Chapter 22

336 65 54
                                    

Bunyi desingan peluru terdengar.

Deru napas.

Embus angin.

Dan pandangan yang mengabur.

William menutup matanya rapat-rapat seraya menggeram saat salah satu pengawal yang mengepung di sampingnya kini mengejang dan terkapar dengan perut tertembak. Sepersekian detik, pria itu meraih pistol laras panjang yang menempel di dahinya, lalu menariknya dengan tangkas untuk menghindari tembakan yang nyaris menembus kepalanya. Gerakan William seakan menjadi tanda untuk memulai peperangan. Ia menghajar pengawal yang hendak menembaknya, lalu berlari bertepatan dengan beberapa bawahannya yang muncul dari belakang dan mulai menembak.

Adu tembak pun terjadi.

William berlari sekencang yang ia bisa menuju mobil yang terparkir di belakangnya. Beruntung ia sempat menghubungi Joe di dalam mobil sebelum turun, lalu membiarkan panggilan itu terhubung hingga Joe dapat mendengar semuanya. Namun mereka tetap kalah jumlah. Joe kehilangan beberapa rekannya yang kini mati tertembak. Sementara William tampak tidak peduli dan sibuk menyelamatkan diri. Semua berlangsung begitu cepat. Hingga salah satu pengawal Benny berhasil menembak ke arah William hingga mengenai lengannya.

William nyaris limbung.

Joe berlari menyusulnya.

Dan mereka berhasil kabur dengan sisa kekacauan yang mengerikan. Meninggalkan beberapa onggokan mayat yang bergelimpangan di halaman mansion Benny. Sementara Benny hanya bisa berdiri di balik jendela, menyaksikan semuanya dengan perasaan campur aduk.



***


Jericho memainkan pensil di tangannya dengan pikiran melayang ke segala arah. Penjelasan guru matematika yang tengah menerangkan materi tidak terlalu ia perhatikan hari ini. Anak itu merasa kesepian dan bingung. Sudah lebih dari dua minggu ibunya dirawat di rumah sakit, Bibi Rosemary menghilang dan Paman Will mengalami kecelakaan saat latihan menembak hingga lengannya terluka. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi, namun ia merasa jika orang-orang dewasa di sekitarnya tengah mengalami masalah besar.

Dan Jericho merasa tidak tenang karenanya.

Untungnya Paman Will masih bisa melakukan aktivitas. Jadi Jericho bisa mengajaknya bermain sesekali. Meski ia jadi terlihat murung dan tidak sehangat biasanya. Suasana di rumah benar-benar sepi. Terlebih karena Jericho tidak diizinkan sama sekali untuk menjenguk ibunya. Paman Will selalu meyakinkannya bahwa sebentar lagi sang ibu akan segera sembuh dan pulang.

Tapi anak itu tidak yakin.

"Jericho,"

Jericho tersentak saat Mrs. Lana selaku guru matematika memanggilnya. Anak itu sudah pasrah jika ditegur karena ketahuan melamun. Namun alih-alih mendapat teguran, Jericho terheran ketika semua murid di kelas memusatkan perhatian padanya. Ditambah kehadiran Mr. David selaku kepala sekolah kini berada di ambang pintu dan menatap ke arahnya seraya tersenyum.

"Hari ini kau boleh pulang lebih awal. Kemasi buku-bukumu dan ikut dengan Mr. David. Lain kali jangan melamun saat sedang belajar, ya?" Mrs. Lana tersenyum lantas beralih pada murid-murid yang sedikit ribut. "Anak-anak, Jericho mendapat dispensasi karena ada kepentingan keluarga. Sebentar lagi kalian juga akan pulang. Tolong jangan terlalu ribut, ada Mr. David di sini."

Jericho mulai memasukkan beberapa buku ke dalam ransel bergambar Iron Man miliknya ketika Mr. David tengah mencairkan suasana di kelas dengan sedikit lelucon khasnya. Membuat keributan di kelas yang semula diredam Mrs. Lana kini kembali ramai oleh tawa anak-anak yang menggemaskan. Setelah selesai, Jericho mulai melangkah ragu mengikuti Mrs. David untuk keluar dari kelas. Jericho sempat berpamitan pada beberapa temannya sebelum pergi. Lantas meraih tangan Mr. David yang terulur dengan perasaan heran.

SLUT 2 [COMPLETED]Where stories live. Discover now