39

156 12 0
                                    

Merapat! Double update nih.

Biar puasanya makin semangat!

Selamat membaca ^^

***********************************************************************************************

Sekali budak cinta, ya selamanya akan menjadi budak cinta.

Meski kemarahannya pada Shana belum sepenuhnya hilang, namun melihat Shana menyusul Kai ke sini membuat hati Kai menghangat dan sedikit meruntuhkan kemarahannya. Ditambah raut bersalah Shana yang terpancar jelas di wajahnya. Menggemaskan! Satu kata yang terlintas di benak Kai. Ingin sekali Kai memeluk tubuh Shana, namun egonya memperingatinya bahwa di antara mereka harus ada yang diselesaikan lebih dulu. Dan sebuah pelukan tak mampu menyelesaikan itu semua.

Kai menghela napas dengan pandangan mata melihat ke depan. Saat ini keduanya berada di dalam mobil Shana.

"Aku... aku minta maaf, Kai. Harusnya aku bisa ceritain ini ke kamu lebih dulu. Aku minta maaf."

"Kamu kapan datang?" Kai bertanya dengan suara rendah dan ia tak menanggapi permintaan maaf dari Shana.

Shana meneguk salivanya susah payah. "Siang jam 11." Ia menarik napas sejenak. "Ghaisan, I'm sorry."

"Cuci muka dulu, habis itu kita bicara." Kai mengulang, masih tak mengindahkan perkataan Shana.

Mata Shana bergerak bingung. Spontan tangannya mengusap area mulut takut ada sesuatu tertinggal di sana saat ia sedang tidur. Lalu ia keluar mobil dengan umpatan pelan dan menuju ke warung depan. Kurang lebih 10 menit Shana kembali dengan wajah segar. Sepertinya ia menumpang ke toilet warung tersebut.

Shana sudah menghadapkan tubuhnya pada Kai. "Kai, aku bego banget ya. Aku minta maaf ya."

Kai menoleh dengan tatapan datar. "Nggak. Aku yang bego. Harusnya aku bisa cari tau dulu penyebab kamu nggak mau menikah apa. Mungkin ini balasan buat aku yang udah ninggalin kamu kemarin."

Shana menggelengkan kepala cepat. "Nggak Kai. Aku nggak kasih tau kamu karena aku merasa itu nggak penting untuk diceritain. Karena, aku sendiri nggak mikirin itu. Dan aku bukan nggak mau menikah, tapi belum mau menikah. Itu semua nggak ada sangkut pautnya sama yang dulu. Ini pure tentang aku dan kamu."

"Nggak penting diceritain? Kamu anggap aku apa, Shan? Delapan tahun kita sebagai sahabat terus setahun ini kita coba jadi pasangan. Banyak kesempatan kamu bisa cerita dan pantas saja kamu nggak pernah mau bangun hubungan. Itu semua pasti ada kaitannya sama yang dulu."

Shana terdiam. Ia tak sanggup melihat tatapan tajam Kai hingga memilih menundukkan kepala. Kedua jemarinya saling meremas karena gugup.

"Shan?"

"Nggak Kai." Shana menatap Kai. "Walaupun dia sering datang ke rumah tapi aku nggak pernah nemuin dia. Aku udah lupa! Demi Allah, Kai. Aku hubungi Afrizal biar kamu percaya, boleh ya?"

"Bukan itu."

Shana menggeleng dengan keras. "Nggak. Nggak, Kai! Aku tau maksud kamu dan aku lebih milih kamu marahin aku daripada lihat kamu tenang gini."

Kai mengernyitkan dahi. "Aku baru sadar sekarang. Ternyata komunikasi kita jelek banget. Gimana kita mau nikah?" Kekesalan kembali muncul dalam diri Kai. Kai sendiri sudah tidak peduli dan tak bisa menahan segalanya. "Aku tau apa yang aku omong barusan itu semua benar. Dan kamu berkelit Afshana. Kamu pikir aku nggak tau?"

Kali ini Shana benar-benar diam.

"Semalaman aku mikir. Apa yang buat kamu nggak mau terbuka denganku atau parahnya kamu meragukan aku. Sekian banyak praduga yang muncul di kepalaku, cuma kalimat ini yang bisa kasih kesimpulan semuanya. You don't even trust me, from the beginning."

The Things I Never Do [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang