2-Tak Habis Pikir

313 50 134
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Menerka isi kepala manusia bukanlah hal mudah. Tapi jika bisa, aku ingin mencoba untuk membedahnya.

 Tapi jika bisa, aku ingin mencoba untuk membedahnya

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

AKU menekuk wajah sebal. Tak lupa aku pun menatap penuh permusuhan pada Bang Fariz, yang kini malah menampilkan senyum lebar. Dengan kekuatan penuh kuinjak salah satu kakinya, dan kucubit pula pinggang lelaki itu sekuat tenaga.

"Jangan kasar-kasar dong," katanya tanpa dosa.

"Pulang sekarang!" Aku berkata ketus seraya menarik tangannya, tapi tak sedikit pun membuat tungkai Bang Fariz bergerak.

"Sebentar lagi yah," bujuknya memelas.

Aku menyilangkan tangan di depan dada lantas berkata, "GAK MAU!"

"Sama suami gak boleh lho meninggikan suara kayak gitu. Dosa!" sahutnya seperti sengaja menekan kata terakhir yang dia ucapkan.

"Bang Fariz tuh kurang kerjaan! Ngajakin aku makan di restoran dari sore, tapi sampai sekarang jam sudah menunjukkan delapan malam, belum juga masuk ke dalam. Bang Fariz tuh tahu gak sih, aku belum makan dari tadi siang, tapi dengan entengnya Bang Fariz malah minta aku untuk nunggu dan sabar!"

Keluarlah semua uneg-uneg yang sedari tadi kutahan. Napasku memburu dengan cepat, seperti sudah lari maraton berkilo-kilo meter.

Aku benar-benar DONGKOL!

Tanpa tahu malu Bang Fariz mengelus puncak kepalaku yang tertutup khimar. "Voucher makannya ternyata belaku mulai jam 9 malam, Abang gak tahu. Satu jam lagi, sabar yah."

Aku menggeram kesal.

Allahuakbar!

Lapangkanlah sabarku untuk menghadapi suami yang kikir, pelit, dan sangat amat perhitungan ini.

Kukira dia mengajakku makan di luar karena ingin meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Tapi, ternyata akunya saja yang terlalu percaya diri. Ya Allah! Ya Rabbi!

"Abang dapet voucher makan di sini, untuk berdua. Gratis. Gak usah bayar," imbuhnya dengan wajah sumringah.

Aku meraup wajah kasar. Benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki satu ini. Dia itu bukan orang yang kekurangan, bahkan untuk sekadar makan di restoran sebagus ini pun aku rasa, dia mampu. Tapi, dengan konyolnya dia malah mengharapkan gratisan.

Lama-lama aku bisa darah tinggi!

"Warteg seberang restoran lebih menggoda iman, dibanding harus nunggu satu jam lagi," cetusku setelah beristigfar berulang kali dalam hati.

Lapangkanlah hatiku, luaskanlah sabarku dalam menghadapi suami sepertinya!

"Menggoda iman, tapi harus bayar. Mending ini, gratis!"

No Khalwat Until Akad || ENDOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz