Chapter 8

7.4K 745 237
                                    

Skagit Valley, Washington

Hamparan bunga Tulip dan Daffodil menyatu di bawah langit malam. Di bawah naungan bintang dan bulan purnama yang bersinar di balik awan. Ketika Shay mulai melangkahkan kakinya yang terbalut high heels di kawasan Skagit Valley yang gelap nan sepi, napasnya tercekat. Wanita itu merasakan sesak dan gemetar di saat yang sama, terlebih ketika angin malam menelusup tubuhnya yang tertutupi mantel tebal.

Beberapa detik kemudian, Shay melanjutkan langkahnya. Bibirnya yang terbalut gincu merah menyala terbuka mengembuskan napas hingga asap tipis menguar di udara, menandakan jika suhu saat ini cukup dingin dan rendah. Dan akhirnya Shay sampai tepat di depan hamparan bunga Skagit Valley yang harum. Di hamparan bebungaan yang sepi, dingin dan gelap temaram, iris matanya mulai mencari eksistensi seseorang.

Dan Justin Allard Rousseau berada di sana.

Pria itu berjarak sekitar dua meter di sampingnya. Tepat di dekat barisan bunga tulip yang menguncup dengan cantik. Tidak ada stelan formal khas bangsawan Rousseau yang melengkapi penampilannya. Justin tampak santai dengan hoodie berwarna hitam dan jins dengan warna senada. Rambutnya yang kini berwarna pirang tampak berantakan, terlebih ketika angin malam berembus cukup kencang.

Ia tampak berbeda.

Sementara Shay tidak berubah. Ia masih membentuk jati diri yang sama. Seorang pelacur dengan penampilan penuh kepalsuan. Mantel hitam, sepasang high heels, dress ketat, dan riasan wajah yang tebal. Melihat penampilan Shay, diam-diam membuat Justin tercekat. Pikirannya secara refleks memutar memori lama yang selalu tersimpan dengan apik dalam pikirannya. Sepenggal kenangan pahit. Ketika Justin bertemu dengan kepalsuan Shay untuk pertama kalinya di Pont des Arts. Ketika Shay membuka jati diri yang sebenarnya sebelum perpisahan itu terjadi. Ketika Shay memutuskan untuk pergi.

Hingga delapan tahun membentangi mereka untuk berpisah.

Butuh waktu beberapa detik bagi Shay memberanikan diri untuk melangkah. Menghampiri eksistensi Justin yang kini berdiri sembari memandanginya dari kejauhan. Seketika pandangan mereka bertemu dalam gelap, dalam cahaya temaram di balik bulan purnama, di tengah hamparan bunga yang membentang dengan indah. Terdapat arti di balik iris mata satu sama lain, tersemat kerinduan mendalam yang tersimpan dalam benak satu sama lain. Baik Shay maupun Justin merasakannya.

Hingga mereka saling berhadapan dalam jarak yang dekat.

Hening membentang di antara mereka. Shay dan Justin hanya saling menatap satu sama lain, memerhatikan setiap inci wajah dan tatapan yang terasa nyaman. Shay melihatnya. Memandangi lekukan wajah Justin yang perlahan berubah, memerhatikan bagaimana perubahan itu membentuk wajahnya menjadi jauh lebih dewasa. Namun iris matanya masih dinaungi dengan warna yang sama, pandangan yang sama. Serta harum tubuhnya. Esensialnya sedikit berubah. Namun Shay masih bisa mencium harum kasturi samar-samar.

"Kau berubah," tanpa sadar, Shay bergumam.

Justin pun membalas tanpa berhenti menatap Shay. "Kau datang,"

"Kau mengetahui nomor ponselku." Shay kembali membalas dengan gumaman.

"Aku melacaknya dengan baik."

Untuk sejenak, Shay terdiam. Iris matanya yang berwarna cokelat gelap terus terpacang pada sepasang iris mata hazel yang kini tampak berkilat tajam di balik gelap. Justin membalas tatapannya. Pria itu berusaha mengabaikan waktu dan segala takdir yang akan terjadi setelah pertemuan ini, ia berusaha mengabaikan segalanya. Seperti dulu. Dan menikmati waktunya bersama wanita yang begitu ia cintai.

"Kau sakit?" Justin berbisik setelah menyadari keadaan Shay yang tampak berbeda dari sebelumnya. Kedua matanya tampak sembab.

"Tidak," Shay menghela napas. "Aku baik-baik saja."

SLUT 2 [COMPLETED]Where stories live. Discover now