta Rihanna dengan kedua tangannya. Hingga Justin dan Rihanna sontak terseret mundur dan terpisah beberapa meter. Setelahnya, Vanessa terus berjalan tanpa peduli keterkejutan semua orang di belakang sana. Hingga setitik air mata timbul begitu saja diiringi rasa sesak dan Vanessa segera menyekanya. Ia menyayangi Shay. Shay adalah satu-satunya teman yang ia miliki.

SLUT 2 [COMPLETED]Where stories live. Discover now