10

238 19 0
                                    

Mata Ghaisan berpendar ke sekeliling, ke lautan manusia yang mengantri untuk memberikan ucapan selamat kepadanya. Dari jauh Kai melihat kedua orang tuanya menyambut beberapa tamu. Pun dengan Om Dirman dan Tante Gantari. Senyuman tak pernah luntur dari wajah mereka. Ia menoleh pada wanita anggun di sebelah kiri yang melingkarkan tangan pada lengannya. Menghela nafas pelan, ia tak menyangka pertunangannya tetap diadakan dan kesan mewah menjadi poin utama dalam acara ini.

Untuk apa sebenarnya semua ini?
Pertanyaan itu terus bercokol di kepalanya. Jelas sekali ini bukan untuk dirinya. Acara ini lebih cocok sebagai acara gathering para pebisnis. Topik utamanya tak pernah jauh dari prospek bisnis yang sedang dikerjakan ataupun yang akan datang. Membosankan. Tak cukupkah lima hari berada di kantor?

Kai melihat beberapa sepupu yang sedang asyik berbincang. Namun Uta belum kelihatan. Mungkinkah Shana benar-benar datang? Ia melarikan diri dari Alifa dengan alasan menyapa para sepupu. Tentu saja itu hanya kedok, Kai memilih keluar dari ballroom yang luas tapi ia merasa sesak. Langkah kaki membawanya ke taman. Malam ini terasa begitu sejuk. Berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang gerah. Ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan kotak rokok. Berharap dengan menghisap nikotin, kemelut pikirannya terbawa pergi oleh kepulan asap yang berhembus.

Melihat sosok Alifa malam ini, membuatnya sadar. Alifa masih sama, dia belum berubah. Dingin dan tenang. Rasanya Kai tak sanggup membayangkan jika ini semua akan berakhir ke pernikahan. Kepalanya terus berpikir mencari cara agar bisa keluar dari situasi ini. Buntu. Ia belum menemukan informasi apapun.

Tanpa sadar kakinya sudah mengarah pada kolam renang dan duduk di salah satu pool lounger. Mendadak angin berhembus kencang, dihisapnya kuat-kuat rokok itu agar merasa hangat. Bagaimana cinta akan tumbuh kembali, jika Alifa tak pernah bersikap hangat padanya. Alifa hanya melihat Kai sekadarnya, lalu kembali sibuk dengan urusan lain.

Kai menjentikkan abu rokok. Lalu kembali menghisapnya.

"Lo berdua benar-benar biadab ya." Sebuah suara sewot menghentikan aktivitas Kai. Suara yang sudah mempunyai tempat khusus di memorinya.

Hentakan heels terdengar jelas seiring siluet tersebut mendekati dua sosok yang tak jauh berdiri di bawah payung pool lounger.

"Bisa-bisanya mesum di tempat begini. Dan buat gue nunggu di tempat asing."

Suara kekehan mengejek keluar dari bibir si wanita. "Gimana ya, suasananya bikin gue pengen nempel terus. Cari kehangatan."

Shana memuntahkan angin dari mulutnya. Merasa jijik dengan lontaran yang Ewa ucapkan. Sedangkan Uta hanya menyengir. "Ini sih lo niat banget mau saingan sama calon pengantin." Ewa menilai Shana dari ujung kepala hingga kakinya. Uta setuju dengan menganggukkan kepala. Matanya mengedar ke segala arah lantaran mendengar langkah seseorang mendekat.

"Kai?" Tubuh Uta berbalik seketika.

Kai tak acuh, perlahan mendekati Shana dan mengikis jarak. Betapa kagumnya ia melihat Shana malam ini. Shana lebih cocok menjadi pemeran utama di pesta ini.

"You look stunning tonight." Kai berbisik.

Lutut Shana melemas. Efek bisikan tersebut membuatnya teringat akan ciuman mereka. Ia jadi sulit bernapas normal. Akibat sorot mata kagum Kai terpancar jelas di matanya. Waktu seolah berhenti memerangkap keduanya. Kehadiran Ewa dan Uta terlupakan.

"Kamu di sini." Refleks semua mata tertuju pada sebuah suara.

Shana menegang. Tanpa sadar kakinya  mundur selangkah. Ia seperti terciduk berduaan. Padahal masih ada Uta dan Ewa bersamanya. Sosok cantik muncul dan mendekat ke arah mereka. Tak ada ekspresi berarti yang ditampilkan Alifa. Datar. Mata bolanya memindai penampilan Shana.

"Kamu datang juga."

Mata Shana mengerjap berusaha menetralisir perasaannya yang tak karuan. "Ya, untuk tepati janji."

Alifa tersenyum sangat tipis. Bahkan hampir tak terlihat. Lalu ia beralih pada Kai dan mendekap lengan pria tersebut. "Acara inti akan segera dimulai." Ucapnya seraya membalikkan badan. Kai menengok ke arah Shana sebelum ia berlalu.

Suasana masih sunyi setelah Kai dan Alifa meninggalkan mereka. “Shan.” Ewa mendekat menyentuh tangannya. “Lo gemetar.” Shana terkejut dan langsung menyembunyikan tangan. Ewa diam, menunggu apa yang akan Shana ucapkan.

“Gue… cuma sedikit kedinginan.” Ucap Shana ragu.

Ewa melirik ke arah Uta yang turut diam. “Kita masuk sekarang?” Tanya Ewa untuk pastikan keadaan Shana.

Shana hanya mengangguk. Meski perasaan ragu mulai menyusup, namun ia sudah bertekad tidak akan menghindar apalagi lari.

***

Shana kembali mematut dirinya di depan cermin. Ia sudah siap dengan gaun off shoulder berwarna burgundy lengkap dengan gold clutch dan heels dengan warna senada. Apa yang akan Kai pikirkan tentang penampilannya malam ini? Ia merasa totalitas menyiapkan semuanya. Padahal bukan ia sang pemilik acara.

Buru-buru Shana menggelengkan kepala setelah dengar bunyi klakson mobil di depan rumahnya. Nana memaksa untuk menjemputnya. Nana dengan senang hati mengajukan diri menjadi supir. Mungkin saja setelah peresmian pertunangan Kai, Shana patah hati dan berakhir mabuk.

Nana berdecak kagum saat Shana berjalan mendekatinya. "Kentara banget nggak mau kalah saing sama pemilik acara."

Shana mendengus. "Lo kalau mau bilang gue cantik, ya bilang aja. Nggak usah muter-muter gitu."

Nana tertawa kecil dan membuka pintu penumpang. "Untuk tuan putri malam ini." Shana melengos dan masuk ke dalam mobil.

"Lo yakin nggak mau ngamuk di sana? Dengan senang hati gue akan bantu."

Shana berdecak. "Dan bikin Ghaisan malu?"

Mereka langsung menuju ke ruang acara. Ballroom hotel tersebut disulap dengan dekorasi yang cantik dan mewah. Ini lebih cocok disebut acara resepsi pernikahan. Dari tempat mereka berdiri, terlihat Kai dan Alifa dikerubungi orang-orang yang berebut mengucapkan selamat. Terdengar helaan nafas pelan dari sisi Nana. Belum apa-apa Shana sudah merasa gerah.

"Malam ini gue bakal sibuk." Ujar Nana dengan tatapan nakal saat matanya melihat ke sosok pria.

Shana mengikuti arah pandang Shana dan berdecih. "Seingat gue, malam ini lo jadi supir."

"Sorry, gue harus selesaikan bisnis yang tertunda." Tanpa sungkan Nana pergi meninggalkan Shana sendirian.

"Cih. Nana and her dopamin." Shana mengedarkan mata mencari Uta dan Ewa yang belum terlihat. Karena bosan, ia pun keluar dari ruangan tersebut. Kakinya mengarah pada kolam renang yang tenang.  Shana butuh menenangkan diri. Sialnya, ia melihat sesuatu yang merusak matanya.

Ewa dan Uta sudah sibuk memagut diri tanpa tau malu. Mereka sempat saling melempar ejekan hingga sebuah suara menginterupsi. Ghaisan ada di sana. Lebih tepatnya menghampiri Shana. Dalam balutan tuxedo hitam, Kai terlihat menawan. Saat itu Shana baru sadar, Kai memang tampan sesuai dengan pembicaraan orang-orang. Senang sekaligus tersipu saat Kai memuji penampilannya dengan sorot kagum yang kentara.

Namun perasaan tersebut tidak singgah lama di hatinya. Kini sudah melebur tak bersisa ketika melihat Kai dan Alifa mengumumkan peresmian pertunangan mereka. Tak ada senyuman menghiasi wajah Kai. Harusnya Kai bisa menolak. Tiba-tiba Shana merasa kesal.

Shana cukup tau dengan perkembangan beberapa perusahaan di Indonesia. Bukan hanya itu, ia bisa menganalisa perekonomian yang sedang terjadi. Sebagai auditor penting untuk selalu melek informasi terutama bisnis. Jadi ia cukup yakin jika Amandina hanya mengincar suntikan dana agar bisa memperluas bisnis. Mereka hanya butuh investor, tak perlu sampai melakukan merger. Apalagi melakukan pertunangan yang tak masuk akal.

Shana sudah mereguk champagne dengan nafsu saat semua orang melakukan toast atas resminya pertunangan mereka. Tenggorokannya pahit. Alih-alih menikmati pesta, Shana memilih menyingkir. Ia tak ingin hatinya goyah.

TBC

Ada yang nungguin?
Gimana ya Shana, bilangnya sih enggak tapi cemburu juga. Maunya apa toh nduk?

The Things I Never Do [TAMAT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ