16

193 17 0
                                    

Ghaisan bergegas menutup semua dokumen di layar laptop. Tangannya melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemeja hingga siku. Haruskah ia berdandan formal seperti ini? Mendadak penampilan ke kantornya berubah menjadi... lebih necis. Tepatnya, sang Mama memaksa Kai mengubah penampilan semiformal menjadi lebih rapih.

Latifa selalu menganggap penampilan akan membuahkan opini orang lain untuk diri sendiri. Opini tersebut dapat mengangkat atau bahkan menjatuhkan image kita. Pikiran Latifa tak sejalan dengan Kai. Bagi Kai, kenyamanan diri sendiri lebih utama dibanding opini orang lain. Ia sendiri sudah terlalu malas berdebat dan memilih menuruti Latifa.

Setelah mengambil jas yang digantung, ia berjalan keluar ruangan.

"Gue ada janji dengan Kak Yaya. Lo bisa balik Bar. Thanks untuk hari ini." Kai menepuk pelan bahu Bara seraya melangkah menuju mobil.

Setelah dua tahun lamanya Ghaaya Sinaga --Kakak pertama Kai tidak pulang akibat pandemi. Sore ini Yaya meminta bertemu di hotel tempat ia menginap. Pintu kamar terbuka, Yaya sudah menyambut dengan senyum hangat. Senyum yang sudah lama tak ia lihat. Saat memasuki kamar hotel, ritme jantungnya berdetak tak terkendali. Ia takut Yaya membawa kabar yang tak mengenakkan.

"Hai, Kai." Sapa Nada, suami Yaya. Nada memberikan pelukan hangat dengan senyum cerah.

"Hai." Kai menjawab agak terbata, membuat Yaya cekikikan.

"Masih aja grogi ketemu Nada." Ledek Yaya.

Dulu banyak kesalahpahaman terjadi antara keduanya. Bukan… tapi Kai yang selalu buat masalah dengan Nada. Ia menuduh Nada telah merubah Yaya menjadi gadis pembangkang. Sejak Yaya berpacaran hingga menikah dengan Nada, selalu terjadi perdebatan alot antara Latifa dan Yaya. Karena itu, Kai benci dengan Nada. Namun seiring berjalannya waktu, Kai mengamati bahwa Nada tak seburuk yang Latifa pikirkan.

Kai tak menanggapi dan duduk dengan tenang. Tatapannya mengedar ke sekeliling.

"Fawwaz lagi sama Mama dan Papa." Yaya mengerti apa yang ia cari.

Ia hanya menganggukkan kepala. "Terus kenapa lo milih nginap di sini?"

"Bang Nada bakal isi acara besok di sini."

Tak ada tanggapan darinya. Lalu Nada pun pergi meninggalkan keduanya.

"Jadi kamu sudah tunangan? Tapi aku sama sekali nggak lihat cincin itu di jari kamu." Yaya melirik ke arah jari manisnya.

Kai tersenyum sinis. "Kak Yaya berharap apa dari sebuah perjodohan?"

"Mungkin… terlalu dini kalau berharap dari sekarang. Nggak ada yang tau masa depan seperti apa."

Satu alis Kai terangkat. Raut wajahnya menjadi dingin dan Yaya mengulum bibirnya.

"Aku akan adakan pameran tiga hari ke depan di sini lewat KF."

Tak ada raut kaget dari wajah Kai. Itu artinya ia sudah tau.

"Jadi..." Yaya mengubah posisi duduk menjadi tegak dengan raut serius. Seakan-akan ia akan memberikan sebuah rahasia. "Aku mau kamu yang urus semuanya bukan Mama. Sebagai gantinya, aku akan kasih apa yang kamu mau."

Kai menatap lurus Yaya. Ia masih belum paham dengan situasi sekarang ini. "Apa yang aku mau?"

Yaya mengangguk.

Kai termangu. Matanya beralih pada pandangan di luar jendela yang sengaja tirainya dibuka. "Seperti… memutuskan pertunangan ini?"

Jeda sesaat tercipta. Yaya sudah mengantisipasi keadaan seperti ini. Tak disangka Kai di depannya serapuh ini. Sejauh yang ia amati, selama ini Kai tidak bisa membuka diri sehingga buat orang segan mendekatinya.

The Things I Never Do [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang