13

208 23 3
                                    

Sudah seminggu ini Shana bekerja melalui virtual. Harusnya ia terbiasa akan hal itu, karena ia sudah merasakan saat pandemi melanda. Namun kali ini terasa berada. Perasaan sepi terus mencekam dirinya. Ghaisan sendiri tak pernah menemui sejak kedatangannya ke kantor. Ada perasaan terbuang dan tak diacuhkan di hatinya. Shana tau ada beberapa kiriman aneh yang mampir ke rumahnya. Mbak Ratri melakukan tugasnya dengan baik. Ia tak pernah memberitau Shana jika paket tersebut bukan dari seseorang yang Shana kenal.

Dan hari ini rapat terbuka dengan Kavana Group diadakan. Artinya rencana audit sudah rampung. Mereka akan menagih audit checklist sebagai penunjang proses audit. Setelahnya audit akan dilakukan. Shana masih diam di dalam mobil. Kai menyuruhnya naik lift khusus yang berada di basement. Pak Arif -supir sekaligus bodyguard- mendapatkan kartu akses dari Kai. Tentu saja Pak Arif akan selalu menemani Shana. Rasanya ia sudah muak dengan berbagai macam aturan dan perintah dari Kai. Sampai kapan ia harus seperti ini?

Shana menghela nafas panjang sebelum membuka pintu mobil. Ada beberapa orang yang sudah menunggu dengan kamera menggantung di leher. Pak Arif dengan cekatan maju ke depan menutupi tubuhnya. Ia pun menunduk menutupi wajah dengan rambutnya. Sesampainya di lift ia mendesah dengan tubuh berjongkok.

"Bu…" Pak Arif berusaha menahan tubuh Shana. Shana mengibaskan tangannya tanda ia tak apa-apa. Tiba-tiba ia merasa mual.

Bunyi denting lift menyadarkan Shana. Ia menegakkan tubuh dan merapikan bajunya. Ayana, Rendi, Saras dan Gardha sudah menunggunya di sofa luar ruangan.

"Lama nggak ketemu udah jadi tuan putri aja." Ayana melirik ke arah Pak Arif yang berdiri tepat di belakang Shana.

Shana mendengus. Sudah terlalu malas untuk balas ucapan Ayana.

"Kalau udah jadi nyonya Sinaga, mungkin bukan cuma satu. Paspampres bakal disewa." Ayana mencolek pelan bahu Shana.

"Apaan sih lo!" Shana menepis kasar dan memilih masuk ruang meeting. Setelah semua persiapan selesai, satu persatu jajaran staf Kavana hadir. Ia menyadari tatapan berbeda dari orang-orang yang hadir. Namun perikatan audit sudah terjadi jadi Kavana tak bisa membatalkan begitu saja. Mereka masih menunggu satu orang lagi, Ghaisan. Shana bertukar tatap dengan timnya, mereka sudah harus memulai rapat. Rendi sudah berdiri sesaat suara pintu terbuka dengan dua sosok yang ditunggu-tunggu, Kai dan Bara. Namun yang membuat terkejut semua orang sosok cantik di belakang Kai, Alifa.

Suasana menjadi beku. Sejenak Shana tercenung, tatapannya bertemu dengan Kai. Ia mengalihkan wajah lebih dulu pada Rendi untuk memulai rapat. Kali ini berbeda, Kai benar-benar fokus pada rapat dan matanya hanya tertuju pada layar proyektor juga kertas di hadapannya. Dan yang mengganggu Shana saat ini adalah tatapan Alifa. Tatapan datar namun mengintimidasi sekaligus mencemooh. Seolah ia menilai bahwa Shana tak ada apa-apanya dibanding dirinya. Malas untuk meladeni, Shana melengos.

Rapat selesai. Kai langsung meninggalkan ruangan lebih dulu diikuti oleh Alifa dan Bara. Shana menghela nafas. Ia duduk termenung sementara timnya membereskan barang-barang. Setelah selesai pintu ruangan terbuka, refleks Shana menengok berharap Kai menghampiri. Bukan Kai, namun petugas kebersihan kantor ini. Bahu Shana lunglai. Ia melirik ponselnya yang berlayar hitam. Pusing sendiri dengan pikirannya, Shana tak tahan untuk bertanya. Namun sebelum keluar Ayana sudah menahan dirinya.

"Kita nggak punya waktu cukup Mbak."

Shana bergeming. Ya, Ayana benar. Ia tidak punya waktu untuk memusingkan hal ini. Mereka berjalan masuk ke dalam lift. Lift berhenti di lantai 10. Ada empat karyawan yang masuk.

"Semua orang kaget atas kejadian itu." Ujar seorang wanita berbaju maroon.

"Jelas kaget. Basement Kavana kok bisa dimasuki berandal nggak jelas."

The Things I Never Do [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang